•••
Kabut pagi mulai bermunculan. Seharian ini Diego, Radja dan Galih sama-sama tak memejamkan mata sama sekali. Berbeda dengan Diego, Radja dan Galih. Al dan Gerry sudah jauh masuk ke alam mimpi masing-masing. Radja yang memaksa, ia tau mereka berdua bukanlah orang yang benar-benar pemberani dalam situasi seperti ini.
Diego melirik jam tangan yang bertengger ditangan kirinya. Pukul 04.48 pagi. Beberapa kali Diego menghembuskan napas nya kasar, terus berdoa memaksa Tuhan agar tidak terjadi apa-apa pada adik kecilnya.
"Jam 5 kita jalan," ucap Radja memecahkan keheningan.
"Kabarin Bripda," saran Diego mengingatkan. Takut jika kedua Bripda itu kini tengah tidur dan tertinggal oleh mereka.
"Bang, jam 5 tepat kita jalan,"
"Iya," jawab Bripda Galuh dibalik HT uang ia gunakan. Suara itu sudah tidak lagi bersemangat seperti malam tadi. Sudah lesu dan sedikit lirih. Mungkin mereka merasakan kelelahan, kehausan, dan kelaparan malam tadi.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Sang fajar sudah mulai terbit dari timur. Setidaknya kini sudah ada pencahayaan untuk keluar dari tempat aneh ini. Kini bukan Radja yang menyetir, melainkan Galih. Pikiran Radja sedang kalang kabut tentang Ayahnya. Entah bagaimana ia saat ini. Semoga baik-baik saja.
Galih terus menyusuri jalanan hutan itu dengan hati-hati. Jangan sampai ia kembali ke titik yang sama. Memperhatikan rekaman malam tadi dan memperhatikan sekelilingnya. Hingga saat ini, tidak ada yang mencurigakan.
Baru saja dibilang tidak ada yang mencurigakan, tiba-tiba dari jarak 100 meter ada seorang pria paruh baya melambaikan tangannya dengan sangat antusias.
"Samperin atau enggak kita akan tetep melewati dia," ucap Radja yang seolah mengerti tentang pikiran Galih.
"Bismillah," perlahan mobil itu melewati kakek-kakek yang mengenakan kaos oblong putih lengkap dengan cangkul dan topi anyam yang dikenakannya.
"Bismillah, berhenti aja Lih," ucap Diego yang diangguki oleh Galih.
Kaca mobil sisi kiri itu terbuka setengah. Yang menampakkan wajah Diego dan wajah kakek-kakek yang mungkin berusia 78 tahun.
"Akang?," sapa kakek itu dengan tersenyum ramah yang membuat matanya menyipit.
"Ada apa kek?,"
"Saya asli Bandung," ucapnya.
"Terus?," tanya Radja yang ikut-ikutan bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau dan Negara
Teen Fiction[𝕗𝕠𝕝𝕝𝕠𝕨 𝕕𝕦𝕝𝕦 𝕤𝕖𝕓𝕖𝕝𝕦𝕞 𝕞𝕖𝕞𝕓𝕒𝕔𝕒 💖] Namaku Rachel, usiaku 17 tahun, kelas sebelas, gaul, dan lumayan pintar. Aku sama seperti remaja pada umumnya. Aku suka stalking para abdi negara. Mungkin hanya itu yang membedakan aku dengan...