Ava memikirkan si mayat anjing seharian, bahkan di tengah do'a. Usai upacara, Ava mengantar ibu pulang lalu kembali lagi ke pura. Jemaat telah pulang, tersisa pendeta dan para pembantunya. Alat musik kembali diselimuti kain penghangat, denting genta telah padam, suasana lebih senyap dan yang tersisa hanya aroma dupa yang menguar.
Manakala ia melintasi ruas luar pura, Ava mendongak pada bangunan pura yang menjulang bersama warna-warnanya. Keheningan usai upacara selalu membuatnya merasa kerdil, puncak tugu yang menjulang ke langit kerap menyadarkan bahwa Ava bukan apa-apa dan kehidupannya di dunia hanya sementara. Bangunan ini tidak bisa bicara, roh-rohnya pun jarang mengomentari umat yang datang, namun Ava merasa begitu nista.
Kibaran umbul-umbul dan sisa wangi dupa mengingatkan Ava pada pelayanan yang tidak bisa ia lakukan. Dia tidak lagi menari untuk memuja, ia hanya bisa menghaturkan sesajen dan berdo'a. Baginya, hal itu tidak cukup, ia harus melakukan hal lebih untuk para dewa agar dia lebih dilindungi dari Ilmu Hitam yang menghantuinya. Bahkan, cara pemujaannya dirampas oleh aturan laknat.
Mayat masih terbaring sedih di tepi danau. Bulu-bulunya berwarna kecokelatan terang, rahangnya tidak lagi bergerak, kedua matanya terpejam tanpa harapan. Telapak tangan Ava meraba perutnya, dia ingin menemukan tarikan nafas dan sedikit keajaiban. Sayangnya, tidak ada yang terjadi. Ava mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk membungkus mayat anjing, ia mengais tong sampah, mencari plastik atau kertas pembungkus.
Ia menemukan lembaran daun pisang . Buru-buru ia membungkus mayat menggunakan daun pisang, kemudian dengan halus ia mengikatnya. Sekarang, ia mencari-cari lokasi untuk mengkubur, tidak bisa anjing ini dikuburkan dekat pura.
Ava memutuskan mencari tempat lain, barang bawaannya mengundang lirikan dan bisik-bisik gosip baru sepanjang jalan. Dia dengan mudah mengabaikannya, ia sudah terbiasa dengan lirikan seperti ini. Ketika mencapai usia tertentu, orang Thaka telah menumbuhkan kekebalan pada lirikan jijik atau desas-desus.
Ketika pengemudi becak menolak membawa Ava ke tujuan, Ava mengangguk paham dan undur diri, perjalanan dia lanjutkan dengan kaki. Tujuan Ava adalah rumah Kalki di daerah Wiku, satu-satunya kecamatan pinggir Alodhya yang masih punya sawah.
Setibanya Ava di Wiku, tenggorokannya sudah minta air. Lengannya pegal menggendong anjing, tubuhnya pun sudah berkali-kali dipindah posisi dalam pelukan Ava. Penghuni warung kopi terbelalak melihat Ava menggendong mayat anjing, seorang pemilik rumah makan sempat memasang harga untuk mayat anjing itu, para ibu memanggil anak-anak pulang dengan penuh khawatir.
"Kalki di rumah?" Ava bertanya pada pemilik warung nasi di dekat rumah Kalki.
Pemilik warung menutup hidungnya dengan tangan kanan. "Ada. Baru saja pulang."
Posisi rumah Kalki jauh dari para tetangga, bangunan sederhana yang dikelilingi sawah bersama sungai jernih yang mengalir di luar tembok. Kadang Ava menilai Kalki sebagai orang aneh, dia adalah keturunan kasta tertinggi di Shangkara, seorang Narasimha. Seperti seorang Narasimha pada umumnya, ia punya puri tetapi dia meninggalkan puri beserta isinya. Segala kenyamanannya dilepas untuk perjuangan yang dihina-hina dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Jazirah (TAMAT)
FantasíaRANK #1 FANTASIINDONESIA 15 NOV 2024 #5 BUMI 20 NOV 2024 #4 writteninaction 20 NOV 2024 Dia berusaha menyelamatkan diri dari Ilmu Hitam. Satu-satunya kitab yang mampu menyelamatkannya, dibentengi oleh status kasta yang berlaku. __ Avattara meng...