Nafi menutup laptopnya lalu menghela napas lirih, perempuan itu membenamkan wajahnya di meja dan lagi-lagi bulir bening keluar begitu saja dari matanya. Dua minggu berlalu, dan kondisi Aryan masih sama, membuat Nafi semakin dibuat cemas karena beberapa kali kondisi suaminya itu memburuk.
Dugaan Abian dan Hana benar, Dito lah yang menabrak Aryan. Nafi bisa sedikit bernapas lega karena sekarang laki-laki itu sudah berada di penjara dan tidak akan mengganggunya dan keluarganya lagi. Namun, ketakutan Nafi semakin hari semakin membesar, Nafi semakin khawatir memikirkan suaminya itu.
Nafi masih membenamkan wajahnya di meja ruang tengah ibunya sampai ia merasakan seseorang memegang bahunya dan berucap, "Nangis lagi, Fi? Udah dibilang, kan, jangan kayak gini terus."
Nafi langsung meneggakan kepala dan menoleh, menatap Hana yang memang tinggal disini bersama Wina untuk menemani Nafi, sedang Abian, laki-laki itu sudah dua minggu menunggu Aryan di rumah sakit karena Nafi tidak diizinkan menunggu karena kondisinya.
Hana melihat Nafi menunduk, Perempuan itu menggenggam tangan Nafi. "Udah nangisnya, ya? Sekarang, yuk siap-siap. Kita ke rumah sakit, bentar lagi jam jenguk Kak Aryan," kata Hana tersenyum kecil.
"I-iya, Han." Nafi mengangguk, lalu dengan dibantu Hana, perempuan itu membereskan laptop serta buku-bukunya tadi, dan pergi bersiap-siap. Setelah siap, mereka pamit dan memesan taksi, berdua saja, Daniyal Hana titipkan pada Yulia dan Wina.
Tak perlu menunggu taksi lama, kini keduanya sudah berada di dalam dan taksi melaju menuju rumah sakit. Rasanya Nafi hampir terbiasa, dengan jadwal jenguk yang sebentar, Nafi setiap hari akan datang ke rumah sakit melihat suaminya yang masih terpejam.
Mereka sampai, Nafi dan Hana segera keluar dan melangkah masuk ke dalam rumah sakit, berjalan menuju ruang ICU, dan seperti biasa, melihat Abian yang menunggu di luar. Laki-laki itu akan menunggu Aryan setelah pulang bekerja, digantikan oleh Yulia atau Wina, dan kadang-kadang, Nafi yang sering memaksa.
Nafi menunduk saat melihat Hana menyalami Abian, merasa bersalah karena semua ini, Hana dan Abian harus tinggal terpisah. Sempat Nafi menyuruh Abian untuk berhenti menunggu Aryan dan memaksa supaya ia yang menunggu Aryan, tetapi Abian malah berucap, "Waktu gue sakit dan di rawat di rumah sakit dulu, Aryan yang jagain gue, sekarang giliran gue yang lakuin ini ke dia. Aryan bukan cuma sahabat, tapi udah kayak saudara bagi gue. Lagian kalau lo nunggu disini, lo harus nunggu di luar, tidur di kursi atau bareng sama penunggu pasien yang lain dan kedinginan. Kasian anak lo sama Aryan, nanti." Dan Hana pun bilang jika ia tidak keberatan.
Abian langsung menyuruh Nafi masuk. Lagi-lagi, suara monitor terdengar dan ia melihat alat-alat medis saat masuk ruang ICU, melihat beberapa pasien yang juga ada di sana dan tersenyum kecil saat sudah berada di dekat ranjang Aryan.
Perempuan itu menghela napas, menggenggam tangan Aryan dan berucap, "Assalamualaikum, Bang Aryan. N-nafi balik lagi." Ia menunduk, suaranya bergetar karena lagi-lagi tidak bisa menahan tangisnya.
"Bang Aryan ini kapan bangunya, hm? Nafi tau Bang Aryan ini emang kebo dan susah dibangunin. T-tapi, ini udah lama, Bang, hiks ...." Nafi berbisik lalu menatap Aryan. "B-bang Aryan nggak capek tidur terus? N-nggak kangen Nafi, apa?"
"Bang Aryan nggak kangen jailin Nafi, apa? Bilang cie-cie nggak jelas terus ngambek kalau Nafi diemin? N-nafi kangen Bang Aryan, hiks." Isakan kecil terdengar, Nafi mengusap air matanya dan masih menatap Aryan. "Besok Nafi mau cek Dedek mungil tau, Bang. Lagi-lagi, Bang Aryan nggak bisa ikut liat perkembangan Dedek mungil, kan," lirihnya.
"Dedek mungil udah nggak buat Nafi muntah mual lagi, dia baik dan nggak nakal." Nafi tersenyum kecil. Beginilah jika Nafi menjenguk Aryan, perempuan itu akan menceritakan segala hal pada Aryan, berharap suaminya itu cepat terbangun dan kembali padanya.
Nafi mengeratkan genggaman tangannya. "Nafi nggak suka genggam tangan Bang Aryan sebenernya, tangan Bang Aryan kegedean dan nggak muat Nafi genggam," ucap Nafi lagi sembari menatap genggamannya. "N-nafi lebih suka di genggam sama Bang Aryan, d-dan Nafi kagen itu."
"Nafi kangen suaranya Bang Aryan kalau imamin Nafi, gombalan Bang Aryan yang udah biasa karena liat dari google, Nafi juga kangen Bang Aryan masakin, walau kadang agak gosong karena Bang Aryan ceroboh." Nafi tertawa hambar. "Bang Aryan kapan bangunnya? N-nafi takut kalau Abang terus kayak gini, hiks."
Lagi-lagi, air mata tidak bisa Nafi paksa untuk tidak keluar. "Bang Aryan nggak tau, kan, gimana takutnya Nafi setiap lihat ada pasien yang keluar dari ICU sambil di tutup kain? Denger tangis orang-orang diluar, dan liat keadaan orang-orang yang masuk sini? N-nafi takut kehilangan Bang Aryan sekarang, hiks ... Nafi nggak siap, Bang. N-nafi sama Dedek mungil masih butuh Bang Aryan. Hiks ...."
"Bang Aryan masih nggak mau buat Nafi berhenti nangis, apa? A-ayo Bang ... Nafi masih nunggu momen dimana Bang Aryan keluar dari sini dengan senyum Bang Aryan." Nafi melepaskan genggaman Aryan, lalu mendekatkan wajahnya pada telinga sang suami. "Bang Aryan ngerasain takut kehilangan orang tersayang Bang Aryan, kan? S-sekarang, Nafi rasain itu, Bang," lirihnya.
"K-kata Bang Aryan, kita bakal bahagia bareng, kan? Nafi selalu bahagia kalau di deket Bang Aryan, dan mungkin sebaliknya. T-tapi, ada di deket Bang Aryan dengan keadaan B-bang Aryan yang kayak gini ... Nafi nggak suka, Bang." Lanjutnya lalu menjauhkan wajahnya kembali.
"Pokoknya, Bang Aryan harus cepet bangun, biar Nafi terus ada di samping Bang Aryan, sekarang, Nafi nggak suka disini, suara monitor-monitornya buat Nafi nggak nyaman," kata Nafi lalu mengangkat dan mencium tangan Aryan, setelah itu kembali mendekatkan wajahnya dan mengecup kening sang suami. "Nafi sayang Bang Aryan."
Nafi menyudahi semuanya, kembali mencium tangan Aryan dan melangkah keluar ICU. Digantikan Abian yang masuk, mereka tidak boleh berbarengan karena peraturannya hanya satu orang yang boleh menjenguk ke dalam.
Kini, Hana mengajak Nafi duduk di sampingnya, tangan pucatnya menggenggam tangan Nafi dan berucap, "Jangan nangis terus, Fi. Daniyal aja sekarang nangisnya udah nggak sering." Untuk menghibur Nafi.
Nafi tersenyum kecil, menghapus bekas air matanya sebelum beranjak dengan cepat saat melihat Abian keluar dari ICU dengan panik. "F-fi, Aryan!"
Allah, Nafi tidak ingin ketakutannya terjadi.
[Bersambung]
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡Double up♡
Kalau ndak nge-feel, maaf, ya🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Spiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...