"Lo ada apa sih sama si Stefan, Yuk?" tiba-tiba setelah pesawat take-off, Terry berbisik padaku yang sedang sibuk mencari-cari AirPods didalam tote bag. Hari ini aku, Terry, Agung, dan Stefan pulang bareng setelah aku dan Stefan extend dua hari selama mereka datang menyusul. Sementara Manda dan Tama memutuskan untuk extend lagi sampai Minggu. Dan barusan, ketika kita pilih posisi duduk di pesawat, aku memohon-mohon pada Terry agar aku bisa duduk disebelahnya. Alasannya karena aku pengen cerita banyak. Untungnya juga Terry mau dipisahin bentar dari suaminya.
"Kenapa apanya?"
"Nggak usah belaga bedon, deh. Emang gue nggak liat, lo sama Stefan jadi banyak diem lagi dari kemarin selama kita di Bali. Kenapa lagi, sih? Kan kemarin-kemarin udah mulai unyu tuh gue liat."
"Norak banget ih Tery. Bahasa lo unyu, unyu, udah kayak anak bocah."
"Ya abis lo dari kemarin diem aja gitu sama Stefan. Kan kayaknya belakangan ini kalian udah deket banget."
"Nggak juga, kali. Biasa aja," sahutku asal sambil mencari-cari lagu apa yang akan kudengarkan selama satu jam empat puluh menit perjalananku dari Bali ke Jakarta ini.
"Biasa apaan sih, Yuk? Lo berantem lagi ya sama dia? Cerita deh!"
"Hush! Suara lo kenceng banget. Itu orangnya ada di belakang kali."
"Makanya, cerita dong. Kenapa sih sok rahasia-rahasiaan sama gue."
"Bukan gitu, emang nggak ada apa-apa, kok. Udah ya, gue ngantuk banget mau tidur. Kalau udah mau nyampe, bangunin gue yaa. Gue nggak makan."
Tapi ditengah tidur pulasku, aku bisa merasakan seseorang menepuk bahuku pelan sambil memanggil namaku beberapa kali. "Yuk, Yuki, bangun, udah sampe nih kita." Dan perlahan aku membuka mata, namun ketika aku menemukan siapa yang dari tadi membangunkanku, aku seketika terkejut. Itu Stefan!
"Hah?" ucapku setengah sadar setengah kaget. Aku melihat sekeliling, pesawat sudah kosong. Cuma ada tiga orang lain yang belum turun selain kami berdua.
"Udah sampe, Yuk. Yuk turun."
Ucapan Stefan jelas membuatku buru-buru merapikan rambutku, meraih semua barang-barangku dan berdiri lalu ikut meninggalkan pesawat bersama Stefan. Astaga aku kok bisa tidur sampai bablas gini ya? Apa karena beberapa hari kebelakang ini aku kurang tidur? Lagian kenapa juga si Terry nggak bangunin, sih? Rese tuh orang.
"Nng, Stef, Terry mana?" tanyaku pada Stefan.
"Terry udah turun duluan, katanya pengen ke toilet jadi dia cepet-cepet."
"Oh," sahutku pelan walau dalam hati aku terus ngomel-ngomel, rese tuh si Terry, awas aja ntar kalo ketemu ku ocehin sampe panas kupingnya.
Dan ketika aku melihat Terry dan Agung berdiri di samping conveyor belt, aku buru-buru menghampiri dan menariknya menjauh.
"Aduh, aduh, apaan sih Yuk?" protes Terry saat kami sudah ada kira-kira tiga meter dari Agung dan Stefan.
"Heh, lo tuh ya, kok cabut duluan dari pesawat sih? Nggak bangunin gue lagi! Parah banget sih lo."
"Eh monyong, gue tuh udah bangunin elu ya. Gue panggil-panggil, kaga bangun juga. Yaudah gue titip aja lo sama si Stefan. Soalnya gue tuh kebelet pipis, masa gue harus nungguin elo. Lagian kan juga udah ada Stefan gitu, nggak di apa-apain juga, kan?" si Terry ini ya, memang mulutnya paling loncer dari dulu.
"Emang salah banget ya gue tuh ngeharepin elo. Ah udah ah, mau ambil koper, biar cepet balik," ucapku kemudian meninggalkan Terry yang langsung mengekor.
"Balik naik apa lo?"
"Naksi lah."
"Sama siapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Remain
Romance"Don't go where I can't follow." Mungkin itu yang selama ini ada di benak Yuki (30yo) setiap kali bayangan Al hadir dibenaknya. Yuki mencintai Al, sangat mencintai laki-laki itu, bahkan lebih dari dia mencintai dirinya. Sehingga ketika Yuki sudah me...