Part 4 - I Used to Dream About Love

557 67 9
                                    

I can't believe I did this. Aku nggak percaya kalau tadi, saat jam tiga sore Stefan meneleponku dan bilang kalau dia memintaku untuk ikut bersamanya menemui Mama dan adiknya malam ini di Miyama, dan aku mengiyakan. Dan saat ini, dalam perjalan pulang, aku melihat mobil Stefan sudah terparkir didepan rumahku, dan orangnya juga sudah duduk diteras sambil berkutat dengan ponselnya. Menungguku pulang untuk kembali mengajakku pergi lagi ke tempat pertemuan kami dengan Mamanya nanti.

Yang aku ingat, alasan kenapa aku mau setuju untuk bertemu dengan Mamanya adalah karena aku tau, Mamanya Stefan yang biasa kupanggil Tante Susan ini orangnya baik banget. Dan aku nggak tega kalau harus mengecewakan beliau. Aku sudah pernah bertemu dengan Tante Susan kira-kira empat kali. Pertama saat secara tidak sengaja bertemu di PS ketika aku habis meeting dengan salah satu client-ku. Stefan memperkenalkanku pada Mamanya, dan Mamanya langsung menyambutku dengan kasih sayang dan bilang kalau aku adalah wanita yang sering diceritakan Stefan dirumah. Kemudian aku juga pernah bertemu dengan Mamanya di acara pernikahan Deena, adiknya Stefan, di Mulia–waktu itu sebetulnya aku malas datang, tapi Terry memaksa untuk datang menemaninya karena saat itu Agung sedang ada shooting film terbarunya di Belanda. Di pertemuan kedua itu, itu adalah fase setelah Stefan sudah melamarku untuk yang pertama kalinya, dan kutolak. Tapi Mamanya tidak tau itu. Karena aku ingat, saat Mamanya mengajakku untuk bertemu dengan keluarga besarnya Stefan, Mamanya Stefan mengelak saat salah satu Tantenya bertanya kalau aku ini pacarnya Stefan atau bukan.

"Jadi ini calonnya Steve, Mbak? Cantik banget, ya."

Aku sedikit terkejut saat mereka melabeli aku sebagai calon istrinya Stefan. Tapi aku mencoba sebisa mungkin menutupinya dengan senyum saja, tidak jawab apa-apa. Sedangkan Stefan sedang senyum-senyum disebelahku sambil mengelus tengkuknya, salah tingkah seakan memberikan sinyal pada semua orang kalau ucapan salah satu Tantenya tentang hubunganku dan dia adalah benar. Crap! Seandainya aku punya universal remote-control yang dimiliki Adam Sandler di film-nya yang berjudul Click itu, aku rasanya ingin langsung pencet tombol fast-forward dan buru-buru men-skip saat ini untuk kembali ada Terry dan menariknya pulang, eh, tapi sebelumnya aku pencet pause dulu untuk setidaknya menampar pipi cowok brengsek disebelahku ini sekali aja saking kesalnya. Tapi ternyata yang menyelamatkanku dari suasana ini justru Mamanya Stefan. Sambil merangkulku, Tante Susan menjawab, "Bukan. Walaupun aku pengennya begitu, tapi sepertinya mereka berdua belum sampai ke tahap itu. Apalagi Yuki cantik, pasti yang deketin bukan cuma Stefan, ya, Sayang?" dan aku cuma bisa tersenyum kikuk untuk menjawab ucapan Tante Susan.

Lalu pertemuan yang ketiga adalah saat Stefan membawa Mamanya menengokku yang di opname setelah oprasi usus buntu, setahun yang lalu. Dan pertemuan kami yang terakhir adalah saat aku terpaksa datang ke rumahnya setelah Tante Susan sendiri meneleponku untuk mengambil oleh-oleh yang dibawakan Tante Susan setelah dia dan Papanya Stefan baru pulang dari Jerman, kira-kira empat atau lima bulan yang lalu.

And today, I'm gonna meet her for the fifth time, and not just as Yuki, but as Yuki a.k.a Stefan's fiancée. Enggak ada alasan lain kenapa aku setuju dengan permintaan Stefan ditelepon barusan selain karena Mamanya. Pokoknya sekali lagi, kalau bukan karena Mamanya Stefan yang minta, aku nggak akan pernah mau datang dan ikut sama si Stefan ini.

"Hey beautiful," sapa Stefan padaku begitu aku turun dari mobil. Tetapi sapaan yang tidak berbalas.

Aku hanya meliriknya sebentar ketika aku menutup pintu mobil dan menguncinya. Dan setelah itu, aku berdiri dihadapannya yang sedang tersenyum kearahku. Aku jadi mengerutkan kening setelah hampir sepuluh detik kami berdiri berhadapan, hanya ada aku yang pasang tampang bete padanya, dan dia yang lagi senyum-senyum lebar nggak jelas padaku.

"Ini kita mau jalan untuk ketemu Mama kamu, atau cuma mau berdiri begini aja buang-buang waktu nggak penting sampai besok?" tanyaku ketus.

Tapi bagaikan tak mengerti maksud dari kalimatku yang jelas-jelas mewakilkan kejengkelanku, Stefan justru makin tersenyum lebar. Dan dia berdecak sambil tolak pinggang.

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang