💘 8

8.6K 891 97
                                    

Mehreen dan teman-temannya mampu mematahkan anggapan bahwa mereka hanya sekedar manekin berjalan. Mereka tak sekedar punya wajah tetapi otak dan fisik kuat, sebuah kombinasi yang jarang tapi bukan berarti tak ada.

Gemblengan Damai tidak main-main saat Mehreen mengatakan niatnya membentuk komunitas yang bisa terjun segala medan.

Walaupun misi kali ini diselipi misi pribadi yaitu melihat Sahil hidup-hidup tapi Mehreen tetap profesional.

"Nih, kopi." Sahil memberikan cangkir yang masih mengepul kepada sepupunya saat istirahat usai makan malam.

Pekerjaan hari ini cukup berat ditambah ada gempa susulan lagi yang lebih kecil.

"Makasih," ucap Mehreen. Matanya sedikit menatap lurus Andra yang tampak mengobrol dengan tentara lain agak jauh dari mereka.

"Heh, lihatin siapa!" tegur Sahil sambil menarik hidung mancung kakak sepupunya itu.

Mehreen menggeleng. Ia menyesap kopinya sedikit.

"Nggak usah bohong." Sahil menggodanya sambil menyenggol bahu Mehreen dengan bahunya.

Mehreen membalasnua dengan lirikan saja. "Aku heran ya sama kamu, Dek, punya berapa kepribadian sih?" dumelnya.

Sahil tertawa. "Semua ada porsinya." Ia menatap Arjuna yang tadi dicuri pandang oleh Mehreen. "Mbak suka dengan Arjuna? Brondong lho."

"Mulutnya!" Sambil berkata begitu, ia mencubit pipi Sahil yang hanya terkekeh saja.

"Tahu nggak kenapa Andra dipanggil Arjuna?"

"Karena jago panahan? Ganteng?"

Sahil mengangguk. "Betul. Jago panahan membuatnya jago menembak. Bidikannya selalu tepat sasaran. Juga ganteng tapi belum bisa serius sama perempuan."

Mehreen memicingkan kedua matanya lalu mendengkus. "Ceritanya aku dikasih peringatan nih?" ejeknya.

"Whatever you call it." Sahil mengedikkan bahunya.

Mehreen tersenyum dan menepuk bahu adik sepupunya. "Honestly, Arjuna ini menarik tapi lebih ganteng Dek Sahil." Jujurnya.

Dan jauh lebih ganteng Arjuna di Papua, batinnya.

Sahil tersenyum mengejek. Ia menaik-naikkan kedua alisnya.

"At least, aku nggak menggaet seseorang di situasi yang enggak banget ini." Ganti Mehreen yang menaik-naikkan kedua alisnya.

Sahil nyengir lebar.

"Katanya ada Bu Guru cantik bagai bidadari turun dari langit." Mehreen berusaha membuat intonasinya sambil lalu. "Jadi, Dek Sahil berhasil mencuri selendangnya hingga si cantik ini nggak bisa balik ke kahyangan?"

Sahil kembali terkekeh. "Mungkin saat ini ia sudah bertemu yang lainnya di Malang."

"Maksudnya? Si Bu Guru bidadari ketemu sama Mama, Papa dan yang lain di Malang?"

Sahil mengangguk.

Mehreen menyipit. "Kok bisa? Kenal?"

Sahil terkekeh lalu mengedikkan bahunya. "Aku memintanya ikut dievakuasi pulang apalagi lima tahun dia belum pulang sama sekali. Terus aku titip surat buat Mbak Ai yang isinya agar ia bertemu yang lain."

"Jahatnya. Melempar anak gadis ke kandang singa," seloroh Mehreen sambil menyenggol bahu Sahil dengan bahunya lalu kembali menyesap kopinya.

"Itu namanya cerdas. Kondisinya begini. Pekerjaanku bukan pekerjaan rutin nine to five. Yang penting bayar DP dulu buat beli kaplingannya biar nggak diserobot orang. Yang bersertifikat saja masih banyak yang coba dipalsu dan diserobot apalagi tanah tak bertuan."

Jodoh ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang