1 || Rujak

25.8K 2.7K 65
                                    

"Fi! Mobil kamu Ibu bawa, ya. Ibu berangkat, assalamualaikum." Seorang perempuan yang sedang membaca buku di kamarnya langsung berdiri dan berjalan menuju balkon kamar saat mendengar pekikan ibunya dari luar rumah. Saat sampai di balkon, ia lihat, ibunya masuk ke dalam mobil miliknya dan pergi keluar dari pekarangan rumah.

Nafi Rahayu Tyas, perempuan itu mendengkus. "Lha? Kan Nafi mau ke rumah Hana! Kok mobilnya di bawa Ibu sih?" Ia menghela napas lalu masuk kembali ke dalam kamar karena baru ingat jika ia tidak memakai jilbabnya.

Ya, Nafi memanglah bukan perempuan seperti sahabatnya Hana yang paham agama dan memakai pakaian syar'i. Nafi hanyalah perempuan yang baru saja belajar memakai jilbab dan memahami agama di umurnya yang dua puluh tahun.

"Nafi, kan, masih ada saldo uang digital. Kenapa gak naik ojek online aja? Memanfaatkan uang sisa, kan," gumam Nafi. Sore ini, perempuan itu berencana berkunjung ke rumah sahabat yang sekarang merangkap menjadi sepupunya juga sekarang.

Segera ia bersiap. Nafi memakai celana kulot panjang serta kemeja, lengkap dengan jilbab segitiganya. Ia membuka ponselnya untuk memesan ojek online, lalu keluar dari kamar dan melangkah keluar.

Saat memakai sepatu, perempuan itu tersenyum karena seorang driver ojek online memanggilnya di depan pagar. Setelah memakai sepatu, ia berdiri dan melangkah menghampiri sang driver.

Nafi memakai helm yang di berikan driver itu, lalu naik ke atas motor dan tak lama, motor melaju. Sedang asik menatap jalan, perempuan itu langsung menepuk-nepuk bahu driver ojek dengan tangannya sembari berucap, "Bang! Berhenti, Bang!"

"Eh, belum nyampe, Mbak!" balas sang driver.

"Gak apa-apa, Bang. Berhenti aja!"

Akhirnya, motor menepi. Nafi langsung turun dan membuka helmnya. "Udah saya bayar di aplikasinya, ya, Bang! Gak apa-apa belum nyampe juga, saya ikhlas kok," katanya tidak jelas.

Setelah motor yang di naikinya tadi melaju. Nafi tersenyum karena ia melihat kedai penjual rujak di tepi jalan. Melihat penjual rujak, Nafi langsung mengingat sahabatnya yang kini hamil lima bulan. Karena yang ia tahu, biasanya ibu hamil suka sekali dengan rujak. Jadi, Nafi berinisiatif untuk membelinya.

Nafi berjalan mendekati kedai itu. "Bang, satu ya! Di bungkus," katanya memesan lalu mendudukan diri di kursi yang sudah di sediakan di sana.

Saat melihat penjual rujak itu hampir selesai menyiapkan pesanannya. Nafi langsung berdiri, perempuan itu membuka paper bag yang dibawanya karena ia membawa dua buku. Lalu mencari dompetnya di sana.

Nafi membulatkan matanya saat tidak melihat keberadaan dompetnya disana. Padahal, tadi ia menyimpannya bersamaan dengan buku yang ada di dalamnya. Aduh, gimana nih? Dompetnya ketinggalan kali, ya?

Nafi berdiri sembari menggigit bibirnya. Jantungnya sudah bergemuruh apalagi saat mendengar si penjual mengatakan, "Ini, Mbak. Rujaknya udah jadi."

"Emm, tunggu ya, Mas!" Nafi menghela napas, membuka ponselnya untuk mencari solusi. Sampai, ia tersenyum kala mengingat jika ia masih mempunyai uang digitalnya. "Mas, bayarnya pakai aplikasi uang digital bisa, gak?" tanyanya menatap sang penjual.

"Aduh, Mbak. Ini kedai kaki lima atuh. Mana bisa bayar pakai yang gituan, pakai uang cash aja," jawab si penjual. Nafi menghela napas, lalu menatap jalan. Saat menatap jalan, ia tersenyum karena melihat mobil yang tak asing berhenti di dekat kedai itu.

"Ah, itu mobil Bang Aryan bukan sih?!" pekiknya tertahan. "Mas, tunggu dulu, ya!" Nafi berucap, lalu melangkah keluar kedai setelah menyimpan paper bag nya.

Nafi yakin, jika mobil di depannya ini adalah mobil teman sepupunya yang bernama Aryan. Dengan berani, Nafi mengetuk kaca mobil yang tertutup itu perlahan. Tak lama kemudian, senyuman kembali terukir di wajahnya. Benar, yang ia lihat saat kaca terbuka adalah Aryan.

"Lho? Nafi? Ada apa? Kok lo ada di sini?" Aryan sepertinya habis menelepon seseorang. Ya, tentu saja mereka saling mengenal. Sudah hampir sepuluh kali mereka bertemu dan mengobrol.

Nafi masih memasang senyumannya. "Bang, mau bantu Nafi gak?" tanyanya.

"Kenapa lo?" tanya Aryan.

"Nafi kan mau ke rumah Hana sama Bang Bian, terus Nafi beli rujak buat Hana. Nah, tapi--" Nafi menggantung ucapannya.

"Tapi apa?"

"Nafi lupa bawa dompet, Bang. Rujaknya udah jadi, terus gak bisa bayar pakai duit digital. Bang Aryan mau, kan, bantuin Nafi? Bayarin dong, gak sampe lima puluh ribu kok," jelas Nafi.

Aryan menghela napas lalu keluar dari mobil. Laki-laki itu mengambil dompetnya dari saku celana lalu memberikan uang pada Nafi. "Dasar ceroboh, bayar sana!"

Nafi menerima uang tersebut dengan wajah berbinar. "Wah, makasih ya, Bang! Baik banget." Perempuan itu langsung kembali mendekati kedai dan membayar serta mengambil rujak dan paper bagnya.

Setelah itu, Nafi kembali mendekati Aryan dan menyodorkan kembalian dari uang yang diberikan laki-laki itu. "Makasih ya, Bang," ucapnya.

"Hm, lo mau ke rumah Bian, kan? Masuk," balas Aryan lalu kembali memasuki mobil.

Nafi melihat Aryan dari jendela mobil. "Beneran? Bang Aryan mau kesana juga?" tanyanya.

"Iya, buruan naik." Aryan mengangguk.

Nafi langsung saja membuka pintu mobil dan duduk di samping Aryan. Perempuan itu memakai sabuk pengamanan lalu tersenyum. "Makasih ya, Bang."

Aryan mengangguk, ia menyalakan mesin mobil dan melakukannya. Karena suasana hening, Nafi menoleh, melihat Aryan dari samping lalu bertanya, "Mau ketemu sama Bang Bian, Bang?"

Sebenarnya, Nafi hanya berbasa-basi. Perempuan itu tidak suka dengan suasana hening seperti sekarang.

"Iya," jawab Aryan. "Lo mau apa? Tumben gak bawa mobil, biasanya, kan, bawa mobil. Mana gak bawa duit tapi sok-sokan beli rujak lagi." Lanjutnya berucap pedas.

Nafi berdecak. "Mulutnya Bang Aryan tuh kek cabe, ya," ucapnya, "namanya juga lupa, kalau tau Nafi gak bawa dompet, mana mau Nafi beli rujak, yeuu!"

"Iya-iya." Aryan mengalah, lalu suasana hening kembali.

Nafi menghela napas. "Tumben lo diem mulu, Bang? Biasanya juga banyak ngomong." Perempuan itu kembali menciptakan pembicaraan. Nafi tahu, Aryan adalah tipe laki-laki yang banyak bicara tetapi tegas. Karena ia pernah sekali melihat Aryan memarahi sahabatnya, siapa lagi jika bukan Abian.

Namun, Aryan dan Abian juga sering beradu ucap di depannya.

"Lo yang banyak ngomong, udah nyampe ... turun!"

Mendengar balasan Aryan, Nafi langsung menatap sekitar. Mereka sudah sampai di depan pekarangan rumah, kenapa Nafi tidak menyadarinya? Entahlah. Perempuan itu akhirnya turun, melihat sepupunya--Abian yang sudah berada di depan rumah dengan kening yang di kerutkan.

Nafi lihat Aryan masuk setelah berbicara sesuatu dengan Abian. Lalu, ia ikut melangkah menuju pintu dan tersenyum. "Assalamualaikum Bang Bian," sapanya lalu mengambil langkah untuk masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam. Jangan masuk dulu, lo!" Langkah Nafi langsung terhenti saat Abian mencegahnya masuk. "Kenapa bisa lo sama Aryan? Ngapain kalian sampe bisa bareng, ha?" tanya laki-laki itu terdengar sewot.

"Bang Bian kok sewot sih?!" Nafi menatap Abian sengit. "Nih, ya. Nafi kesini mau balikin buku ke Hana, dan karena Nafi baik ... Nafi tuh mau beliin Hana rujak. Tapi, pas mau bayar, Nafi lupa bawa duit, untung aja Nafi liat mobil Bang Aryan di deket kedai rujaknya, jadi Nafi minta bayarin Bang Aryan, hehehe."

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang