Aryan menatap jam yang ada di dekat rak kamarnya. Laki-laki itu membulatkan mata dan langsung beranjak menuju meja untuk mengambil ponselnya yang sedang di isi daya. Ia menghela napas, melihat beberapa pesan yang Nafi kirimkan juga banyak telepon yang tidak terjawab.
Setelah salat zuhur, Aryan tertidur, dan laki-laki itu baru saja terbangun jam setengah dua siang. Padahal, ia harus menjemput Nafi kuliah jam satu siang tadi.
Akhirnya, Aryan berjalan menuju kamar mandi. Mencuci mukanya sebentar lalu keluar dari kamar sembari membawa ponselnya. Laki-laki itu menelepon balik Nafi, dan tak lama, telepon tersambung.
"Bang Aryan udah lupa sama istri, apa?!" Aryan langsung menjauhkan ponselnya saat Nafi berbicara di balik telepon.
"Aku ketiduran, Fi. Baru bangun ini juga, maaf," balas Aryan yang sudah turun dari tangga. Laki-laki itu mengambil kunci motornya lalu keluar dari rumah dan kembali berucap, "Kamu ada dimana, Fi? Biar aku langsung jemput."
"Nafi lagi nunggu bus pulang, tadi abis dari perpustakaan." Nafi menjawab, "Bang Aryan mau jemput? Awas lho masih ngantuk."
"Aku jemputnya pake motor kok biar cepet, kamu berarti ada di halte, kan? Tunggu bentar, jangan naik bus lho, ya," ucap Aryan. "Teleponnya aku matiin, ya? Assalamualaikum."
Aryan mematikan sambungan telepon. Laki-laki itu menyimpan ponselnya di kantung celana, lalu melangkah menuju garasi untuk mengambil motornya setelah mengunci pintu. Selesai memakai helm dan membawa helm lain untuk istrinya. Ia menyalakan mesin motor dan mulai melajukannya setelah membuka pagar.
Tidak sampai tiga puluh menit, kini Aryan menyunggingkan senyum saat melihat perempuan berjilbab hitam terlihat sedang duduk mengobrol dengan beberapa orang yang ada di halte. Ya, perempuan itu adalah Nafi. Langsung saja Aryan menghampirinya, lalu menghentikan mesin motor tepat di depan halte.
Melihat suaminya, Nafi yang sedang mengobrol dengan kedua temannya yang sedang menunggu bus, langsung berdiri. Perempuan itu pamit, lalu menghampiri Aryan. "Telat empat puluh tujuh menit, Bang. Bagus banget," katanya lalu menerima helm yang Aryan berikan.
Aryan terkekeh. "Abis zuhur aku ketiduran," balasnya.
"Kirain Nafi, kalau Bang Aryan tidur siang, bakal bangun magrib kalau gak di bangunin." Nafi yang baru memakai helmnya ikut terkekeh, ia lalu menatap Aryan dan bertanya, "Nafi duduknya gimana? Nafi pake rok nih, susah duduknya."
"Ya nggak lah, mana bisa tidur selama itu." Aryan membalas Nafi, lalu menjawab, "Ya duduknya terserah aja, mau duduk biasa atau nyamping, aman kok, kan bisa pegangan." Dengan alis yang ia naikain.
Nafi memutarkan bola matanya, lalu mendudukan dirinya di belakang Aryan dengan menyamping. Aryan tersenyum saat merasakan lengan sang istri melingkar di perutnya. Setelah itu, ia kembali menyalakan mesin motor dan melajukannya setelah berucap, "Saya bawa istri saya pulang, ya!" Pada teman-teman Nafi yang sedari tadi memperhatikan mereka.
"Bangg!" Nafi memukul pelan perut Aryan. "Jangan gitu, Nafi udah abis-abisan hindarin mereka yang goda Nafi padahal." Lanjutnya.
Aryan tersenyum, tidak membalas ucapan Nafi sampai istrinya itu bertanya, "Eh, Bang Aryan, kan, baru bangun ... Bang Aryan berarti belum makan, dong?"
Aryan mengangguk, ia memang belum makan siang. Nafi juga tidak menyiapkan makanan untuk makan siang, karena laki-laki itu melarangnya dengan bilang jika ia bisa masak sendiri. Namun nyatanya, ia malah tertidur sebelum makan siang.
"Ya udah, Bang Aryan mau mampir beli makanan atau Nafi yang masak?" tanya Nafi.
"Ya kamu yang masak lah, Fi. Lagian, aku gak terlalu laper kok." Aryan menjawab sembari menatap spion.
Nafi menghela napas. "Ya tetep aja, jangan sampai Bang Aryan sakit karena telat makan, Nafi gak mau ah," balasnya.
"Iya, sayang." Aryan berucap gemas, lalu terkekeh karena ia tidak mendengar balasan dari Nafi. Bisa ia tebak, Nafi sekarang tengah terpaku dengan pipinya yang memerah seperti biasanya.
Ah, istrinya memang menggemaskan.
Mereka kini sampai di depan gerbang. Nafi turun dari motor, lalu mengerutkan kening saat melihat mobil yang ada dipekarangan tempat tinggalnya bersama Aryan. Saat perempuan itu menatap Aryan, Aryan berkata, "Mobil Abian, kayaknya dia kesini." Lalu memasukan motornya.
Nafi ikut masuk setelah membuka helm, perempuan itu menutup pagar lalu tersenyum senang saat melihat Hana dan Abian tengah duduk di depan teras dengan Daniyal di gendongan Hana. Benar, Abian datang. "Daniyallll!" pekik Nafi senang lalu menghampiri Hana yang tengah menggendong Daniyal.
Aryan yang baru saja keluar dari garasi langsung menghampiri teras. "Mau apa lo kesini, Bi?" tanyanya pada Abian lalu merangkul pundak Nafi santai.
Melihat itu, Abian langsung berdehem keras dan menatap Hana. "Udah gak kayak kucing sama kucing garong, Han. Akur gitu sekarang, mana rangkul-rangkulan didepan orang lagi," ucapnya menyindir. Lalu membalas tatapan Aryan dan berucap, "Gue mau kesini aja, ganggu pasutri baru." Ia menjawab pertanyaan Aryan.
Aryan berdecak. "Idih, masalah lo gue gandeng-gandengan sama Nafi? Lo juga biasanya gitu, kan, sama Hana?" balas Aryan lalu berjalan menuju pintu. Ia mengambil kunci dan membukanya lalu mempersilakan semuanya masuk.
Mereka duduk di ruang tengah, Hana yang baru saja membantu Nafi menggendong Daniyal langsung menyimpan paper bag di atas meja sembari berucap, "Hana tadi masak banyak, sekalian masakin buat kalian."
Nafi tersenyum menatap Daniyal lalu mengalihkan pandangannya pada Hana. "Wah kebetulan, Bang Aryan belum makan, jadi siang ini Nafi gak usah masak."
"Lo belum makan, Yan?" tanya Abian menyambar.
"Be--"
"Belum, Bang. Bang Aryan jemput Nafi aja telat, temen Bang Bian itu malah tidur abis zuhur, bukannya makan. Mana tadi larang-larang Nafi masak lagi, katanya bisa masak sendiri. Eh, malah tidur," potong Nafi saat Aryan akan menjawab.
Aryan menatap Nafi. "Astagfirullah, Fi. Kalau suami mau ngomong, jangan di potong."
Nafi membalas tatapan Aryan. "Oh, Bang Aryan tadi Nafi potong ucapannya, ya? Maaf, ya, Nafi gak tau," ucapnya, "sekarang, mending Bang Aryan ambil paper bag itu ... Atau mau Nafi siapin?"
"Gak usah, Fi. Aku bisa sendiri kok. Kamu, kan, lagi gendong Daniyal." Aryan menggeleng lalu mengambil paper bag pemberian Hana tadi. Laki-laki itu tersenyum pada Hana lalu berucap, "Makasih, ya, Han."
"Iya, Kak."
Saat Aryan baru sedikit melangkah menuju dapur. Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan menatap Nafi. "Eh, Fi. Kalau kamu mau siapin, sok aja, biar Daniyal sama aku," katanya.
Nafi kembali menatap Aryan. "Kenapa emang?"
"Eh nggak jadi deh, biar aku aja." Aryan menggeleng.
Nafi memberikan Daniyal pada Hana lalu berdiri. "Ya udah, sini sama Nafi. Bang Aryan duduk bareng Hana sama Bang Bian aja."
"Gak usah, Fi."
"Sini, sama Nafi aja."
"Uda--"
"Asik berantem!" Abian tertawa renyah, membuat Aryan dan Nafi sama-sama menoleh ke arahnya.
"Diem, lo!" Aryan menatap tajam, lalu merangkul Nafi dan membawanya melangkah menuju dapur setelah berucap, "Yuk, kita siapin berdua aja."
Abian menatap pasangan didepannya lalu menggeleng. "Pasutri gak jelas, emang!"
[Bersambung]
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Spiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...