10: Hama dan Pupuk Padi

313 87 50
                                    

Atman agak menyesal menarik udara dari sekitar Sonaka hingga rekannya sesak nafas, karena itu hanya membuat tubuhnya kembali dirundung ngilu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Atman agak menyesal menarik udara dari sekitar Sonaka hingga rekannya sesak nafas, karena itu hanya membuat tubuhnya kembali dirundung ngilu. Hasil ledakan Ava belum sepenuhnya hilang, sakitnya kembali lagi setelah semua tamu pulang, yang lebih buruk dari sakit itu adalah ocehan Sonaka yang persis seperti ucapan Rayyan.

Dia bukan tipe orang yang menghindari rasa sakit dan menjadikannya alasan untuk menjalankan kewajiban, namun hari ini nyeri merayapi kulit dan mengambil kemampuannya berkonsentrasi. Tenaganya nyaris tandas karena pertemuan di puri, yang baru ia sadari ternyata terlalu pagi untuk orang yang baru terpapar ledakan mistik.

Pikirannya tahu, ia perlu ketenangan, namun hal itu bukan sesuatu yang bisa ia dapat cuma-cuma.

Atman memutuskan untuk pergi, tapi tidak ke Balairung Majelis Agung. Dia punya tujuan lain, yakni sanggar seni di Jinah.

Biasanya pusat kota dihuni lebih banyak orang, namun sekarang para pedagang digusur untuk alasan keamanan. Area kericuhan dijejali pagar penghalang, ditemani polisi bersenjata api yang juga berbekal belati di pinggang. Para pedagang memilih mengambil jalan memutar, menjauhkan diri dari aparat karena enggan barang-barang mereka dibongkar. Anak-anak justru bersemangat, mereka berjalan bergerombol menuju sekolah, sengaja melewati jalanan yang dijaga polisi hanya untuk melihat-lihat senjata atau seragam mereka.

Dalam perjalanan, terngiang ucapan Sonaka perihal keputusannya membiarkan Dhatu masuk ke balairung. Kendati perintah penanggulangan telah diturunkan lewat Trisirah, Shapati dan Kindama, masih belum ada jaminan bahwa efek Dhatu bisa dikendalikan dalam waktu singkat.

Sekarang, mereka berlomba dengan waktu, karena semakin lama Shangkara dinilai tidak stabil oleh dunia luar maka larangan berkunjung akan terus diberlakukan.

Atman menjatuhkan pandangan pada jemari. Satu-satunya bagian dari dirinya yang belum ia kaitkan dengan kegagalan, karena sebuah cincin yang tersemat di jari manis. Bentuk cincinya amat sederhana, emas bundar tanpa hiasan apapun. Atman sanggup memiliki yang lebih mewah, lebih berkelindan dengan batu permata, tapi pilihan jatuh pada cincin ini. Dia nyaris melupakan cengkraman cincin itu dijemarinya sejak sidang di balairung, pikirannya penuh oleh tingkah laku Dhatu, dan Atman merasa bersalah.

Pikirannya diputus oleh laju kereta yang melambat, lalu berhenti. Atman meninggalkan kereta dengan kedua tangan tertaut di punggung, samar-samar berusaha melepaskan cincin dari jemarinya.

Sanggar seni yang didatangi adalah bagian dari puri Simha di Jinah. Lokasinya bersanding dengan puri tersebut, dipisahkan oleh kolam ikan luas dengan jembatan kayu yang membentang di permukaannya. Pintu masuknya serupa dengan puri Atman, gapura candi bentar dari batu paras kemerahan, berdinding tinggi yang melindungi lahan puri. Yang membuat puri ini lebih baik dari tempat tinggal Atman adalah koleksi tanamannya yang lebih berwarna, tidak ada tanaman gantung pada dindingnya tetapi pepohonan tumbuh subur di halaman, memayungi kereta kuda dan sepeda yang terparkir.

Senandung Jazirah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang