10 : Sorran Adalah Batu, Terutama di Hati

218 59 5
                                    

Setelah terpelanting berkali-kali, dihantam air dan angin; Ava menduga ia akan dikembalikan dengan daya yang kasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah terpelanting berkali-kali, dihantam air dan angin; Ava menduga ia akan dikembalikan dengan daya yang kasar. Ia salah. Perjalanannya terasa seperti perjalanan pada umumnya, tidak ada mantra apapun; kecuali yang menerangi kakinya.

Dirah menuntunnya melewati tugu, menemaninya selama beberapa meter pertama. Mereka melewati pohon beringin lain, setelahnya Dirah undur diri. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada terima kasih. Ava masih dibayang-bayangi cerita darah dan Lèak yang mengikutinya, oleh karena itu dia buru-buru pergi.

Melewati pepohonan yang menghapus banyak jarak membuat Ava merasa seperti tidak nyata. Jangkauan Kuruksethra lebih besar dari yang ada di cerita. Berkali-kali ia celingukan setiap kali derik kayu terdengar, ia tidak punya senjata untuk melindungi diri dan dia menyesal karena buru-buru pergi.

Setidaknya di sini tidak ada Atman, sejenak dia berpikir demikian.

Tapi, sebenarnya, mana yang lebih baik. Dikejar-kejar Atman atau bertemu dengan penghuni Bhun Loka yang tak ada bedanya dengan manusia biasa atau roh sebangsa Sattwam dan Sugriwa? Yang membuatnya tidak bisa membedakan gelap dan terang.

Mungkin ini yang Kalki maksud ketika bicara Ilmu Hitam dan Ilmu Putih perlu kesadaran penuh.

Pelan-pelan, pepohonan di sekitarnya berkurang, menyingkap bayang-bayang perkebunan bunga rampai di kaki gunung. Ava menghentikan langkah, menoleh ke jalur yang ia tinggalkan, lalu merasa ngeri. Tugu masih terlihat samar-samar, tandanya ia belum terlalu jauh berjalan, tetapi pemandangan di sekitarnya telah memberi hawa Joyan. Ia tahu dari perkebunan bunga rampai yang tumbuh subur, Joyan terkenal sebagai daerah produsen bunga rampai.

Ava menepuk-nepuk celananya, memantapkan kaki yang mulai ngilu untuk kembali berjalan.

Penduduk Joyan punya mata pencaharian utama sebagai petani, kontur tanah dan suhunya nyaris mirip Kransam. Hanya saja Kransam lebih dingin karena berdiri lebih jauh di atas permukaan laut. Semak belukar tumbuh setinggi dengkul, kaki Ava mulai disambangi serangga yang membuat kulitnya gatal-gatal.

Tanah yang ia lewati tidak hanya dikerubungi tanaman , patahan besi dan olahan usang nampak pula di sela-selanya. Segalanya menunjukkan Ava berada dekat dengan pemukiman penduduk, Ava justru merasa sedikit terancam karenanya.

Tubuhnya semakin letih, tidak bisa lagi menoleransi. Akhirnya, Ava memutuskan memanjat salah satu pohon untuk beristirahat di dahan. Tidak mau ambil risiko terekspose di daratan.

Susah payah ia menggapai ranting, mencari pijakan yang cukup untuk bobotnya. Makin tinggi, kepalanya justru dirundung pening.

Krek. Krek.

Derik logam menghentikan gerakan Ava saat ia nyaris tiba di posisi yang ia inginkan. Sekujur tubuhnya membeku panik karena derik menyerupai kokang senjata.

"Ya, ampun.... Ava?" suara yang tak asing menghantamnya.

Ava menoleh ke pohon lain yang berjarak beberapa langkah darinya. "Runan?"

Senandung Jazirah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang