Part 2 - Leap Year Memories

835 84 6
                                    

29 February 2008. It's the first time I met him. Yeah, it's on the leap year. Special, wasn't it? Just like how I met this person, the most special person in my life, Al Avaldi Trisman.

Aku ingat, saat itu aku masih sembilan belas tahun. Dan ditengah-tengah padatnya kuliah semester tigaku, aku tiba-tiba ditelepon Mama untuk pulang ke Jakarta karena si Revaldo alias Bang Edo jelek mendadak pulang dari London.

Awalnya aku kesel banget tiba-tiba disuruh pulang di Sabtu pagi cuma untuk menyambut kepulangan Bang Edo yang baru saja menyelesaikan S2-nya, hari Minggu besok. Secara tugas lagi numpuk, aku juga lagi sibuk di organisasi karena ditunjuk sebagai ketua divisi publikasi dalam event di kampus, selain itu juga, malamnya aku ada janji nge-date sama Adipati ke Bandung. Adipati! Seniorku si wakil ketua BEM kampus, yang ganteng, tinggi, keren, baik, dan juga senior yang aku sukai sejak orientasi. Makanya aku bete banget disuruh pulang, sementara Mama udah langsung ngoceh aja waktu aku bilang kalau aku nggak bisa. Terpaksa, deh, aku membatalkan nge-date-ku dengan Adi, dan pulang ke Jakarta demi menyambut Kakakku dan menyelamatkan diri dari omelan Mama.

Di hari Minggu paginya, jam setengah lima subuh, Mama tiba-tiba gedor-gedor pintu kamar untuk membangunkanku dan memintaku menggantikan Papa menjemput Edo di bandara karena asam lambung Papa mendadak naik dan tidak bisa menjemput. Udah gitu nyuruhnya buru-buru pula, aku sampai nggak boleh mandi. Oh, well, cuma jemput Edo ini, kan? Kucel juga nggak masalah, lah. Tapi, jelas aku bete banget! Jam segini udah dibangunin cuma buat jemput Edo yang katanya manusia itu akan sampai di Jakarta jam setengah tujuh pagi. Seriously, Do? Bisa nggak sih, lo sekali aja nggak jadi kesayangan Mama yang bikin adik lo ini kena apesnya? Naik taksi, kek, Damri, kek, biar aku hanya perlu jemput dia di terminal. Enak, kan? Apalagi malamnya aku baru menemani Mama bikin berbagai macam kue kesukaan Edo. Mulai dari bakcang, panada, arem-arem, dan segala macamnya. Karena katanya Mama, malamnya setelah Edo pulang, Mama akan mengundang saudara-saudaraku untuk ibadah dan acara penyambutan. Huh! Kalau aku yang pulang, mana mungkin di beginikan? Palingan juga cuma dapet cipika-cipiki. Mama emang nggak adil!

But just like Richelle Mead said, for every bad thing in life, there are more good things to tip the balance. Yes, and that happened to me right at the moment when things can't go any worst. Pagi-pagi, dengan muka kucel, hoodie dari jaman SMA yang warna putihnya kini cenderung lebih ke abu-abu saking udah buluknya, celana piama bunga-bunga warna pink yang sudah tidak bisa disebut pink lagi, rambut dicepol asal, sandal jepit, dan masih pakai kaca mata minus, pula, aku menyambut Edo yang keluar dari bandara bersama seseorang yang mungkin temannya yang, oh my God, ganteng banget! Dan sialnya, aku memberikannya kesan pertama dalam keadaan sebuluk ini! Untung aja aku masih sempat sikat gigi dan cuci muka. Kalau nggak? Bisa mampus aku!

Cowok itu sekarang sedang mengikuti Edo berjalan keluar dari dalam terminal kedatangan sambil mendorong trolley-nya untuk menghampiriku. Astaga, udah tinggi, putih, clean cut gitu, badannya yummy, idungnya mancung, dan mukanya senga-senga misterius pula. Tipikal aku banget. Adi? Lewaaat! Eh, talk about Adi, he kept calling me for like one hundred times since I left Bandung yesterday morning. But I never picked him up. Cuma bales SMS-SMSnya aja. Itu pun sekali-sekali doang. Kalau kata Manda, "Biarin aja Adi nyariin elo, Yuk. Sekalian ngetest, tuh cowok beneran niat deketin lo, nggak." Gitu katanya, hehehe... Dasar Manda.

Back to this handsome stranger that already standing in front of me with his beautiful smile yang ternyata hangat banget walaupun mukanya keliatan jutek diawal. Ketika mereka sampai didepanku, Edo langsung memelukku, kemudian dia memperkenalkan si gorgeous specimen yang ternyata adalah roommate-nya di London.

"Namanya Al, dia ini temen sekamar gue, Yuk. Al, kenalin, ini adik gue, Yuki."

Dengan salah tingkah, aku tersenyum padanya. Al kemudian balas tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menyambut uluran tangannya malu-malu.

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang