Part 24 - When The Sky is Falling Down

302 54 13
                                    

Aku pikir ini yang terbaik, aku pikir aku bisa mencintai lagi, bisa tersenyum dan tertawa lagi, bisa lepas dari segala mimpi buruk dan akhirnya hidup lagi. Tapi ternyata, segala sakit ini, terasa lebih sakit dan mematikan. Mencintai Stefan ternyata bisa membawaku ke kesakitan ini, mencintai dia setelah segala perjuanganku untuk melawan segala ketakutan ternyata hanya berakhir sia-sia. Memang mungkin inilah karma ku karena apa yang sudah aku lakukan pada Al. Segala balasan atas apa yang sudah aku perbuat sampai akhirnya dia pergi. Jadi aku harus menerima ini semua, karena ini memang imbalan buruk atas dosa-dosa yang telah aku lakukan.

Kini dadaku sakit lagi. Air hangat di bath tub yang kini merendam tubuhku bahkan tak mampu membuatku merasa lebih hangat. Tubuhku menggigil, kepalaku sakit, dadaku sesak, dan mataku panas. Menangis tanpa henti sampai rasanya air mataku sudah habis. Memohon maaf pada Al walau aku tau ini tidak bisa menghidupkannya kembali. Memaki diriku sendiri yang sangat menjijikan ini. Tuhan, kenapa sih kau biarkan aku masih disini? Apa tidak boleh kalau aku tukar saja hidupku dengan Al? Hidupkan dia lagi. Dan bawa aku pergi. Karena untuk apa aku hidup kalau dunia saja seakan membenciku?

Ini terlalu menyakitkan. Setelah aku yang bodoh dan tak tau diri ini melupakan Al dan pura-pura memungkiri kesalahanku pada semua orang di sekitarnya setelah membuatnya pergi, aku juga dengan tidak tau malunya jatuh cinta lagi pada Stefan. Laki-laki brengsek itu. Laki-laki yang membuatku merasa kalau segalanya terasa membaik hanya untuk merasakan kehancuran total setelah dia meruntuhkan segalanya.

Tapi bodohnya, setelah semua ini, kenapa aku justru lebih sakit ketika menyadari kalau aku kehilangannya lagi. Aku kehilangan cinta lagi. Aku harus patah hati lagi. Seakan kini aku jadi mengemis cinta, seakan aku yang membutuhkan ini semua. Aku membenci diriku. Si manusia yang tak mampu bahagia tanpa orang lain. Si manusia bodoh yang selalu mencintai seseorang sepenuh hati, sampai tak ada sisa ruang bahkan untuk mencintai diri sendiri.

Shit. Here comes the tears. Aku menangis lagi. Sialan kamu Stefan. Ingin rasanya aku mengulang semuanya sampai kembali di hari dimana kamu melamarku di depan semua orang di hari ulang tahunku, hanya untuk mengambil cincin itu, kemudian membuangnya ke tong sampah. Menolak kamu telak-telak. Mengusirmu dari hadapanku. Dan tidak akan bertemu lagi.

Tapi sayangnya, waktu memang tidak bisa di ulang. Segalanya sudah terjadi. Aku sudah memberikan segalanya pada Stefan. Dan aku juga tidak dapat mengambilnya kembali. Semua juga karena kebodohanku sendiri. Kebodohanku untuk bersahabat dengan cinta lagi.

Maka sambil memejamkan mata, mencoba mematikan segala kesakitan ini, aku menenggelamkan tubuhku ke bath tub. Mencoba membunuh segala sakit dengan air hangat ini. Mencoba meringankan segala berat hati. Dan mencoba menyembunyikan air mata yang tak kunjung kering. Menangisi laki-laki paling brengsek yang sayangnya aku cintai setengah mati.

-0-

Terry dan Manda menatapku dengan tatapan iba campur khawatir ketika aku membukakan pintu kamar. Mereka datang dengan satu koper ukuran sedang berisi baju-bajuku yang sudah di siapkan Mindarsih sesuai dengan pesananku lewat WA tadi. Awalnya aku nggak mau mereka datang, aku nggak siap melihat Terry dan Manda dalam keadaan kayak begini, cuma aku juga butuh mereka di sisiku. Jadinya aku setuju juga memberitahu kalau aku saat ini stay di hotel mana agar mereka bisa datang menemuiku.

Sejak kemarin aku ribut dengan Stefan, aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan stay di Westin. Menghindari Stefan yang kata Mindarsih terus datang ke rumah, menungguku pulang sampai baru pulang lagi di tengah malam. Kemudian balik lagi di jam tujuh pagi untuk mencariku. Dan aku memang sengaja untuk nggak kasih tau Mindarsih juga keberadaanku dimana, jadi dia nggak bisa kasih tau Stefan walaupun dia sudah kepalang nggak tega.

Dan semalam, setelah seharian aku mematikan telepon, segala notification berisikan puluhan missed call dari Terry dan Manda juga segala bombardir chat baik lewat grup WhatsApp atau personal masuk ke ponselku. Semua isi chat-nya hampir sama, menanyakan aku dimana, sedang apa, kenapa, dan bagaimana keadaanku sekarang. Bahkan ada voice note dari Terry yang nangis-nangis menanyakan keberadaanku saking khawatirnya.

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang