Aryan yang baru saja mencuci piring mendekati Nafi yang terlihat sedang menyandarkan tubuhnya di sofa dengan lemas. "Udah agak enakan, Fi?" tanyanya saat sudah duduk si samping istrinya itu. "Atau masih mual? Beneran nggak apa-apa, kan? Atau nanti siang kita ke Dokter aja, ya, Fi?"
Nafi menatap Aryan lalu terkekeh. "Nafi nggak apa-apa, Bang. Nafi mual-mual kayak gini ya karena Nafi hamil, Bang Aryan jangan terlalu khawatir. Ini udah biasa kok," jelasnya lalu menggenggam tangan sang suami. "Seneng deh Nafi, Bang Aryan bawel lagi."
Aryan tersenyum lalu membalas genggaman Nafi, laki-laki itu agak membungkukkan tubuhnya dan menatap perut sang istri seraya berucap, "Dedek mungil jangan repotin Ibu, ya? Kasian, nanti Papa sedih."
Nafi tersenyum geli, menggeleng saat Aryan mengelus perutnya sekilas sebelum menatapnya dengan tersenyum. "Kangen manggil Dedek mungil aku, biasanya ke Daniyal," ucap Aryan lalu membawa Nafi ke dalam pelukannya.
Nafi mengangguk, mengiyakan ucapan Aryan lalu mendongak. "Bang Aryan mau bantuin Nafi, nggak?" tanyanya yang tentu saja dibalas anggukan oleh Aryan.
"Apa? Masakin kamu?" tanya Aryan, dibalas gelengan oleh Nafi.
"Bantuin kamu bikin skripsi?" tanya Aryan lagi, yang lagi-lagi dibalas gelengan.
"Terus, apa?"
Laki-laki itu menyerah, meminta Nafi memberi tahu apa yang harus ia bantu dan Nafi menjawab, "Hari ini Bang Aryan yang belanja mingguan, Nafi nggak ikut, soalnya Nafi masih sedikit lemes. Mau, kan?"
Aryan terkekeh. "Kirain apa, Fi. Ya Allah ...." ucapnya lega. "Boleh dong, kamu disini aja, selagi aku nggak kerja, biar aku yang belanja dan masak hari ini."
Nafi tersenyum. "Baik banget, sih, suaminya Nafi ini," katanya lalu melepaskan pelukan Aryan, perempuan itu beranjak perlahan dan melangkah menuju kamar setelah berucap, "Nafi ke kamar dulu, ya. Buat list belanjaan yang harus Bang Aryan beli."
Aryan mengangguk, lalu mengikuti langkah Nafi. Mereka kini sama-sama melangkah menuju kamar, lalu Aryan duduk di tepi ranjang setelah sampai, memperhatikan Nafi yang berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil kertas serta pulpen.
"Karena udah mau jam sembilan, Nafi boleh sekalian minta tolong Bang Aryan ke rumah Bang Bian nggak?" tanya Nafi yang sudah duduk di sebelahnya sembari mencatat.
Membuat Aryan mengerutkan kening lalu bertanya, "Mau apa, Fi?"
Nafi tersenyum. "Tolong bawain buku di Hana, Nafi udah ada beberapa pinjem buku sama dia. Tadinya mau di bawa sekarang sama Nafi, tapi karena Bang Aryan mau ke supermarket dan mumpung searah, sekalian aja. Bang Aryan mau, kan?" katanya.
Aryan tersenyum lalu mengangguk. "Boleh, nanti aku ke rumah Bian juga setelah dari supermarket," katanya lalu menerima kertas yang langsung diberikan Nafi setelah perempuan itu selesai menulis. "Kamu disini sendiri, nggak apa-apa, kan?"
"Ya nggak apa-apa lah, Bang. Orang Nafi sering disini sendiri," ucap Nafi lalu menggeleng. "Ada-ada aja." Lanjutnya lalu terkekeh.
Aryan beranjak dari ranjangnya lalu mengambil kunci mobil yang ia simpan di nakas. "Aku pergi, ya? Kamu istirahat aja, kalau perlu yang lain, tinggal telepon aku," katanya lalu mengecup kening Nafi yang masih duduk di tepi ranjang.
Nafi mengangguk. "Iya, Bang. Nafi nggak anterin sampai luar, ya? Bang Aryan keluar sendiri, nggak apa-apa?"
Aryan tertawa. "Gitu aja nanya, ya nggak apa-apa lah. Kamu juga jangan bolak balik terus, apalagi masih lemes, kan?" balasnya, "Aku berangkat, Fi. Kalau ada apa-apa, telepon aja. Assalamualaikum."
Nafi mengangguk lalu membalas salam Aryan, perempuan itu memperhatikan Aryan yang keluar dari kamar setelah mengecup keningnya lagi dan tersenyum. Aryannya benar-benar sudah kembali seperti biasa.
Ternyata, keterbukaan itu sangat penting, tidak hanya itu, dewasa dalam menyelesaikan masalah juga tak kalah penting dari sebuah hubungan. Aryan dan Nafi buktinya, kini hubungan mereka sudah membaik setelah Aryan menjelaskan semuanya satu minggu yang lalu.
Keadaan Yara juga sudah membaik, dan kini, yang mengurus semua hal tentangnya adalah Abian dan Hana. Termasuk urusan Dito yang entah bagaimana urusannya karena Nafi tidak mengerti.
Nafi harus berterima kasih pada sepupu dan sahabatnya itu.
Intinya, sekarang Nafi senang, semuanya sudah kembali normal seperti apa yang ia inginkan. Seorang Aryan tidak lagi melamun dalam diam, menangkap ucapannya dengan tidak baik, dan membentaknya. Laki-laki itu mengakui jika semua yang terjadi adalah kesalahannya dan bilang akan berusaha terus terbuka pada Nafi dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Belajar dari kesalahan, kini mereka lebih mempertahankan hubungan mereka agar terus baik-baik saja. Nafi cukup terharu memikirkan itu.
Nafi kini membaringkan tubuhnya, menatap ponsel dan membukanya, perempuan itu terkekeh saat melihat beberapa pesan yang baru saja Aryan kirimkan soal dirinya harus menjaga diri di rumah, aneh sekali laki-laki itu, tetapi entah kenapa, itu yang Nafi suka dari Aryan.
Nafi juga membuka beberapa pesan dari ibunya, yang terus saja memberikan tips kehamilan tanpa henti. Sungguh calon nenek yang sangat perhatian, membuat Nafi mengulas senyum saat melihatnya.
Mematikan ponsel, kini Nafi beralih membaca buku yang ada di meja samping renjangnya. Buku yang kemarin malam tidak sempat ia baca karena Aryan menyuruhnya untuk tidur lebih awal dan berakhir ia bangun tengah malam dan tidak bisa tertidur lagi. Perempuan itu jadi agak menyesal menyuruh Aryan pergi sendiri, karena kini, ia merasa bosan harus terus berada di atas ranjang.
Namun, beranjak pun rasanya tubuhnya masih terasa lemas. Jadi akhirnya, Nafi memilih membaca buku untuk menghilangkan bosannya.
Belum lama ia membaca, perempuan itu merasakan matanya yang berat. Tiba-tiba saja ia merasa mengantuk. Akhirnya, perempuan itu menutup bukunya dan langsung memejamkan mata, mungkin tidur lebih baik saat ini. Padahal, hari pun masih pagi.
Cukup lama Nafi tertidur, perempuan itu kini terbangun saat mendengar ponselnya yang berada di meja dekat ranjang berbunyi. Perempuan itu mendudukan dirinya setelah merasa ia benar-benar bangun, lalu menatap ponselnya dan melihat siapa yang menelepon.
Abian, yang menelepon adalah Abian, membuat Nafi mengerutkan kening bingung dan menatap jam di dinding. Ah, sudah satu jam sejak Aryan pamit padanya, mungkin sekarang Aryan sedang berada di rumah Abian untuk mengambil buku untuknya.
Segera ia menerima telepon itu, dan mendengar Abian berucap, "Fi, Hana lagi kesana buat jemput lo. Lo siap-siap, ya?" Yang langsung membuat Nafi mengerutkan kening.
"Lho kok? Bang Bian ada apa telepon Nafi, Bang Aryan lagi sama Bang Bian, kan?" Bingung Nafi. "Kok Hana kesini coba, Bang Aryan yang suruh?" Lanjutnya masih dengan kebingungannya.
"B-bukan, Fi." Ucapan Abian terdengar melemas. "Hana bakal jemput lo buat ke rumah sakit sekarang."
"Rumah sakit?"
"I-iya, Aryan kecelakaan."
[Bersambung]
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Spiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...