RANK
#1 FANTASIINDONESIA 15 NOV 2024
#5 BUMI 20 NOV 2024
#4 writteninaction 20 NOV 2024
Dia berusaha menyelamatkan diri dari Ilmu Hitam. Satu-satunya kitab yang mampu menyelamatkannya, dibentengi oleh status kasta yang berlaku.
__
Avattara meng...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jika Widura kalah, maka perkaranya akan lebih dari sekedar Babad Kasta. Jika Widura kalah, tidak akan ada Shangkara. Jika Widura kalah, Maghda yang akan masuk dan mereka akan mengubah segalanya jadi boneka.
Republik harus dipertahankan. Ini kesepakatan mereka bersama, termasuk Ava.
Ava tidak bisa tidur setelah diskusi bersama Gada. Dia terbaring di kamar yang sama dengan Atman, di atas tempat tidur yang berbeda. Dari tempatnya tidur, dia melihat raut wajah Atman kala terpejam; urat wajahnya tersembunyi tenang di balik kulit, dadanya bergerak tenang seiring napasnya.
Dia nampak tidak berbahaya.
Akan tetapi, pria itu adalah pria yang mampu menggerakan angin dengan jemari dan pernah memerintah seluruh balairung Majelis.
Hingga matahari terbit, Ava tidak merasa lebih baik. Tubuh Atman bergerak, pria itu mulai terbangun dan Ava malah pura-pura tidur.
***
"Aku benci posisi ini." Ava berjalan mondar-mandir di kamar. Dia sendiri terbangun dua puluh menit setelah Atman terjaga, pria itu sudah sempat bermeditasi sebelum Ava bangkit. Kini Atman hanya mengamati Ava kelimpungan. "Semua ini masih ada karena mereka juga berperan, tapi..."
Atman mengangguk. Ini sifat alamiah politik; kita dipaksa melihat gambaran besar, menahan pondasi-pondasi agar tetap berdiri menopang gambaran utama tidak peduli seberapa busuk itu semua.
"Kau terlihat cukup bertekad sebelum masuk ke ruangan. Mengancam tidak akan mau jadi simbol, memaksa mereka untuk bicara jujur," balas Atman. "Aku hargai itu."
"Jangan ingatkan aku soal itu." Ava menutup wajah. "Bangsat, semua brengsek."
Atman membaca Risalah Arthasastra. Di sana dikatakan jika dengan menyerang akan mendatangkan kemenangan atas musuh, lakukanlah, namun jika tidak maka jaga posisi sendiri.
"Mungkin ini benar. Keputusanmu." Kepedihan merasuki Atman. "Jika kita bersikeras membeberkan soal Gada dan Kalki..."
"Kita tidak akan menang."
"Kau pernah baca Risalah Arthasastra, Ava?" Atman menarik tangan Ava hingga duduk di sisinya.
"Kau tahu aku tidak sekolah setinggi itu." Ava menepis tangan Atman, namun tetap ikut duduk bersamanya.
"Jika menyerang musuh akan membawa kemenangan, lakukan. Jika tidak, jaga posisi sendiri."
Pandangan Ava tertanam padanya, tidak bergerak. Dengan kedua bahu bersinggungan, Atman bisa merasakan otot tubuh Ava menegang. Gadis itu belum terbiasa dengan semua ini, dia memang simbol dan corong yang sempurna namun kenyataan politik seperti ini belum ering menyentuhnya.
"Jadi kita akan bertahan begini." Ava berbisik.
"Kau tahu sebanyak yang aku tahu," balas Atman. "Kita berdua sebaiknya bertahan di sini."