•••
Hari senin mungkin adalah hari yang dibenci banyak orang. Karena hari senin adalah awal hari pada suatu minggu yang disitu terdapat kegiatan upacara bagi mereka para pelajar. Sama seperti yang lainnya, rasa itu juga dialami oleh Divva pada saat ini. Seorang gadis cantik pecinta snack itu sangat membenci hari senin. Yang tandanya akan banyak drama yang terjadi dalam kehidupannya. Drama rumah tangga orang tuanya yang berantakan dan tak kunjung reda, dan drama pembunuhan rasa yang tak kunjung dapat menentukan sosok tuan rasa itu adalah masalah bagi Divva.
Siapa bilang bahwa ia tidak mempunyai masalah? Mungkin, banyak yang mengira bahwa kehidupannya adalah kehidupan bahagia. Tapi buktinya, snack snacknya itu saja tidak terus membuatnya berada pada zona baik-baik saja.
Ia menatap foto seseorang yang berada dinakas sebelah tempat tidurnya itu. Senyum seseorang itu sukses membuat Divva menjatuhkan air matanya pagi ini. Rasa sedih dan rasa kehilangan itu kembali menghantui kehidupannya. Andai, jika ia tidak terlahir pada keluarga ini mungkin sosok itu masih bisa berdiri dengan tegap dan menjalani kehidupannya yang bahagia. Rasa bersalah terus menghantuinya, walau ia tau semua bukanlah kesalahannya.
Ia menghapus air matanya kasar. Ia terduduk lemas ditepi tempat tidurnya itu. Angan-angan akan sebuah kebahagiaan itu masih ia harapkan kehadirannya. Rasa bahagia itu mendadak hilang ketika sosok yang ia banggakan itu pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Kabar kematian yang sangat mendadak, serta proses bunuh diri yang dilakukan dihadapan matanya itu sukses membuatnya menjadi sebuah perusak akan kebahagiaannya sendiri.
Bingkai foto itu ia susun kembali ditempat semula. Senyum seseorang yang membencinya itu tetap menjadi kesayangannya. Ia boleh bersedih namun tidak untuk saat ini. Ia tidak ingin datang ke sekolah dengan membuat sahabatnya khawatir akan keadaannya. Dan ia juga tidak ingin, rahasia yang sudah ia simpan rapat-rapat itu membuat sahabatnya meninggalkan diringa. Suatu saat nanti ia akan jujur, namun tidak sekarang. Belum waktunya, pikirnya.
Ia kembali merapikan seragamnya yang sedikit kurang rapih. Dan menenteng tas sekolah yang sudah diketahui isinya hanyalah snack snack ringan.
"Lo boleh mati atas rasa kebencian lo ke gue. Tapi inget, gue tetep sayang ke lo. Gue bangga punya lo Ki," ucapnya menatap foto tadi sebelum benar-benar pergi meninggalkan kamarnya itu.
Handphone serta kunci motor itu sudah berada di genggamannya. Ia tidak memasang sebuah wajah bahagianya, namun ia juga tidak memasang wajah sedihnya. Siapa yang peduli dengan suasana hatinya saat ini? tidak ada.
Ia menatap ruang makan rumahnya itu. Semua berantakan. Pecahan piring dan gelas itu berserakan dimana-mana. Ia yakin, kemarin malam orang tuanya itu pulang hanya untuk sebuah keributan. Harapannya untuk sarapan bersama-sama layaknya 8 bulan lalu rasanya itu sudah tidak lagi mungkin. Tidak ada senyuman pagi hari, tidak ada sambutan selamat pagi, dan tidak ada lagi acara sarapan pagi bersama-sama layaknya keluarga seutuhnya. Ia menghembuskan napasnya kasar. Rasanya ia ingin menangis, namun rasa kecewa itu lebih dalam yang membuatnya untuk terus menjadi sosok baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Negara
Teen Fiction[𝕗𝕠𝕝𝕝𝕠𝕨 𝕕𝕦𝕝𝕦 𝕤𝕖𝕓𝕖𝕝𝕦𝕞 𝕞𝕖𝕞𝕓𝕒𝕔𝕒 💖] Namaku Rachel, usiaku 17 tahun, kelas sebelas, gaul, dan lumayan pintar. Aku sama seperti remaja pada umumnya. Aku suka stalking para abdi negara. Mungkin hanya itu yang membedakan aku dengan...