35 || Nggak Suka

10K 1.5K 191
                                    

Nafi menghela napas kasar, menatap jam dan lagi-lagi kembali menatap laptopnya. Perempuan itu menunggu Aryan, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sesekali juga ia menatap ponsel, berharap Aryan yang sedari tadi tidak mengangkat teleponnya menelepon balik, atau tidak mengirimkan pesan. Namun nihil, yang ia harapkan sama sekali tidak ada.

"Apa Nafi makan sendiri aja, ya?" gumam perempuan itu, ia sama sekali belum makan malam dan sengaja menunggu Aryan, supaya mereka bisa makan bersama. Namun, hari semakin larut, dan apakah Nafi harus menunggu Aryan? Tentu saja tidak, perempuan itu kini berdiri dari duduknya dan melangkah menuju dapur.

Tidak butuh waktu lama untuk Nafi makan dan membersihkan piringnya, karena kini, perempuan itu sudah selesai dan kembali duduk di depan laptopnya. "Bang Aryan kemana lagi, ini?" Perempuan itu masih menunggu Aryan dengan khawatir.

Walau merasa kesal karena tadi Aryan tidak jadi mengantarkannya ke dokter kandungan, Nafi lagi-lagi harus melupakan hal itu karena ia tidak mau membuat masalah baru. Kini, ia kembali mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Aryan, tetapi lagi-lagi, teleponnya tidak diangkat oleh laki-laki itu.

"Astagfirullah, Bang Aryan kemana, sih?" Nafi malah semakin dibuat khawatir, perempuan itu memilih segera mematikan laptopnya dan beralih duduk di sofa ruang tengah. "Apa Nafi tanya Bang Bian aja, ya?"

"Iya, Nafi tanya Bang Bian aja." Akhirnya, Nafi kembali menelepon seseorang, yaitu Abian. Jika tadi Nafi harus menunggu lama, kini tidak, karena teleponnya langsung tersambung. Perempuan itu langsung meneggakan tubuhnya dan bertanya, "Assalamualaikum, Bang. Bang Aryan tadi udah pulang dari kantor belum?"

"Waalaikumsalam, kok? Orang tadi Aryan keluar siang, kan? Dia bilang gue kalau dia mau anter lo ke Dokter kandungan ... eh, iya. Selamat, ya, Fi!" balas Abian yang sukses membuat dada Nafi berpacu hebat, sedari tadi siang? Lantas, urusan mendadak yang Aryan maksud apa? Nafi kira, itu karena pekerjaannya. "Eh tunggu, maksud lo nanya kayak gitu apa, Fi?"

Nafi menghela napas. "Bang Aryan belum pulang, Bang," cicitnya pelan.

"Lha? Tadi siang dia, kan, sama lo, Fi? Kok lo bilang gitu? Si Aryan bohong apa gimana, nih?" Terdengar Abian pun bingung di balik sana.

"Tadi siang emang Bang Aryan anter Nafi, tapi cuma sampai parkiran rumah sakit karena dia bilang ada urusan mendadak," kata Nafi. "Berarti, urusan mendadaknya bukan soal kantor, jadi ya udah, nggak apa-apa ... Nafi mau tanya orang-orang kafe Bang Aryan, siapa tau urusannya disana." Perempuan itu berusaha berpikir postif.

"Aneh, tumben banget tuh anak jam segini belum ada di rumah." Heran Abian. "Gue kasih tau, nih, ya. Dari dulu, Aryan tuh orangnya paling nggak suka masih kerja atau ngerjain sesuatu di luar rumah sampai malem. Lo juga nyadar, itu, kan?"

Nafi mengangguk, mengiyakan ucapan Abian walau tidak terlihat. "Nafi matiin teleponnya, ya? Makasih, Assalamualaikum." Langsung saja ia mematikan sambungan telepon agar Abian tidak bertanya lebih.

Nafi juga menelepon orang-orang yang bekerja di kafe milik Aryan, tetepi lagi-lagi, jawaban mereka hampir sama dengan Abian; Aryan tidak ada pekerjaan di sana. Yang tentu saja membuat Nafi semakin khawatir.

"Padahal, baru kemarin dia minta maaf. Sekarang udah di ulang lagi. Astagfirullah, pusing Nafi mau tanya siapa lagi," ucap Nafi lalu mengusap wajahnya kasar. Perempuan itu diam sebentar, lalu menyadari satu hal dan bergumam, "Apa masih masalah Yara?"

Nafi menghela napas, jika iya, kebingungan Nafi semakin bertambah sekarang. Allah, Nafi harus bagaimana?

Perempuan itu menyender pada sofa, mendongak dan menatap langit-langit rumah, kembali menghela napas dan memegang perutnya. "Kita tunggu Papa kamu, ya, Nak? Sekarang, Ibu harus tanyain semuanya dan buat Papa kamu terbuka," bisiknya lalu memejamkan mata.

Karena lama menunggu dan hari sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Nafi merasakan matanya yang memberat, perempuan itu beberapa kali menguap dan tanpa sadar, ia kembali tertidur di sofa malam ini.

***

Membuka matanya, lalu menatap sekitar setelah beberapa saat. Nafi mengerutkan kening, ia terbangun di atas ranjang. Perempuan itu langsung tahu, yang memindahkannya pasti Aryan, tetapi, ia tidak menemukan sosok laki-laki itu.

Nafi mendudukan diri, melihat jam yang sudah menujukkan pukul lima lebih dua, lalu menghela napas karena lagi-lagi, Aryan tidak membangunkannya untuk salat subuh. Perempuan itu langsung beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan berwudu, lalu melaksanakan salat setelahnya.

Selesai salat, Nafi menoleh saat seseorang membuka pintu kamar. Perempuan itu melihat Aryan yang sepertinya baru pulang dari masjid dan menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak boleh menangis lagi, yang ia harus lakukan adalah membuat Aryan terbuka lagi padanya. "Bang Aryan kenapa nggak bangunin Nafi lagi?" tanyanya cepat.

"Aku udah bangunin kamu lho, Fi. Tapi kayaknya kamu kecapean banget sampe nggak bangun, akhirnya ... aku biarin aja dan niatnya bangunin kamu setelah dari masjid," jawab Aryan lalu mendekati Nafi, dengan cepat, Aryan memeluk tubuh istrinya itu dari samping. "Kemarin gimana pas cek?"

Nafi tersenyum getir. "Kemarin kemana pas nggak jadi anterin Nafi cek?" Bukannya menjawab, perempuan itu malah bertanya balik.

"Ada urusan mendadak, Fi," jawab Aryan. "Kamu kalau ditanya, jawab. Bukannya nanya balik."

Perempuan itu melepaskan pelukan sang suami. "Bang Aryan juga kalau ngomong, yang jelas. Jangan cuma bilang urusan mendadak, urusan apa, Bang? Kerjaan?" Nafi menatap Aryan dalam.

Aryan terdiam, membuat Nafi tertawa hambar dan berucap, "Bukan, kan? Orang kemarin malem Nafi tanyain Bang Bian sama orang-orang di kafe Abang. Bang Aryan nggak ada urusan kerjaan di sana." Perempuan itu kini menghela napas. "Nafi istri Bang Aryan, kan?"

"Fi ...."

"Iya, Nafi istri Bang Aryan. Tapi Bang Aryan lebih mentingin hal lain dari pada istri Bang Aryan sendiri, apalagi sekarang ada calon anak Bang Aryan juga," kata Nafi. "Dulu, Bang Aryan bener-bener peka dan buat Nafi ngerasa beruntung karena apapun halnya, Bang Aryan pasti bilang ke Nafi dengan jelas, Bang Aryan selalu lebih perhatiin Nafi selain hal-hal lain dan ... kemana Bang Aryan yang dulu?"

"Emang urusan apa sih, Bang? Sampai Bang Aryan tinggalin Nafi sendiri buat cek ke dokter kandungan, Bang Aryan lagi-lagi buat Nafi kelimpungan nggak jelas karena nggak bisa di teleponin, dan ya, sampai Bang Aryan nggak terbuka sama Nafi?" Nafi masih terus menanyai Aryan.

Aryan tidak menjawab.

"Yara, Bang? Masalahnya masih tentang Yara?" tanya Nafi dengan nyaris berbisik. "Kalau iya, coba jelasin ke Nafi, kenapa Bang Aryan sampai segininya sama Yara? Bang Bian bilang kalau Bang Aryan paling nggak suka kerjain atau ngurusin hal sampai malam. Tapi dua hari ini, Bang Aryan pulang tengah malem terus, ada apa, Bang?"

"Kalau emang karena Yara, Nafi boleh cemburu, kan, Bang? Soalnya, Bang Aryan lebih mentingin dia dari pada Nafi." Nafi tersenyum getir dan menatap Aryan. "Bang Aryan nggak mau jawab?"

Nafi melihat Aryan masih diam, perempuan itu menggeleng dan membuang tatapannya dari Aryan. "Kalau gini caranya, Nafi nggak suka sama Yara, Bang."

"Fi!"

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang