42 || Bahagia [Selesai]

17.4K 1.7K 257
                                    

Nafi tersenyum, memperhatikan suaminya yang sedari tadi sibuk membersihkan seisi rumah dan kini sedang mengepel. Sesekali, perempuan itu mengusap perutnya yang sudah membuncit karena usia kandungannya yang sudah masuk bulan ke tujuh.

Ya, lima bulan berlalu dan kini semuanya sudah berjalan dengan normal. Aryan sudah pulih total dari komanya beberapa bulan yang lalu, dan semuanya sehat. "Bilas lagi aja dulu, Bang," ucap Nafi yang membuat Aryan menoleh, laki-laki itu tersenyum lalu mengangguk dan segera melakukan apa yang baru saja Nafi ucapkan.

Melihat Aryan menyelesaikan pekerjaannya, dan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tangannya, perempuan itu lagi-lagi tersenyum saat Aryan kembali dan berjalan menghampirinya. Dengan masih mengelus perutnya yang besar, Nafi berkata, "Masya Allah, baik banget, sih, Papanya Dedek mungil ini, jadi tambah sayang Nafi."

Aryan terkekeh, lalu mendudukan dirinya di samping Nafi. Setelah itu, laki-laki itu mengecup kening sang istri dan membaringkan tubuhnya dengan wajahnya yang berada di dekat perut Nafi. "Iya dong, biar cantik-cantiknya Papa ini nggak kecapean."

Perempuan, jenis kelamin anak pertama mereka adalah perempuan, mereka mengetahuinya setelah Nafi melakukan USG dua bulan lalu.

Nafi terkekeh, lalu menggeleng saat Aryan lagi-lagi mengajak calon putrinya yang berada di perut Nafi mengobrol. Perempuan itu sesekali tertawa saat mendengar Aryan yang melemparkan kata-kata lucu, lalu menghela napas kecil dan lagi-lagi, tersenyum.

"Dedek mungil mau Papa ceritain gimana Ibu, nggak?" Mendengar itu, Nafi meneggakan tubuhnya, tertarik untuk terus mendengarkan Aryan. "Ibu kamu tuh selalu bikin masalah sama Papa, selalu ngajakin berantem dan nyebelin." Aryan melanjutkan ucapannya lalu mengaduh saat merasakan cubitan Nafi di tangannya.

"Fi, jangan cubit cubit atuh, sakit," katanya, "aku belum selesai ngomong, jadi diem dulu."

"Kamu tau, nggak? Ibu kamu pernah buat Papa nyasar bareng dia." Aryan kembali bercerita. "Waktu di pikir-pikir, setelah inget kejadian itu, ya, Dek. Kayaknya Ibu kamu tuh modus sama Papa."

"Heh, mana ada!" Nafi langsung menyanggah. "Orang waktu itu Bang Aryan bikin pusing, mana terus nanya-nanya arah, jadi deh Nafi arahin jalannya salah," ucapnya.

Aryan tidak mendengarkan Nafi, laki-laki itu malah menempelkan tangannya pada perut Nafi dan melanjutkan ucapannya, "Tapi, karena itu, hal yang langka terjadi. Waktu pulang dari sana, Papa harus traktir Ibu kamu dan untuk pertama kalinya, Papa sadar kalau Ibu kamu itu buat Papa nyaman."

"Karena itu, Papa udah niat buat lamar Ibu kamu. Di marahin dulu sama Om Bian deh, katanya, Ibu sama Papa bisa dosa kalau terus deket tapi nggak halal gini." Kini, suara Aryan terdengar nyaris berbisik. Namun Nafi masih bisa mendengarnya lalu terkekeh. "Eh, waktu lamar Ibu kamu, Papa di sangka bercanda. Emang, ya, parah banget Ibu kamu, buat Papa nggak bisa tidur, apalagi pesan Papa, telepon Papa, sama penjelasan Papa sama sekali nggak di kasih respon."

"Tapi akhirnya, Ibu kamu sadar." Aryan terkekeh saat melihat wajah Nafi yang terlihat serius memperhatikannya. "Papa sama Ibu nikah deh, dan yang satu terus pengen Papa kasih buat Ibu kamu adalah ... kebahagiaan."

"Ibu kamu hebat lho, Dek. Ibu kamu wisuda satu bulan lalu, dan kerjain tugasnya pas udah ada kamu disini. Ibu kamu juga selalu kuatin Papa waktu Papa kehilangan nenek sama tante kamu." Aryan tersenyum getir, dengan suara yang terdengar sendu di akhir. Namun, ia buru-buru merubah raut wajahnya dan tersenyum kembali. "Papa salut sama Ibu kamu, kamu tau nggak? Kalau Papa buat salah, Ibu kamu sabar banget. Kalau Papa sama Ibu kamu ada masalah, Ibu kamu selalu bilang, 'Ayo kita duduk, bicarain semuanya dan selesain masalah ini'. Papa, kan, makin sayang kalau Ibu kamu kayak gitu."

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang