Akhir

13.9K 1.6K 89
                                    

Aryan meringis saat cekalan tangan Nafi yang semakin kesini semakin kuat. "D-dedek mungil kita nggak sabar banget, ya, Bang? S-sakit ...." lirih Nafi sembari meringis, merasakan kontraksi yang semakin terasa sakit.

Aryan mengelus kepala sang istri. "Iya, Fi. Dedek mungil kita nggak sabar ketemu Ibunya yang hebat ini," katanya tersenyum. "Dedeknya pasti bangga banget punya Ibu kayak kamu. Kuat, ya?" Setelah itu, Aryan kembali meringis karena lagi-lagi Nafi mencekal tangannya.

Nafi menghela napas, lalu membuangnya perlahan. "S-sakit, Bang. S-sampai kapan lagi Nafi harus nunggu?" Suaranya terdengar sangat lirih, terdengar jelas jika perempuan itu tengah kesakitan.

Dokter datang, memeriksa Nafi dan langsung bilang jika pembukaannya telah sempurna, Nafi langsung di intruksikan untuk mengejan. Melihat istrinya yang terlihat sangat berjuang melahirkan putri mereka, Aryan rasanya ingin memeluk sang ibu erat setelah ini, tetapi sayangnya, Aryan tidak bisa melakukan itu.

Melihat Nafi yang sedari kemarin menunggu dengan menahan sakit, Aryan takjub melihatnya, sedari kemarin Nafi tidak banyak mengeluh sakit dan selalu bilang jika ia tidak sabar bertemu dengan putri mereka.

Aryan mendengar Nafi mengerang panjang, laki-laki itu menguatkan tangannya dengan Nafi, lalu kembali mengucapkan kata-kata semangat untuk istrinya. Sampai dokter bilang jika kepala bayi mereka sudah terlihat, Nafi menjerit hebat dan--

Suara tangisan bayi memecahkan suasana yang menurut Aryan menakutkan, laki-laki itu tidak bisa untuk tidak meneteskan air matanya dan terus mengucap syukur saat mendengar tangisan pertama putrinya dan Nafi yang terdengar membahagiakan.

Laki-laki itu menatap Nafi, perempuan yang baru saja berjuang begitu keras dengan mempertaruhkan hidupnya, laki-laki itu langsung mengecup kening istrinya dengan air matanya yang belum terhenti. "K-kamu hebat, Fi. Kamu hebat, aku nggak tau harus bilang apalagi selain bilang terima kasih," bisiknya setelah itu. "Terima kasih, aku sayang kamu."

Nafi tersenyum, apalagi saat Dokter meletakan bayinya yang baru saja lahir untuk melakukan Inisiasi menyusui dini.

Aryan masih menatap haru, laki-laki itu tersenyum menatap kedua perempuan didepannya kini, lalu mendekatkan wajahnya pada putrinya. "Assalamualaikum, anak cantik Papa ... selamat datang, ya."

***

"Cantik, ya. Kayak Nafi waktu bayi dulu." Aryan mengangguk, menyetujui ucapan mertuanya yang kini sedang menggendong putrinya dan Nafi. Laki-laki itu kini masih menunggu Nafi yang tengah beristirahat setelah persalinan yang terasa sangat panjang tadi.

"Aryan rasanya pengen meluk Ibu Mila, Bu. Lihat Nafi ngelahirin Dedek mungil ini, rasanya Aryan nyesel banget pernah buat salah sama Ibu." Aryan menunduk, sedari tadi ia terus mengingat Mila.

Yulia menoleh, menatap menantunya lalu tersenyum. "Mbak Mila pasti seneng banget liat putranya sekarang. Ibu bahagia banget kamu ada disini, sebagai menantu Ibu. Kamu laki-laki yang baik, Yan. Ibu seneng Nafi bahagia terus sama kamu, apalagi sekarang udah ada si cantik ini," lirihnya lalu menunduk, kembali menatap cucunya. "Kamu udah siapin nama buat dia, kan, Yan?"

Baru saja akan menjawab, Aryan langsung tersadar jika Nafi sudah terbangun. Ia dan Yulia langsung berdiri dan menghampirinya, lalu meletakan bayinya di sisi Nafi, membuat Nafi tersenyum.

"Masya Allah, putrinya Ibu cantik banget," ucap Nafi, lalu mengecup pipi bayinya. Setelah itu, ia meantap Aryan dan Yulia bergantian sembari tersenyum. "Bang Aryan, nama Dedek mungil cantiknya udah Bang Aryan siapin, kan?"

Aryan mengangguk. "Kita yang siapin, Fi," koreksinya lalu ikut mengelus putrinya. "Putri Papa yang cantik ini, namanya Hulya Aiyla Filiz." Lalu, ia sedikit menunduk dan mengecup putrinya yang langsung mengeliat.

"Namanya bagus banget, semoga Hulya jadi cucu Nenek yang baik, salihah, dan berbakti sama orang tua." Yulia nampak antusias, dan mengelus Hulya.

"Aamiin. Hulya bakal kayak Ibunya kok, Bu. Cantik, kan, putri Nafi?" Nafi membalas ibunya dengan senyum penuh harap.

Namun, Aryan buru-buru menggeleng. "Emang Ibunya Hulya cantik, Bu?" canda Aryan menatap Yulia, yang langsung dibalas kekehan oleh mertuanya itu, sementara Nafi sudah menatap kesal.

"Bang Aryan lho yang suka bilang kalau Nafi can--"

"Iya, Fi. Istri aku emang cantik banget. Makanya Hulya cantik ... tadi cuma becanda kok." Potong Aryan cepat, lalu mengecup Nafi. "Ibu tau nggak? Putri Ibu ini selalu bisa buat Aryan kagum, makin sayang, kan, jadinya." Lanjutnya pada Yulia.

Yulia kembali terkekeh. "Iya-iya," katanya, "Ibu keluar dulu, ya? Nunggu Abian, Hana sama Kak Wina di depan, biar nggak ganggu kalian sama Hulya juga."

Aryan mengangguk. "Ibu memang peka," katanya lalu tertawa renyah. Membuat Yulia menggeleng lalu melangkah keluar ruangan, dan kini, hanya ada Aryan, Nafi dan putri mereka yang ada di samping Nafi.

Aryan mendudukan diri di kursi samping ranjang Nafi, laki-laki itu tersenyum saat jari telunjuknya Hulya genggam dengan begitu erat. "Papa kayaknya bakalan seneng nih, cewek cantik nambah di rumah," ucapnya lalu terkekeh. "Makasih, ya, Fi. Udah terus kasih aku kebahagiaan."

Nafi tersenyum. "Bang Aryan jangan terus bilang makasih, ya? Nafi bosen dengernya dari tadi," keluhnya yang kembali membuat Aryan terkekeh. Lalu, Nafi menatap Hulya. "Akhirnya, Nafi bener-bener dipanggil Ibu, Bang."

Aryan menggenggam Nafi, lalu mengecup lengan istrinya lembut. "Sayang banget pokoknya sama Ibunya Hulya ini," katanya.

"Nafi juga sayang sama Hulya," balas Nafi lalu mengecup putrinya kembali.

"Sama Papanya?" tanya Aryan.

Nafi menatap Aryan lalu menggeleng.

"Nggak?"

Nafi mengangguk.

"Ah nggak percaya."

"Emang Bang Aryan nggak usah percaya." Nafi kini terkekeh.

Aryan menghela napas. "Sekali nyebelin, tetep nyebelin."

"Orang Bang Aryan juga sering kayak gitu," balas Nafi. "Lebih nyebelin Bang Aryan, kan?"

"Kamu lah, Fi."

"Ih, enggak! Kemarin aja Bang Aryan nyebelin, setiap hari selalu nyebelin."

"Nggak, Fi."

"Iya, Bang."

"Pokoknya Bang Aryan yang---"

Nafi dan Aryan langsung menatap Hulya yang baru saja menangis, dengan cepat Nafi mendudukan dirinya dan memberikan ASI pada putrinya itu.

"Bagus, Nak. Sekarang kamu yang nyebelin."

"Bang!"

"Bercanda, Fi. Masih tetep kamu kok yang nyebelin."

_________

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang