Part 5 - The Stage and The Actors

604 69 9
                                    

"Saya ndak tau ya, Mbak. Dari semalem udah mati." Ucap Mindarsih sambil mematikan selang air ketika dia sedang menyemprot bunga lili putih di pojok taman.

Pagi ini, sebelum aku berangkat ke kantor, Mindarsih melapor tentang lampu taman bunga kecil didepan rumahku yang tiba-tiba mati semua sejak tadi malam. Sekali lagi aku mencoba menekan saklar lampu taman namun tetap tidak ada yang menyala sama sekali.

"Gimana dong, Min, ya? Nanti malem pasti gelap ini kita. Aku suka ngeri kalau malam pulang sendiri dan kamu udah tidur."

"Coba kalau Mbak telepon Kang Oji dirumah Ibu. Suruh kemari untuk betulin lampu. Kamar mandi belakang juga kerannya udah rusak, toh, Mbak. Biar sekalian dibetulin sama Kang Oji." Ujar Mindarsih kembali menyiram tanaman.

"Ohiya, ya. Yaudah coba nanti aku telepon Oji, deh, biar dia kesini betulin lampu sekalian betulin apa-apa aja yang rusak."

Ditengah perbincanganku dengan Mindarsih, Land Cruiser yang kukenal milik siapa itu berhenti didepan rumahku. Dan pemiliknya, si Stefan itu turun dari mobil dan langsung tersenyum padaku walaupun aku meliriknya sinis.

"Morning beautiful," sapanya ketika dia sudah ada dihadapanku. Aku tetap mendiamkan. Tidak perduli dengan gombalan paginya, malah justru buang muka. Tapi kayaknya ada yang lebih kemakan gombalan pagi si Stefan ini daripada aku. Itu si Min mukanya udah mesem-mesem malu sambil ngelihatin Stefan dengan tatapan penuh kekaguman.

"Pagi, Mas," Mindarsih menyapanya balik malu-malu kucing. Duh, Min, kalau lo mau, gue kasih deh nih orang buat elo, gratis, PPN-nya gue yang bayar sekalian!

"Pagi, Min." Stefan tersenyum pada Mindarsih, kemudian kembali padaku. "Lagi apa? Kok belum jalan ke kantor?"

Sekali lagi aku tidak menyahut, digantikan oleh Mindarsih. "Mbak Yuki sama saya baru ngecek lampu taman yang mati, Mas. Ini juga sebentar lagi berangkat."

"Lampu tamannya mati? Sejak kapan?"

"Sejak tadi malam, Mas."

"Oh gitu. Udah panggil tukang untuk betulin?"

"Tadi Min udah bilang sama Mbak Yuki untuk telepon Kang Oji, Mas."

Kemudian Stefan mengangguk. Setelah itu dia mengembalikan tatapannya padaku yang sedari tadi tetap tidak mengacuhkannya dan memilih untuk berangkat sekarang.

"Aku berangkat ya, Min," pamitku pada Mindarsih sebelum melengos dan meninggalkannya menuju mobil. Tapi saat aku bergegas ke mobil, dia juga menyusulku. Kemudian sebelum aku membuka pintu, Stefan meletakan coffee carrier yang ada di tangan kanannya diatap mobil. Aku menatap dua cup kopi itu cuek.

"Morning coffee? Hot caramel macchiato, extra caramel, with two sugar, just how you like it." Pagi-pagi begini dia udah beli Starbucks aja. Niat juga dia. Dia juga hapal banget lagi sama kopi kesukaanku dan bagaimana aku menyukainya.

Tapi tetep aja, sogokannya nggak mempan untukku. Aku tetap pasang tampang cuek bebek, dan bergegas membuka pintu mobil. Emangnya aku apaan? Murah banget kali dia pikir aku ini, ya? Dikasih kopi enam puluh ribu terus bisa langsung jadi baik depan dia, gitu? Enak aja. Gue juga bisa beli sendiri, kalee! Kalau mau, dia bawa dulu Hermès Lindy yang aku impi-impikan itu, baru aku bersedia menimbang-nimbang untuk baik sama dia. Tuh!

Namun, didetik saat aku hendak membuka pintu, suara seseorang yang kukenal mengagetkanku dan juga Stefan.

"Yuki?"

Itu suara Mama. Mampus, deh. Ngapain coba Mama pagi-pagi kesini? Ini kan hari Jumat?

Aku batal membuka pintu dan melihat Mama yang turun dari mobil disusul oleh supir Papa, Pak Jainudin, yang membawakan beberapa bungkus belanjaan dari belakang bagasi mobil dibantu Mindarsih. Mama tersenyum kearahku dan Stefan juga. Membuatku jadi membalas senyuman Mama dengan canggung.

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang