34 || Sendiri

9.7K 1.5K 251
                                    

Nafi mengerjapkan mata, yang pertama kali perempuan itu lihat adalah, sosok Aryan yang baru saja membaringkannya di ranjang. "Bang Aryan udah pulang?" Perempuan itu bertanya dengan suara serak, lalu menatap Aryan.

Melihat istrinya yang terbangun, Aryan langsung membalas tatapan Nafi. "Eh, Fi? Aku bangunin kamu, ya?" katanya pelan, lalu mendudukan diri di tepi ranjang. "Maaf ...."

Nafi menggeleng, perempuan itu menatap jam dinding dan menghela napas lirih. "Bang Aryan baru pulang, ya? Larut banget," katanya pelan, "terus, kenapa Bang Aryan dari tadi nggak angkat telepon Nafi? Bang Aryan nggak bangunin Nafi buat pamit lagi."

Aryan mengelus surai istrinya lembut. "Maaf, ya? Tadi aku nggak buka HP, dan nggak ngerasa kalau kamu telepon. Tapi tadi pas mau pulang aku telepon kamu kok, eh, kamunya yang nggak angkat." Laki-laki itu menjeda ucapannya dan tersenyum kecil. "Pasti kamu khawatir. Aku nggak maksud buat kamu khawatir, Fi."

Nafi menatap Aryan datar. "Bang Aryan makin buat Nafi pusing tau, nggak? Apa sih salahnya tadi pagi pamit dulu? Biasanya, kan, Bang Aryan bangunin Nafi," katanya, "Bang Aryan nggak tau, apa? Nafi disini kelimpungan nggak jelas gara-gara Bang Aryan."

Aryan menggenggam tangan Nafi. "Maaf, Fi," katanya lagi. "Aku tadi ha--"

"Emang ada apa, sih, sama Yara? Sampai Bang Aryan kayak gini ke Nafi?" Karena kesal, Nafi memotong ucapan Aryan.

Aryan menggeleng, bukannya menjawab, laki-laki itu malah langsung membawa Nafi ke dalam pelukannya. Ia memeluk Nafi erat dan berucap, "Maaf, Fi." Lalu melepaskannya dan beranjak dari ranjang.

Nafi mendengkus menatap Aryan yang pergi setelah berkata, "Aku bersih-bersih dulu." Ia memejamkan mata lalu menggeleng.

Nafi kembali membaringkan tubuhnya menyamping, ia memejamkan mata, merasakan matanya yang memanas akibat ingin menangis. Sungguh, hubungannya dan Aryan jadi terasa aneh setelah kepergian Mila dan Arsy, itu yang Nafi rasakan.

Perempuan itu mencoba menahan tangisnya, tetapi gagal, ia sama sekali tidak bisa menahan bulir bening yang keluar dari pelupuk matanya, lagi-lagi. Rasanya kembali sesak, ia kini mengatupkan bibirnya sendiri, berusaha agar isaknya tidak keluar.

Namun, semua pertahanan itu runtuh saat merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya dan mendekapnya dengan erat. Perempuan itu langsung terisak dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Mengetahui Nafi yang menangis, Aryan tentu saja terkaget, laki-laki itu langsung membalikan tubuh Nafi agar menghadap ke arahnya. "Fi, kenapa?"

Nafi membenamkan wajahnya pada dada Aryan, ia tidak bisa menjawab Aryan selain dengan menangis. Entahlah karena apa, semuanya masih terasa membingungkan untuk Nafi.

Aryan kembali memeluk tubuh Nafi, membiarkan istrinya itu menangis hingga istrinya itu tenang. Beberapa menit kemudian, Aryan tersenyum kecil saat mendengar isak Nafi tidak lagi terdengar. Laki-laki itu langsung melepaskan pelukannya, dan menatap wajah sembab Nafi.

"Gara-gara aku lagi, ya, Fi? Kamu marah sama aku karena tadi pagi nggak bilang kamu? Aku minta maaf, ya? Tadi pagi aku ngeliat kamu tenang banget tidur, dan aku nggak tega kalau bangunin kamu," ucap Aryan lembut sembari mengusap air mata yang masih tersisa di pipi istrinya. "Aku udah bilang, kan? Aku nggak suka kalau kamu nangis kayak gini, apalagi itu karena aku." Lanjutnya.

"T-tapi, nggak seharusnya Bang Aryan kayak gitu," katanya, "Seenggaknya, Bang Aryan jawab telepon Nafi. Iya, Bang Aryan jawab, tapi udah itu dimatiin dan nggak bisa di telepon lagi."

"Aku minta maaf, Fi." Lagi-lagi, Aryan berucap. Kini, laki-laki itu memegang perut Nafi dan menunduk, "Ayo bilang sama Ibu kamu, Nak. Tolong maafin Papa, kamu juga maafin Papa, kan?" bisiknya.

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang