Bonus Part 2

10.9K 1.5K 85
                                    

"Yal, anak Om jangan di cubit pipinya gitu. Lihat, nangis, kan?" Aryan menggendong Hulya, putri perempuannya yang kini sudah menginjak usia sepuluh bulan itu baru saja menangis karena Daniyal yang mencubit pipinya saat mereka bermain.

Abian terkekeh. "Nah lho, Yal. Kamu di marahin Onta kamu, minta maaf sana. Tenangin juga Dedek Hulyanya," ucapnya pada sang putra. Namun, ia langsung mendapat tatapan tajam dari Aryan.

"Onta Onta aja, lo! Nggak jelas banget, tau nggak?" ucapnya, lalu menunduk menatap Hulya yang terlihat tenang.

"Lha orang Daniyal yang ngomong gitu, anak gue udah dua tahun setengah lho ya. Dia manggil lo Onta, kan, gara-gara dia sebut Nafi Onty." Abian tertawa. "Duh, Daniyal ini emang bisa aja buat Ayahnya seneng!"

"Itu mah lo yang nyuruh!"

"Dek dek!" Daniyal berdiri dan berjalan mendekati Aryan, ia menepuk-nepuk kaki Hulya yang ada di gendongan Aryan, meminta Aryan untuk menurunkan Hulya kembali.

Akhirnya, Aryan menurunkan Hulya kembali. Laki-laki itu menatap Daniyal yang terlihat langsung ikut duduk di samping Hulya dan berucap, "Dedek Hulya-nya jangan kamu cubit lagi, kalau kamu cubit lagi nanti Om cubit Ayah kamu juga." Yang langsung diangguki oleh Daniyal.

Aryan tertawa, lalu mendengar Abian yang langsung berucap, "Beneran nggak jelas, lo!"

Kini, dua sahabat yang sudah sama-sama menjadi seorang ayah itu sedang berada di rumah Aryan. Mereka tadinya bersama Hana dan Nafi. Namun, karena Abian menyuruh keduanya untuk pergi dan menikmati waktu berdua mereka, akhirnya ia dan Aryan harus menghadapi putra dan putri mereka yang kadang terlalu aktif.

Aryan berhenti tertawa, laki-laki itu berdiri lalu ikut duduk di sofa bersama Abian, sedang kedua anak mereka kembali asyik bermain di karpet. "Nggak kerasa ya, Bi. Dulu kita sering banget duduk berdua kayak gini. Sekarang duduk berdua sambil ada yang recokin," katanya tersenyum.

Abian mengangguk. "Gue bahagia, Yan. Punya Hana sama Daniyal bener-bener buat hidup gue berubah seratus delapan puluh derajat," balasnya. Kini, mereka mengibrol tanpa beradu mulut di dalamnya.

"Gue juga. Allah emang bawa dua orang paling penting dalam hidup gue dengan cepat. Tapi, Allah juga gantiin mereka sama dua orang yang sama pentingnya di hidup gue, itu sama Nafi dan Hulya. Ya walaupun lo sering bilang gue sama Nafi kayak kucing sama kucing garong, lo lihat, kan, gimana gue sama dia sekarang?"

"Masih sama, kadang Hana yang biasanya diem aja geleng kepala liat kalian." Abian tertawa.

"Gue juga nggak tau kalau Hana nggak dateng ke rumah Nafi dulu. Saat kejadian gue nginjek gamis dia terus kita jatuh dan Ayah salah paham sampai dia nikahin kita. Mungkin, gue masih jadi Abian yang sama sekali lupa sama artinya bahagia." Abian tersenyum kecil, laki-laki itu mendongak dan menatap langit-langit. "Hidup kita udah berubah banget, Yan. Dan gue, gue harus pertahanin situasi ini terus."

Aryan mengangguk. "Harus."

Mereka kembali menatap Daniyal dan Hulya. "Gue kadang takut, Yan. Kalau Daniyal besar nanti, gue takut, gue nggak bisa ngertiin dia atau---" Abian menggantung ucapannya.

Aryan menggeleng. "Tenang, Daniyal bakal tumbuh jadi anak laki-laki lo yang penyayang sama kuat, gue yakin. Dia punya Hana, punya lo juga," ucapnya, "gue juga pernah mikir gitu. Tapi, lihat Hulya yang punya gue sama Nafi. Gue pasti berusaha biar Hulya jadi putri kita yang baik."

Aryan dan Abian kembali menatap anak-anak mereka. "Lihat, Bi. Anak lo pasti bawa mainan yang ada di tangan Hulya lagi." Aryan terkekeh. "Satu ... dua ... tig---"

"Huaaaaaaaaaa!" Abian dan Aryan saling memandang, lalu tertawa renyah. Setelah itu, keduanya beranjak dan ikut duduk di karpet. Aryan langsung menggendong Hulya yang kembali menangis, putri kecilnya ini memang agak-agak cengeng. Sedang Abian, laki-laki itu langsung mengambil mainan yang baru saja Daniyal ambil dari tangan Hulya sembari memberikan putranya pengertian jika itu bukanlah hal yang benar.

Hulya hanya menangis sebentar, setelah mendapatkan mainannya kembali, gadis kecil itu langsung berhenti menangis dan meminta turun dari gendongan sang papa. Aryan terkekeh, melihat Daniyal yang langsung meminta maaf pada Hulya dengan suara dan ucapannya yang tidak terdengar jelas.

"Jangan buat Dek Hulya-nya nangis terus dong, Abang Daniyal, kan, baik." Aryan mengelus kepala Daniyal lembut. "Kalau mau mainannya Dek Hulya, bilang sama Dek Hulya dulu, ya? Dek Hulya nanti kasih kok."

"Lo sih, Yan! Udah tau anak lo bakalan nangis, bukannya ngejauhin mereka, lo malah ngitungin. Nggak jelas banget, lo!"

"Gue, ka--"

"Assalamualaikum. Astagfirullah! Kok kayak kapal pecah?!" Aryan dan Abian langsung menoleh, melihat ke arah pintu dimana Hana dan Nafi baru saja masuk. Keduanya menjawab salam, lalu melihat Hana dan Nafi yang langsung masuk.

"Ndaaaa!" Daniyal langsung berlari ke arah Hana, sedang Nafi, perempuan itu mendekat ke arah Hulya dan menatap tajam Abian dan Aryan.

"Kata Nafi juga apa, kan, Han! Bang Bian sama Bang Aryan tuh pasti buat rumah kayak kapal pecah," ucap Nafi setelah duduk di samping Hulya. "Hulya tadi main lempar-lemaparan, apa? Sampai mainan kamu sama Abang Daniyal ada di deket pintu."

Aryan mendekati Nafi, lalu menerima uluran tangan Nafi yang mencium tangannya sembari berucap, "Namanya juga anak-anak, Fi."

"Lha? Nafi nggak permasalahin Daniyal sama Hulya kok. Nafi tuh bilang Bang Aryan sama Bang Bian, lagian kalian nyuruh-nyuruh Nafi sama Hana buat pergi lagi," balas Nafi.

"Udah mau siang, Hana sama Nafi tadi beli bahan makanan. Jadi, mau masak langsung. Kak Bian sama Kak Aryan jagaain mereka lagi, ya?" Semuanya langsung menatap Hana yang menurunkan Daniyal dari gendongannya. "Sekalian beresin mainan yang berserakan ini, soalnya Daniyal lagi aktif dan suka lari-larian, takutnya dia nginjek sesuatu dan jatuh."

"Iya, Han. Nanti aku sama Aryan beresin kok." Abian mengangguk.

Nafi berdiri. "Ada-ada aja emang, yuk Han!" Nafi menarik tangan Hana. "Kita masak dulu, ya. Inget, beresin juga!"

Hana dan Nafi menghilang dari pandangan Aryan dan Abian. Kedua laki-laki itu kini kembali saling menatap. "Emang salah kita ini, tadi sih, lo malah ajak Daniyal main perang-perangan pakai mainan ini," ucap Abian.

"Orang anak lo seneng juga, kok!" Aryan membalas. "Orang tadi lo ikut-ikutan juga."

"Kenapa coba nggak dari tadi lo pungutin mainannya, jadi mar--"

"Kalian kok malah berantem kayak anak kecil?! Cepet beresin mainan yang di lantai-lantainya, keburu Daniyal atau Hulya jatuh, lho!"

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Terima kasih untuk 100k pembacanya🥺❤ Mau ada extra part lagi, ndak nih?🤭

Semoga suka sama part ini, ya^^

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang