“Terlalu banyak berbicara hingga melupakan dia siapa.”—Diego.
•••
Jangan lupa pakai masker ya!
—Bripda Neo.
•••
260 hari terhitung sejak hilangnya Rachel. Sudah hampir 1 tahun Rachel pergi. Suasana rumah keluarga Henzel yang awalnya ramai akan celotehan seorang gadis pecinta stalking itu kini mulai pudar. Mau tak mau kini semua harus mulai merelakan sosok gadis periang yang sering terkikik geli diatas kasur kesayangannya itu. Lemari putih tulang itu kini mulai dipenuhi debu-debu tebal semenjak ditinggalkan sang empu menghilang.
Diego.
Ia menatap nanar seisi kamar adik kesayangannya itu. Sebelum adiknya hilang, ia ingat bahwa ia sempat mengoleskan obat untuk tangan adiknya yang sempat ia siram air pel ditribun lapangan sekolahnya itu.
“Gue ga bisa ikhlas, dan sampai kapanpun ga ada terjadi rasa ikhlas itu pada diri gue,” lirihnya dengan menggepalkan tangannya erat.
•••
Semenjak Tolle sadar dari komanya dan sampai kini ia ditampung dirumah kakak kelasnya itu, ia tak lagi menemukan wajah sahabatnya. Bahkan ketika disekolah pun juga, banyak yang bilang bahwa Divva kini telah pergi, pindah sekolah. Ia juga bingung, padahal semua jawaban untuk Rachel kembali hanya ada pada Divva. Naas, Divva sudah lebih dulu pergi dibandingkan bertemu dengannya.
Rasa bersalah terus menghantui Tolle. Kini ia semakin dibuat berhutang budi pada keluarga Henzel. Ia yang meninggalkan Rachel, ia juga yang mendapat perlakuan baik dari keluarga Rachel.
Elisha sempat bilang, bahwa sebagai seorang ibu dia sangat terpukul dengan kepergian anak bungsunya itu. Tapi, mungkin ini hukuman dari Tuhan karena ia terlalu disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Negara
Teen Fiction[𝕗𝕠𝕝𝕝𝕠𝕨 𝕕𝕦𝕝𝕦 𝕤𝕖𝕓𝕖𝕝𝕦𝕞 𝕞𝕖𝕞𝕓𝕒𝕔𝕒 💖] Namaku Rachel, usiaku 17 tahun, kelas sebelas, gaul, dan lumayan pintar. Aku sama seperti remaja pada umumnya. Aku suka stalking para abdi negara. Mungkin hanya itu yang membedakan aku dengan...