Part 16 - His Shoulder to Cry On

454 59 25
                                    

Bali hari ini panas banget, ya Tuhan Allahku. Rasanya nyesel juga barusan nggak balik dulu ke kamar buat ganti baju yang adem dan langsung keluar cari makan pake kemeja tangan panjang dan celana pegged pants begini, ya? Berasa sauna banget ini, bok!

"Kak Yuki, di dalem masih ngantri banget, nih. Mau cari yang lain aja, nggak?" tanya Misael padaku.

Aku membuka sunnies dan melihat orang-orang yang kini sudah mengantre di luar Warung Wardani panas-panas, sementara didalam, sudah penuh manusia. Aduh, mana lagi pengen banget nasi campur disini, eh dia malah ngantri.

"Bentar lagi aja deh, Mis. Paling lima belas menit juga udah masuk kita. Gue lagi pengen banget nasi Wardani, nih. Gila, gue udah kebayang-bayang itu dari masih di Jakarta."

"Yaelah Kak, tega amat lo sama kita-kita suruh nunggu ngantri begini. Lagian lo, Kak, di Jakarta juga ada kali nasi Wardani. Nyari nasi campur yang lain aja, yuk? Kita udah laper banget, nih. Ya? Kesian anak-anak juga udah pada laper."

Maka, setelah melihat muka-muka kelaparan pasukanku yang dari tadi pagi sibuk di hotel mempersiapkan rehearsal dinner nanti malam untuk calon mempelaiku yang akan menikah lusa, aku akhirnya mengalah dan mengangguk walau sambil cemberut. Iyalah, dari pada orang-orang ini pada demo penyiksaan di jam kerja, lebih baik aku mengalah saja dan menuruti mereka untuk cari makanan lain.

Dan setelah berjalan tak seberapa jauh, kami akhirnya berhenti di salah satu restoran nasi pedas yang kata review dari Google makanannya enak-enak. Semua anak-anak kantor pun langsung keluar dari mobil dan secepat kilat duduk di salah satu meja yang ada di tengah ruangan, kayaknya sih biar aku juga nggak punya kesempatan untuk ganti tempat makan soalnya mereka udah keburu duduk duluan. Dasar emang orang-orang ini, nggak punya perasaan sama boss nya.

"Yaudah, pada pesen, deh. Gue pake ayam yang paha ya, Van," titipku pada Ivana saat dia hendak memesan makanan bersama yang lain.

Sambil menunggu anak-anak memesan makanan, aku meraih ponsel dari dalam tas dan mengecek beberapa WA yang masuk. Ada group Terry dan Manda yang ngoceh heboh merencanakan segala keperluan untuk menyusulku ke Bali. Awalnya sih nggak ada rencana, tapi ketika aku bilang kalau Bali lagi enak banget karena nggak terlalu ramai turis, itu dua emak-emak langsung impulsive pengen nyusul dan jadilah mereka sampai disini lusa. Dan beberapa chat lain yang aku lewatkan karena kini ada pesan yang baru masuk di paling atas dari siapa lagi kalau bukan Stefan.

Stefan mengirimkan foto dia dan Papa yang sekarang sedang sibuk menanam semua tanaman yang mereka beli kemarin di taman rumah Papa dan Mama. Stefan dengan sangat lucunya mengajak Papa yang cuma pakai kutang dan celana pendek untuk selfie. Kemudian Stefan juga juga mengirimkan video Papa sedang semangat macul karena mau menanam daun kuping gajah.

"Mau nanem yang mana Om sekarang?" kata Stefan di video.

"Mau tanam kuping gajah. Biar rumah ini jadi banyak rejeki," begitu jawab Papa sambil masih terus memacul tanah untuk ditanami kemudian.

Aku tersenyum melihat video dan dan foto-foto yang Stefan kirimkan. Memang semenjak pertengkaran antara aku dan Mama di rumah Edo minggu lalu itu, aku belum menghubungi Mama dan Papa lagi. Sedangkan sepertinya Stefan masih sering kontek-kontekan sama Papa. Aku juga sebenernya udah nggak kesel sama Mama, malah sebenernya ngerasa bersalah karena udah ngomong keras waktu itu. Cuma aku juga masih bingung gimana caranya minta maaf. Jadi sudahlah, nanti aja.

Aku pun mengetik balasan pada Stefan. 'Seru banget ya yang lagi tanam-tanam. Abis ini pasti disuruh makan tahu goreng dan minum air jahe sama Papa.'

Dan foto sepiring tahu dengan sambal petis andalan Mama, juga tidak lupa air jahe di cangkir dan pot jadul menjadi balasan Stefan.

'Aku malah udah ngemil ini dari. Udah tiga kali di tambah kali nih tahunya. Hahaha... Kalo kamu gimana? Jadi makan nasi Wardani nya?'

RemainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang