Part 12 - When the Lips Touches

485 69 11
                                    

Weekend ini, kami semua berkumpul di rumah Terry untuk merayakan ulang tahun Agung yang ke 30. Acaranya simple tapi asik, diawali dengan surprise menyambut Agung yang baru pulang dari business trip, lalu dilanjutkan dengan barbecue-an di taman belakang rumah Terry sambil mendengarkan Agung dan band-nya jamming. Agung itu memang punya band dengan teman-teman kampusnya yang sampai sekarang masih suka ngumpul dan jamming bareng. Yang datang juga nggak begitu banyak, nggak sampai dua puluh orang. Cuma beberapa teman dekat Agung dan Terry, juga saudara Agung, dan kita-kita aja. Sehingga birthday party-nya juga terasa cukup hangat.

"Ter, daging-dagingnya yang mau panggang masih ada, kan? Yang barusan soalnya udah hampir abis, jadi Stefan bilang udah bisa di tambah lagi dagingnya," ucapku sambil berjalan masuk ke dapur pada Terry yang dari tadi sibuk mengurus segala sesuatunya. Demi pesta ini, aku dan Manda bahkan sampai menginap di rumahnya dari kemarin sore, menemani Terry mempersiapkan pesta yang untungnya berjalan lancar dan surprise-nya juga sukses.

"Oh, ada tuh di freezer. Lo ambil aja Yuk semuanya, kan masih banyak banget juga, ada yang udah kita bumbuin, ada yang masih polos. Kalau sosisnya ada di kulkas biasa, cuma masih dalam packaging, harus lo keluar-keluarin dulu dari plastiknya," Terry yang sedang sibuk membuat salad buah untuk dessert bersama Manda menunjuk kulkas. Aku kemudian mengeluarkan box styrofoam berisi daging lalu mengambil sosis juga di kulkasnya kemudian mulai mengeluarkan sosis dari dalam packaging agar lebih mudah di olah nantinya.

"Itu makanan gue kira bakal banyak banget, taunya udah mau abis aja, Ter. Grilled baby potato-nya aja udah abis, jadi gue tambahin lagi barusan. Untung banget kita beli side dishes-nya cukup ya," jelasku pada Terry.

"Iya. Kan gue bilang juga apa, pasti kudu banyak kalau mau ngasih makan temen-temennya Agung. Gue udah tau banget. Makanya gue juga beli daging ampe berkilo-kilo tuh, dan gue yakin, pasti abis, deh." 

"Dan untungnya lagi ada Stefan ya, jadi dia bisa bantu nge-grill dagingnya. Kalau nggak ada dia, kayaknya kita gempor banget, deh. Nggak kepegang semua," kata Manda.

Terry mengangguk. "Iya, gila. Stefan tuh nolong banget, sumpah. Dan ternyata dia jago loh nge-grill dagingnya. Bisa bantu gini-gini juga tuh orang, gue kira bisanya cuma ngegodain cewek doang."

Aku dan Manda kompak ketawa. 

"Tapi Yuk, gue liat lo sama Stefan makin kesini makin lengket aja, deh. Kayaknya gara-gara nginep-nginepan waktu lo sakit itu, deh. Ya kan, Ter?" Manda mendelik ke arah Terry yang juga ikut-ikutan mengangguk semangat.

"Iya. Ngapain aja sih emang waktu dia nginep di rumah lo? Bohong banget kan kalau cuma bobok di sofa doang. Kecuali lo bilang bobok berdua 'pake sofa', baru gue percaya." Terry memberikan tanda kutip fatamorgana dengan kedua jari telunjuknya ketika dia mengucapkan kata 'pake sofa'.

"Norak lo, Ter. Kayak kasur kurang lebar aja, pake acara di sofa," timpal Manda.

"Sok lo, Man. Kan elo yang cerita kalau lo suka memanfaatkan segala macam surfaces yang tersedia sama Bang Tama. Gue kan belajar gini juga dari elo."

"Iya juga sih, tapi kalau di sofa, biasanya kurang pewe, Ter. Nggak bisa banyak posisi."

"Eh, eh! Cukup yaa, kuping gue panas kalo udah dengerin kalian ngobrol ginian depan gue. Bisa urusan kasur kalian coba diomongin berdua aja, nggak?" seruku membuat mereka serta merta ketawa geli.

"Ya buat belajar, Yuk. Kayak belom pernah aja lo!" ledek Manda. 

Sementara aku memutar bola mata, bosan dengan ledekan mereka padaku. "Otak lo berdua tuh ya, nggak ngerti lagi gue. Kotor banget. Emangnya gue itu lo berdua, hah?"

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang