Tidak mudah mengembalikan kepercayaan diri Mehreen bahwa fisiknya sehat. Namun, perlahan istri Arjuna tersebut mulai kembali. Terkadang si kembar Abhi dan Garin atau Bianca bergantian menginap di akhir pekan untuk membantunya agar lebih ceria lagi. Bukan Arjuna yang meminta melainkan para orang tua itu sendiri yang mengirimkan anak-anak mereka. Terutama Bianca yang terkadang tidak mau pulang.
Seperti hari ini, sudah empat hari sejak akhir pekan lalu Bianca menginap sehingga berangkat sekolah dari asrama.
"Huaaa ... Mau ikut Pakde Una! Adek ikut!" jerit Bianca yang begitu bangun tidur tidak mendapati Arjuna di rumah karena sudah berangkat.
Mehreen yang sedikit kerepotan menggendong si kecil yang tidak ringan dan rewel itu berusaha membujuk. "Nanti Pakde Una pulang kok. Kan antar Adek sekolah dulu. Ya?"
Bianca yang sesenggukan menggigit jari telunjuknya. "Pulang?"
Mehreen mengangguk. "Pulang dong. Yok, mandi dulu. Nanti kita sarapan terus Adek sekolah sama Pakde. Ya?" bujuknya sambil mencium gemas pipi gembil keponakannya.
Mendengar hal itu, si kecil pun menurut dan tangisnya perlahan reda. Ia pun mandi dengan air hangat yang sudah disiapkan sambil berceloteh riang.
"Bude Mein nggak mandi?" tanya Bianca yang sudah selesai mandi dan kini tubuhnya dibungkus dengan handuk.
"Sudah dong."
Bianca mengangguk. "Bude Mein, Adek bawa bekal? Ayip juga?" Ia mengingat sebab kemarin Mehreen membuatkan bekal untuk Ayip juga.
Mehreen mengangguk sembari menuntun keponakannya keluar dari kamar mandi menuju kamar. Kamarnya dan Arjuna yang kini berbau bayi daripada wangi parfum. "Iya dong. Ayip juga."
Bianca meringis.
"Adek kenapa nggak mau pulang? Dicari Mama sama Papa loh." Mehreen ingin tertawa kala teringat betapa keponakannya menolak keras hingga menangis menjerit-jerit dan membuat tetangga berdatangan karena dikira ada musibah.
Bianca menggeleng kuat. "Nggak mau!"
Tapi kalau menginap terlalu lama, sepupunya pasti kebakaran jenggot karena putrinya tidak pulang-pulang.
"Nah, Adek sudah cantik yuk tunggu Pakde Juna pulang. Bude mau siapin sarapannya dulu," kata Mehreen.
Bianca mengangguk lalu keluar menuju teras dan duduk manis di kursi yang ada. Menunggu Arjuna pulang untuk mandi dan sarapan.
Mehreen tahu yang membuat keponakannya betah di rumahnya karena di bloknya banyak anak kecil seusianya. Berbeda dengan di rumah sepupunya yang sepantaran Bianca hanya Rio, si tetangga sebelah. Lalu, si kecil juga suka diajak menonton saat ada yang voli atau lari. Intinya melihat dan melakukan kegiatan yang bisa mengeksplorasi fisik.
Tak lama terdengar salam dari dua suara berbeda. Yang satu maskulin dan satunya imut. Mehreen yang sudah selesai menata meja makan menoleh dan membalas salam keduanya. Bianca berada di gendongan sang suami.
"Mas, kamu kuat nggak gendong aku sama Bianca sekaligus?" tanya Mehreen tiba-tiba.
Arjuna tersenyum. "Kuat saja. Mau coba? Sini gendong belakang."
Mehreen yang memang dasarnya memiliki jiwa usil pun segera naik di punggung suaminya yang langsung membuat si kecil cekikikan.
"Bude Mein ikut gendong!" seru Bianca sambil menjerit senang.
Arjuna membawa mereka berjalan ke ruang tamu lalu kembali ke ruang makan tanpa kesulitan. "Sudah. Adek sama Bude tunggu dulu. Abis itu kita makan terus sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
General Fiction#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...