Part 14 - A Thing Or Two

412 59 11
                                    

"Iya, aku lagi di Kokas, diajak lunch sama Terry dan Manda. Makan apa? Gyukaku, hahaha... ...Okay, pulang jam lima seperti biasa. Tapi kalau kamu belum kelar kerjaannya, nggak pa-pa, nanti aku tunggu aja, ...Iya, nanti aku kabarin kalau udah jalan, ya. Bye," aku menutup telepon dari Stefan dan meletakan ponselku kembali di meja dan kembali lanjut makan.

Tapi ketika aku sedang membolak-balik daging di griller, aku menyadari kalau kini, kedua sahabatku sedang menatapku lekat-lekat, penuh tatapan menyelidik. Aku jadi tertawa.

"Kenapa sih lo berdua?"

"Gyukaku, hahaha... tapi kalau kamu belum kelar kerjaannya nggak pa-pa, nanti aku tungguin, bla, bla, bla. Gue nggak salah denger kan, Man?" Terry mengulang ucapanku pada Stefan di telepon barusan kemudian menatap Manda.

Manda menggeleng. "Enggak. Gue juga denger gitu, Ter. Kita nggak salah denger kan, Yuk? Barusan itu betulan telepon dari Stefan?"

Aku mencoba menahan tawa, "Iya. Lo berdua tuh kenapa, sih?" tanyaku kembali sambil mencapit daging lalu membungkusnya dengan selada dan memakannya.

Dan wajah keduanya berubah sumeringah. "Wah! Lo belakangan ini kita liatin jadi makin mesra gini sama Stefan ya. Ini perkembangan yang sangat baik sekali, loh. Terus hari ini lo mau kemana lagi?"

"Nggak kemana-mana, kali. Gue mau ke kantor dia, mau ngambil barang gue yang semalem ketinggalan di mobilnya aja. Tadinya dia mau anter, cuma dia mendadak ada meeting gitu, jadi gue aja deh yang ke kantor dia."

"Lo emang kemarin ketemuan sama Stefan lagi? Ciee... Ketemuan terus ya akhir-akhir ini," ledek Manda.

Aku berdecak sebal. "Lebay banget lo itu, ya. Baru juga dua kali ketemuan, belum bisa dibilang ketemuan terus juga, kali. Gue sama dia ketemuan kemarin juga karena kita diundang buat dateng ke kebaktian tujuh bulanannya Deena aja. Terus karena dia jemput gue dari kantor, itu tas isi kerjaan-kerjaan gue ketinggalan di mobilnya. Makanya dia mau anter ke kantor."

Senyum Terry dan Manda terkembang, keduanya menatapku penuh arti. Aku membalas tatapan mereka dengan memutar bola mata malas. "Apa lagi?"

"Nggak," Terry menggeleng. "Gue liat-liat, semenjak lo nginep dirumahnya kapan tuh, sebulan yang lalu, ya? Lo sama Stefan jadi makin deket. Kayaknya bentar lagi mau ada kabar bagus, nih, Man."

"Iya. Mana sekarang pake ketawa-ketawa gitu pula, lagi. Udah lama banget gue nggak ngeliat elo genit sama laki, Yuk," sambung Manda.

"Eh, enak aja lo berdua! Apa sih nih, sohib sendiri dikatain genit. Ya, semenjak gue denger cerita dia tentang almarhum Helena, gue jadi memandang Stefan dengan cara yang berbeda aja. Ternyata dia nggak se-jerk itu. Ternyata ada orang yang punya kisah hidup yang sama kayak gue. Gitu aja, sih. Dan semenjak itu, Stefan jadi terasa lebih menyenangkan."

"Kan, gue bilang apa. Stefan tuh baik, Yuk. Baik banget malah. Lo aja sok jual mahal duluan."

"Eh tapi bener Agung nggak tau soal Helena, Ter?" tanyaku pada Terry.

Terry kemudian menggeleng. "Nggak tau dia. Gue udah tanyain dua kali. Kata Agung mungkin si Helena ini beda circle sama Agung. Atau Agung kan kenal Stefan waktu SMP ya, dan SMA mereka beda."

"Iya mungkin juga, sih. Tapi reaksi Agung waktu lo ceritain soal Helena gimana, Ter? Kaget nggak?"

"Kaget lah. Dia juga masalahnya nggak tau apa-apa soal yang itu dari Stefan. Setau Agung cewek Stefan emang banyak, cuma si Helena ini dia nggak pernah tau. Dan waktu si Stefan pulang dari Aussie juga mereka mulai main bareng lagi kan, Stefan nya juga nggak ada cerita apa-apa. Tapi mungkin ini bukan hal yang segampang itu juga kan Stefan ceritain kemana-mana. Dan lo adalah salah satu orang yang dia cukup percaya untuk ceritain semuanya, Yuk."

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang