💘 32

5K 624 99
                                    

Pada kehamilan kedua ini Mehreen dan Arjuna sangat menjaga sekali. Meskipun sangat-sangat bosan berbaring saja tapi Mehreen menguatkan diri demi bertemu buah hatinya.

"Mas?"

Mendengar panggilan istrinya, Arjuna yang tengah mengancingkan seragam PDLnya menoleh.

"Iya? Kamu butuh apa? Adek? Hei!" Melihat Mehreen malah bengong, Arjuna mendekat dan mengibaskan tangannya di depan wajah istrinya.

"Eh, uhm, lupa deh. Tapi mas Juna beneran ganteng ya?" Justru itu yang keluar dari mulut Mehreen. Ia betul-betul terdistraksi akan penampilan suaminya. Tentara itu gagah tapi Arjuna ... luar biasa!

"Hah?" seru Arjuna tak mengerti.

"Suamiku ternyata seganteng ini ya, Ya Allah ... " Mehreen masih dengan celotehnya yang tidak jelas.

Sedangkan Arjuna menatap istrinya seperti ketempelan setan. Apa hormon kehamilan membuatnya jadi aneh dari yang biasanya aneh makin aneh?

"Kasihan istrimu kalau semisal kamu nikahnya nggak sama orang cakep?" komentar Mehreen.

Arjuna semakin mengerutkan keningnya. Nah, ini tambah ngelantur. Dia lagi narsis atau menghina?

"Jaman rasanya nggak berubah dari dulu sampai sekarang, tapi semoga ke depannya enggak. Semua harus sempurna di mata manusia. Yang cakep harus sama yang cakep. Yang enggak ya sama yang enggak. Yang kaya harus sama yang kaya karena nggak akan mungkin diporotin tapi nambah kekayaan. Yang miskin sama yang miskin biar nggak di-bully dan direndahkan. Padahal konsep jodoh nggak gitu ... "

Arjuna yang sudah mengancingkan seragam seluruhnya kini bersedekap. Masih berdiri. "Ada apa pagi-pagi bahas gitu?"

Mehreen menggeleng. "Tiba-tiba kepikiran aja sih soalnya kamu cakep banget. Segala kata harus pasti melekat di kamu. Arjuna harus begini, begitu. Iya kan?"

Arjuna mengangguk lamat-lamat. "Ya. Tapi pada kenyataannya istriku lebih tua, pendidikannya lebih tinggi dan lebih kaya."

"Kamu nggak menyesal?"

Arjuna tersenyum kecil. "Kalau orang bilang malah aku dapat durian runtuh. Istri cantik, kaya, keluarganya kaya dan punya jabatan. Aku apa? Cuma punya tampang."

"Apa sih, Mas Juna ini. Biasa aja," sahut Mehreen cemberut.

Senyuman Arjuna semakin lebar. "Makanya logika dan matematika Tuhan dan manusia itu beda. Kalau Tuhan sudah Kun fayakun kita bisa apa? Kita yang berbeda ini malah bersatu. Kita yang seharusnya terhubung dengan mudah melalui Papa Rashad nyatanya justru bertemu sendiri di Papua. Semua yang ada di diri kita ini milik Tuhan. Tubuh, harta, jabatan itu bukan milik kita. Kalau diambil meski sedikit saja, pasti kita kelimpungan dan manusia sering lupa itu sehingga sombong."

"Aku yang lebih tua, kamu menyesal nggak sih? Malu nggak sih?"

Kali ini kening Arjuna mengernyit dalam. Pembicaraan sudah mulai lampu kuning dan bisa menuju merah kalau diteruskan. Lagipula ini istrinya kok pertanyaannya aneh pagi-pagi begini? "Mbak Mehreen, istriku, Sayangku, kalau malu apalagi menyesal, kita nggak akan ada di sini sekarang. Saya masih tinggal di barak dan kamu masih bersama orang tuamu. Sudah ah, pagi-pagi bahas apaan coba? Nggak usah melantur. Aku mau berangkat. Assalamu'alaikum." Ia menyodorkan tangannya untuk disalim dan mencium puncak kepala sang istri lalu meninggalkan rumah.

Meninggalkan Mehreen yang terpaku dalam diam menatap punggung tegap sang suami. Ia bersyukur punya suami seperti Arjuna yang sempurna. Baik, lembut, sabar, perhatian, ganteng dan ... muda!

Ia sendiri tidak tahu mengapa pikirannya tiba-tiba ke mana-mana. Ia percaya suaminya bisa menjaga dirinya, yang tidak ia percaya adalah perempuan di luar sana yang tidak bisa menjaga matanya.

Jodoh ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang