Part 20 - So This is Love

387 64 31
                                    

Sabtu ini, seperti rencana minggu lalu, aku dan Stefan akan menemui Psikolog yang juga merupakan temannya itu di rumah sakit tempat prakteknya. Dari kami tiba di rumah sakit, mendaftar di bagian pendaftaran, sampai akhirnya sekarang sedang menunggu di ruang tunggu, aku terus diam. Membiarkan Stefan yang mengurus semuanya sementara aku mencoba untuk memantapkan hati akan rencana kami ini.

Stefan juga sepertinya tau kalau aku sebenarnya tidak baik-baik saja sejak pagi tadi dia mejemputku. Makanya dia terus mencoba untuk menenangkanku dengan segala sentuhan-sentuhannya. Tangannya terus menggandengku bahkan ketika dia sedang menyetir. Kadang-kadang dia ganti merangkulku dan mengelus lenganku. Dan sekarang, ketika aku meremas-remas tanganku menahan cemas saat menunggu antrian bertemu dokter, Stefan tiba-tiba mengambil satu tanganku dan menggandengnya.

"Jangan takut ya, Yuk. Kan kita berdua," ucapnya lembut.

Aku cuma bisa mengangguk. Nggak bisa jawab apa-apa karena sekarang seisi kepalaku mendadak memutar ulang segala hal yang pasti akan jadi pertanyaan standart si psikolog. Tentang apa yang dulu pernah aku alami, tentang perasaanku, dan lain sebagainya.

"Nanti kamu santai aja ya. Cerita aja. Tapi kalau kamu merasa nggak cocok sama Dokter yang ini, nggak pa-pa. Kita kan bisa cari dokter yang lain, kok. Yang penting sekarang kita coba dulu sama dia."

Lagi-lagi aku cuma bisa mengangguk dan kembali pada pikiranku sendiri sampai akhirnya perawat memanggil namaku. Aku dan Stefan pun sama-sama masuk ke ruangan dan di sambut oleh Dr. Dhira yang langsung menyapa Stefan akrab.

"Hai, Dok," sapa Stefan sambil menyalam Dr. Dhira.

"Hai, Stef. Halo," sapanya padaku. Aku tersenyum padanya.

"Jadi, siapa yang perlu ngobrol-ngobrol, nih? Elo, Stef?" tanya Dr. Dhira ketika kami sudah duduk di kursi pasien di hadapannya.

"Bukan. Ini tunangan gue, Dok, Yuki."

"Halo Mbak Yuki, saya Dhira, dulu kenal Stefan dari temen kuliah. Kalau Mbak Yuki nggak keberatan, kita ngobrol sebentar di sofa sebelah sana, ya?" Dr. Dhira menunjuk sofa kulit berwarna coklat di ujung ruangan. Aku pun menurutinya dan meninggalkan Stefan untuk duduk di sofa tersebut.

Dan Dr. Dhira mulai mengajakku bicara banyak hal. Seperti biasa, di hari pertama konseling, pasti Therapist akan lebih banyak bertanya tentang hal-hal ringan, seperti pekerjaanku, kegiatanku sehari-hari, apa yang menggangguku selama ini, peristiwa apa saja yang paling mempengaruhiku di satu bulan kebelakang ini. Dan so far, aku merasa Dr. Dhira cukup membuatku nyaman untuk mulai bercerita. Sesekali aku melirik ke arah Stefan yang terus memperhatikanku juga dari kursinya. Dan setiap pandangan kami bertemu, dia selalu memberikanku semangat lewat senyumnya. Aku juga jadi balas tersenyum. And actually, this first counseling time wasn't so bad afterall.

Setelah kira-kira empat puluh lima menit berlalu, Dr. Dhira pun menyudari obrolan kami. Dia lalu kembali memintaku duduk di kursi sebelah Stefan sembari dia juga kembali ke kursi kerjanya yang berhadapan dengan kami.

"Terimakasih ya Mbak Yuki atas segala ceritanya. Kalau dari Mbak Yuki sendiri apakah ada yang mungkin kurang berkenan atau sekiranya perlu saya perbaiki lagi untuk konseling kita berikutnya?"

"Nggak sih, Dok. Terimakasih juga Dokter sudah buat saya nyaman cerita," kataku disambut anggukan kepala Dr. Dhira.

"Kalau begitu, kita jadwalin lagi minggu depan untuk kita ngobrol-ngobrol lagi ya, Mbak Yuki. Saya yakin, pertemuan ini bukan kebetulan, karena saya percaya tidak ada yang namanya kebetulan. Kalau gitu, sampai ketemu di perteman berikutnya ya Mbak Yuki. Stef, ntar ketemu lagi," dia pun menyalamku dan kembali memeluk Stefan sambil mengantar kami keluar dari ruang prakteknya.

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang