Nafi tersenyum saat melihat mobil suaminya yang berhenti tepat didepannya. "Assalamualaikum, suami!" sapa Nafi semangat saat Aryan membuka kaca mobil. Perempuan itu lalu berjalan masuk ke dalam mobil dan menyalami tangan Aryan.
"Waalaikumsalam, istri! Gak nunggu lama, kan?" Aryan baru membalas dengan senyum di wajahnya. Sore ini, Aryan yang baru saja pulang bekerja menjemput Nafi yang baru saja selesai mengerjakan tugas bersama teman-temannya. Satu setengah bulan sudah mereka menikah, mengantar dan menjemput Nafi memanglah rutinitas yang sudah biasa Aryan lakukan sekarang.
Sebenarnya, bisa saja Nafi mengendarai mobilnya sendiri. Namun, karena mobilnya ia tinggalkan untuk sang ibu, juga Aryan yang mau mengantar dan menjemputnya dengan dalih agar mereka lebih dekat ... yang Nafi lakukan hanyalan menurut. Lagipula, ia sangat senang untuk itu.
Nafi menggeleng. "Nafi cuma nunggu lima belas menit kok," jawabnya bergurau lalu tertawa renyah.
"Bener?"
"Ya nggak, lah, Bang! Kalau Nafi nunggu sampai lima belas menit, nih, ya. Udah Nafi bawelin Bang Aryan sekarang."
Aryan menatap Nafi. "Lha? Kamu emang bawel, Fi," balasnya, "iya, kan?"
Nafi yang baru saja memakai sabuk pengaman langsung memukul lengan Aryan pelan. "Heh, kok tau?" Sedetik kemudian, tawa mereka pecah. Sungguh aneh memang, tetapi, hal-hal kecil seperti itu yang membuat mereka bahagia.
Pernikahan mereka berjalan lancar, walau sering kali di bumbui adu mulut, tetapi itu semakin membuat mereka dekat dan lebih dekat lagi. Padahal, Nafi sempat khawatir dengan kegiatannya yang harus berkuliah juga. Namun, Aryan selalu memaklumi dan membantunya.
Ternyata, tidak semua hal yang ia pikir akan sulit berjalan dengan sulit. Karena jika dijalani dan dihadapi dengan baik, hal yang membuat khawatir sekalipun akan berjalan dengan lancar.
Ya, itulah yang sekarang Nafi alami.
Aryan menghentikan tawanya. "Udah-udah, sekarang ... mau langsung pulang, hm?" tanyanya.
"Bang Aryan udah makan?" Nafi malah bertanya balik.
Aryan mengangguk. "Siang tadi? Udahlah, kamu udah nanya ini di chat loh ashar tadi," jawab Aryan.
"Nah, karena tadi pagi pas Nafi buat sarapan bahan makanan udah banyak yang abis, belanja dulu mau, gak? Bang Aryan gak capek, kan? Kalau capek, kita langsung pulang aja, nanti Nafi per--"
"Nggak kok, mau belanja? Ya udah, kita ke supermarket ya," potong Aryan cepat lalu menyalakan mesin mobil. Tak lama, laki-laki itu melajukan mobilnya.
"Karena Bang Aryan nggak capek, berarti boleh dong anterin Nafi ke toko buku abis belanja nanti?" Nafi melingkarkan lengannya pada lengan Aryan yang sedang menyetir sembari menatap suaminya itu. "Aduhh, suami Nafi ganteng banget deh kalau mau anterin." Perempuan itu menaik-naikan alisnya.
Aryan yang masih fokus menatap ke depan berdecak kecil. "Muji kalau ada maunya doang," sindirnya, "kayak aku dong, bilang kamu cantik setiap subuh. Membahagiakan istri, kan, itu?"
"Apa? Bikin jantung mau loncat, iya."
"Tapi bahagia, kan?"
"Y-ya iyalah!"
Aryan tertawa kecil. "Nah, bagus. Usaha aku jadi suami yang baik itu tuh, Fi," ucapnya bangga. "Oh, iya. Mau jadi nggak ke toko bukunya? Kalau mau, kita sekalian ke mal aja." Lanjutnya.
Nafi langsung tersenyum lebar. "Wah, Bang Aryan nawarin Nafi? Dengan senang hati, Nafi mau banget di ajak ke toko buku sama suami Nafi yang ganteng ini." Perempuan itu mencubit pipi Aryan gemas. "Seneng banget Nafi, apalagi kalau Bang Aryan yang bayarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Spiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...