Part 23 - Not The 'You' That I Wanted

347 53 32
                                    

Aku memandang punggung Stefan yang kini berjalan mendahului ke parkiran. Mengikutinya dengan langkah gontai, sementara dia berjalan cepat, sibuk dengan ponselnya. lima dokter baru sudah kami datangi di lima minggu ini, dan semua memberikan diagnosa yang hampir sama dengan Dokter Dhira. PTSD, anxiety, depression, tidak ada yang berubah dari segala diagnosa mereka. Lima kali ganti dokter, lima kali pula aku harus menceritakan lagi hal yang sama. Dan jujur saja, ini mulai melelahkan. Melihat Stefan yang selalu keluar dari ruangan dokter dengan wajah kecewa, marah-marah sendiri di mobil karena nggak suka sama hasil diagnosa Dokter, dan mencari-cari lagi dokter yang baru untuk konsultasiku yang berikutnya, seakan mencari harapan, kalau di dokter berikutnya dia mendapatkan jawaban yang berbeda tentangku, padahal semuanya tetap sama.

Di mobil, Stefan tetap sibuk dengan pikirannya, sedangkan aku memilih untuk diam saja, merutuki betapa tidak enaknya ada di tengah-tengah hujan, macet, dan satu mobil sama orang yang lagi sensi. Belakangan ini, rasio obrolan kami jadi sangat berkurang. Kemarin-kemarin, ketika keadaan masih baik-baik saja, aku dan Stefan bisa ngobrolin hal yang paling nggak penting di dunia dan itu rasanya menyenangkan, seperti kenapa waktu SD kita di paksa belajar menulis halus, atau kenapa logaritma akan selalu jadi nightmare, dan kenyataan kalau nasi goreng gila jalan Sabang memang lebih enak dari pada nasi goreng kambing Kebon Sirih. Obrolan-obrolan recehan yang membuat hari kami yang mungkin lelah di kerjaan jadi terasa lebih ringan. Atau kalau memang lagi serius, pembahasan kami tidak pernah jauh melenceng dari film atau musik, travelling destination, atau seputar tanaman. Intinya, obrolanku dan Stefan dulu jauh lebih menyenangkan dari saat ini.

Kenapa? Karena belakangan ini, semenjak aku setuju untuk terapi di Dokter Dhira, yang Stefan bicarakan selalu seputar kesehatanku, progress-ku, apa yang aku rasakan, dan lain-lain. Dan ketika akhirnya aku berhenti ke Dokter Dhira, obrolan ini jadi semakin kemana-mana. Tentang dia yang tidak suka dokter yang baru kami datangi, perbandingan-perbandingan antara dokter satu dan yang lain, atau pilihan-pilihan psikolog lain yang kadang membuatku muak. Aku harus akui, sekarang semuanya jadi terasa tidak fun lagi. Karena kini aku mulai merasa Stefan tidak lagi memperlakukanku sebagai kekasihnya, melainkan sebagai kelinci percobaannya.

Dan aku mulai merasa kesepian. Semenjak Stefan sibuk dengan segala obsesi anehnya ini, aku  malah merasa jarak jadi terbentang lebar di antara kami. Aku jadi kehilangannya, kesepian, sementara Stefan yang walaupun ada di sisiku, saat ini malah terasa jauh. Aku kangen dia. Namun setiap aku mulai merasa seperti itu, aku buru-buru menepis semua pikiran itu, mencoba mencari positive sight dari semua yang Stefan lakukan padaku. Mungkin dia benar-benar ingin aku sembuh. Jadi caranya begini.

"Aku nggak ngerti ya, Yuk, kok bisa cepet banget dia kasih kamu diagnosa begitu aja, padahal kamu baru konsultasi satu kali, lho. Kan harusnya dia coba buat cari tau lebih jauh, apa yang kamu rasain dan lain sebagainya, jangan tiba-tiba langsung PTSD, PTSD aja. Orang kalo cek penyakit misalkan kanker nih, dokter juga pasti adain prosedur pemeriksaan bertahap kok sampai akhirnya bisa di simpulin kalau si pasien bener-bener kanker. Serius, nggak ngerti aku."

Kan. Mulai marah-marah lagi. Aku menghela nafas kemudian mengelus pundaknya. Tidak mau menjawab, takut malah jadi ribut.

"Yuk, ini ada satu dokter aku dapet dari temen aku, perempuan. Bagus katanya, punya banyak cara untuk membantu pasien-nya, nggak mau asal diagnosa, dan hari ini dia available, kita kesana, ya?"

Aku menghela nafas jengah. "Harus banget hari ini, ya? Aku capek banget, Stef. Pengen pulang. Besok-besok lagi aja deh, ya?"

"Yah, kalau besok-besok belum tentu juga dapet slot untuk konsul sama dia, Sayang. Dia ini banyak pasiennya. Dan ini kebetulan kita bisa dapet slot karena temen aku yang bantu dan hari ini pasien dia ada yang cancel. Jadi kita kesana, ya? Sebentar aja. Nggak pa-pa, kan?"

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang