28 || Kuat

9.9K 1.6K 81
                                    

"Saya nggak tau Arsy sama Tante Mila mau kemana, saya cuma ditelepon pihak rumah sakit karena mungkin saya yang terakhir kali Arsy hubungi." Nafi terus saja mendengarkan penjelasan Ringga. "Waktu saya sampai rumah sakit, keduanya udah kritis, karena tabrakan dari mobilnya keras apalagi Arsy dan Tante Mila nggak pakai helm."

"Saya udah berusaha buat terus kasih kabar sama Bang Aryan, tapi waktu denger Arsy nggak bisa diselamatkan ... saya panik," lirih Ringga lalu menunduk dan membuka kacamatanya. "Padahal, malamnya Arsy bilang kalau saya serius, saya harus bilang Abangnya. Ternyata, maut yang jadi jodohnya terlebih dulu." Suaranya terdengar berat sekarang.

Nafi menunduk, lagi-lagi menitikan air mata. Acara pemakaman baru saja selesai dilaksanakan, Nafi sengaja meminta Ringga bercerita karena ia sama sekali tidak tahu bagaimana kejadiannya. Namun, saat mendengar dan mengingat jika kedua perempuan yang sangat berarti bagi suaminya itu sudah tiada, dada Nafi selalu saja sesak.

"M-makasih ya, Mas," ucap Nafi, lalu berdiri untuk mencari keberadaan Aryan. Karena sedari pulang dari pemakaman tadi, Nafi sama sekali tidak melihat suaminya. Ya, mereka memutuskan untuk memakamkan Arsy dan Mila di Yogyakarta, atas permintaan Dila dan keluarga Mila yang ada disini.

Nafi melihat kamar yang ia ketahui kamar Mila sedikit terbuka, mungkin Aryan disana. Akhirnya, perempuan itu melangkah mendekat. Namun, baru saja ia melangkah sebentar, Nafi dibuat menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya, "Fi."

Nafi langsung menoleh, sedetik kemudian tangisnya pecah dan memeluk orang yang memanggilnya itu. "Bu, hiks ...." lirihnya kembali terisak.

Yulia. Ya, itu adalah ibunya. Yulia memang langsung bergegas pergi ke Yogyakarta saat mendengarkan kabar duka yang menimpa putri dan menantunya. "Kuat, Fi. Jangan nangis, ya?" bisik Yulia, menguatkan sang putri. "Sekarang kamu mau kemana? Putra Ibu mana?" Lanjutnya menanyakan Aryan.

Nafi langsung melepaskan pelukannya, menghapus air matanya dengan cepat dan menghela napas untuk menenangkan diri. "Nafi mau ke Bang Aryan dulu, Bu. Dari kemarin Bang Aryan keliatannya diem terus."

"Aryan pasti sedih, temenin dia, Fi," balas Yulia yang langsung diangguki Nafi.

Nafi kembali melangkah, membuka pelan kamar Mila dan melihat Aryan tengah berbaring sembari menutup matanya dengan lengan. Perempuan itu tersenyum getir, melangkah masuk lalu menutup pintu dengan pelan. Mendekati Aryan, dan mendudukan dirinya di ranjang.

Nafi menghela napas, tangannya bergerak menyentuh lengan Aryan dan memanggil, "Bang." Dengan pelan.

Terdengar helaan napas berat dari Aryan. "Fi?" Aryan langsung menyingkirkan lengan di wajahnya dan mendudukan diri menatap Nafi. Laki-laki itu menatapnya kosong, bisa Nafi lihat, itu adalah tatapan sedih. Tatapan yang pertama kali Nafi lihat dari sosok Aryan yang biasanya menyebalkan. "Aku emang mau ke Jogja cepet, tapi bukan karena alasan ini," lirihnya lalu menunduk.

Nafi langsung mendekatkan tubuhnya dengan Aryan, membawa suaminya itu kepelukannya dan berucap, "Nafi tau Bang Aryan sedih, Bang Aryan lagi coba nggak nangis di depan Nafi, kan?" Perempuan itu menjeda ucapannya, lalu megelus punggung Aryan pelan. "Kalau nangis buat Abang tenang sekarang, nggak apa-apa Bang, jangan pendem semuanya sendiri."

Aryan membalas pelukan istrinya, sedetik kemudian, tangisnya pecah. Tubuhnya bergetar hebat, bahu Nafi juga langsung terasa basah. Nafi tahu, Aryan menahan semuanya sedari kemarin dengan cara diam dan menatap kosong. "Bang Aryan kuat, hiks ... suami Nafi ini kuat." Nafi ikut menangis.

Bagaimana Nafi bisa menahan tangisnya? Nafi tahu, seberapa pentingnya Arsy dan Mila untuk suaminya ini. "Rasanya lebih sakit, Fi. Aku kira, kehilangan Papa udah cukup buat aku sedih. Tapi apa? Kenapa Ibu sama Arsy cepet banget susul Papa, Fi? Hiks ...." lirih Aryan yang semakin membuat Nafi terisak. "Hal yang buat aku kuat saat kepergian Papa mereka, Fi. Karena aku tau, cuma ada aku buat mereka. Tapi apa? Mereka malah pergi dan tinggalin aku sendiri."

"Mereka alasan aku kuat sampai sekarang, tapi kalau mereka nggak ada ... apa aku bisa kuat?" Aryan masih terus berucap disela isaknya. "Semenjak pisah sama mereka, kata pulang jadi hal yang paling buat aku bahagia dan paling aku tunggu."

"Tapi apa?" Aryan terdengar menghela napas kasar. "Aku lupa, ada kata pulang yang ternyata buat aku ngerasa sedih banget, Fi .... hiks."

Nafi tidak bisa berucap apapun, selain terus ikut menangis dan memeluk Aryan lebih erat. Cukup lama Nafi mencoba menghentikan tangisannya dan menguatkan sang suami. Hingga perempuan itu menghela napas lirih dan berucap, "Bang Aryan mau dengerin Nafi?"

Aryan tidak merespon, membuat Nafi langsung melepaskan pelukan mereka. Nafi lihat, Aryan menunduk dengan badannya yang masih bergetar. Aryan yang rapuh, Aryan yang berbeda seperti apa yang biasanya ia lihat. Perempuan itu tersenyum getir, memegang dagu sang suami agar menatapnya dan berucap, "Suami Nafi kuat, kan?"

"Buat sekarang, Nafi biarin Bang Aryan nangis. Kayak yang apa Nafi bilang tadi, kalau itu buat Abang tenang." Nafi berucap. "Tapi inget, Bang Aryan jangan sedih lama-lama, Arsy sama Ibu butuh doa, bukan tangisan yang lama. Bang Aryan juga nggak sendiri. Liat didepan Bang Aryan, ada Nafi. Nafi bakalan selalu ada buat Bang Aryan, inget itu."

"Nafi tau, hal yang buat Bang Aryan kuat sampai sekarang itu adalah Arsy sama Ibu. Tapi Bang Aryan inget, ada Nafi sekarang. Bang Aryan harus kuat, buat Nafi," bisik Nafi menggenggam tangan Aryan. "Kehidupan nggak selesai karena kepergian Ibu sama Arsy, semua masih berjalan, Bang."

"Semuanya udah ketentuan Allah, Bang. Bang Aryan boleh sedih, tapi ... jangan berlalut, ya?"

"Aku belum cukup buat mereka bahagia, Fi," ucap Aryan lemah.

Nafi menggeleng. "Kata siapa, hm?" balasnya, "Bang Aryan nggak tau, kan, gimana antusiasnya Arsy kalau lagi ceritain Bang Aryan ke Nafi? Arsy bilang, Bang Aryan lebih dari Kakak buat dia, Abang udah kayak Ayah dan sahabat juga buat Arsy, kata Arsy, Bang Aryan selalu buat dia bahagia walau kadang terlalu keras dan nyebelin."

"Abang juga tau, kan, gimana kalau Ibu ceritain Abang ke Nafi? Ibu bilang, hal yang paling buat Ibu bahagia adalah punya putra kayak Bang Aryan. Putra yang selalu nurut, nggak pernah nuntut lebih, ya walaupun poin nyebelin selalu ada dalam diri Bang Aryan." Nafi tertawa hambar. "Bang Aryan jangan lupa, kalau alasan senyuman mereka itu salah satunya Abang, Bang Aryan hebat."

Nafi lagi-lagi menghapus bulir bening yang jatuh ke pipinya. "Bang Aryan jangan terus sedih, ya? Yuk, kuat!"

Aryan menghela napas, lagi-lagi. "Kamu buat aku kuat, Fi. Makasih, aku sayang kamu."

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang