"Gak usah naik angkot, gue aja yang anterin, ayo!"
Nafi menatap Aryan dan mengedipkan matanya beberapa kali. "Lo kesambet apa, Bang? Kok baik banget sih?" katanya, "lumayan lah gak usah ngongkos, ayo lah, gue udah telat ini!" Lanjutnya lalu melangkah keluar dari kafe.
Aryan menghela napas, lalu mengikuti Nafi keluar. Laki-laki itu melihat Nafi yang terlihat celingukan lalu bertanya, "Kenapa lo?" tanyanya.
"Nafi gak liat mobilnya Bang Aryan, diparkir dimana emang?" tanya Nafi menatap Aryan sebentar.
"Yang bilang gue nganterin lo pake mobil siapa? Gue gak bawa mobil hari ini, gue bawa motor," balas Aryan lalu menaiki motornya yang ia parkirkan didepan kafe. Memakai helm lalu menatap Nafi yang malah diam. "Kok lo malah diem, sih? Buruan naik!" suruhnya.
Nafi mengangguk. "Helm, Bang, helmnya mana?" tanyanya.
Aryan kembali turun dari motor, melangkah masuk kembali ke kafe dan keluar dengan membawa helm yang ia pinjam dari karyawan disana dan memberikannya pada Nafi. "Nih, buruan naik, katanya tadi lo telat."
Nafi tersenyum. "Oke, itung-itung Mas gojek."
"Mas gojek apaan," ketus Aryan lalu menyalakan mesin motornya. Setelah Nafi naik setelah menyimpan tasnya di belakang punggung Aryan, Aryan langsung melajukan motornya.
Motor menyapa jalanan yang lumayan padat, Nafi terus saja menatap arlojinya. "Aduh Bang, cepet dong! Liat, dua belas menit lagi gue masuk nih, dosen hari ini nyeremin banget." Gadis itu menepuk bahu Aryan pelan.
Aryan menghela napas. "Gak liat jalanan, Fi? Gue cepet-cepet kita celaka, mau lo?" balas Aryan santai masih tetap fokus pada jalanan.
Nafi meringis. "Kita muter aja, Bang! lewat gang-gang gitu, motong jalan, Nafi kayaknya apal jalan," ucap Nafi yang langsung membuat Aryan menghentikan motornya karena kebetulan ada mobil didepannya.
Aryan menolehkan kepalanya. "Lo beneran tau, Fi?" tanyanya memastikan.
Nafi mengangguk. "Iya, Bang. Ayo muter balik, mumpung samping kosong," kata Nafi mantap, membuat Aryan mengangguk dan langsung mengarahkan motornya ke samping. "Masuk gang sana bisa, Bang, sok," suruh Nafi, Aryan lagi-lagi hanya mengangguk dan menjalankan motornya sesuai arahan perempuan dibelakangnya.
Aryan terus menjalankan motornya masuk ke dalam gang, sampai laki-laki itu melihat tiga arah gang lain dan bertanya, "Udah ini lewat mana, Fi?" tanyanya.
Nafi terdiam, dugaannya salah. Oh tidak, ia salah mengarahkan jalan pada Aryan sepertinya. Karena, kini mereka ada di sebuah gang yang sama sekali tidak Nafi kenal. Tidak ada respon dari Nafi, Aryan menghentikan motornya, laki-laki itu menopang motor dengan kedua kakinya lalu mendengkus. "Sebenernya lo tau gak sih, Fi?" tanyanya menatap spion.
Nafi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu tertawa renyah sembari menggeleng. "Jalan ini Nafi gak tau, Bang. Kayaknya kita salah jalan, deh," cicitnya tak bersalah.
Aryan melongo. "Apa?! Tuh, kan! Dari awal gue udah gak yakin sama lo emang, sekarang gimana? Nyasar nih kita?" kesalnya langsung.
Nafi turun dari motor dan menatap Aryan. "Heh! Orang awal masuk gang tadi Nafi emang tau jalannya, cuma kita salah jalan kayaknya ... ini salah lo, Bang! Kalau aja Bang Aryan gak nabrak Nafi dan buat baju Nafi basah, Mas gojek yang Nafi pesan gak akan cancel." Perempuan itu menatap tajam.
Aryan menggeleng tidak terima. "Namanya gak sengaja, Fi! Kok lo jadi terus bahas itu sih? Gue udah baik hati lho buat anterin lo. Dan ide masuk gang kayak gini siapa yang nyuruh? Lo, kan? Gue mah ikut aja ... sekarang salah jalan kan, lo? Coba kalau tadi kita lewat jalan raya aja? Walau lama, gak akan kayak gini kita. Sama-sama aja lamanya kalau kayak gini."
Mendengar Aryan, Nafi langsung teringat kelasnya siang ini. Perempuan itu menatap arlojinya, menghela napas kasar lalu membulatkan mata. "Astagfirullah, empat menit lagi Nafi masuk!" pekiknya lalu kembali naik ke atas motor. "Lurus aja deh, Bang! Cari jalan raya, bodo amat telat, yang penting Nafi gak abisin jatah bolos Nafi cuma karena Bang Aryan."
"Lo masih bila--"
"Maju, Bang!"
Baru saja Aryan akan membalas, Nafi langsung memotong ucapannya dan memukul bahunya agar ia kembali melajukan motor. Akhirnya, lagi-lagi ia menurut, ia mengambil jalan lurus sesuai ucapan Nafi tadi.
Namun, bukan jalan raya yang mereka temui. Mereka lagi-lagi melihat sebuah gang-gang yang semakin kecil luasnya. Aryan menggeleng. "Dimana nih, Fi? Kok kita malah kesini? Mana ada jalan raya," tanyanya dengan masih terus mengendarai motornya.
Nafi semakin menghela napas. Sekarang, ia benar-benar sudah telat. Seharusnya, tadi ia tidak membeli teh hijau terlebih dahulu dan menyuruh driver ojek online menunggu sebentar. Mungkin, jika ia tidak membeli teh hijau tadi, ia sudah duduk menyimpak materi dari dosen saat ini. "Bang berhenti," suruh Nafi.
Aryan menghentikan motornya di dekat sebuah rumah. "Ada apa? Kita bener-bener nyasar ini," balas Aryan. Terdengar nada jengkel saat laki-laki itu berbicara. Bagimana tidak jengkel? Seharusnya tadi ia tidak menuruti ucapan Nafi.
"Muter aja lagi deh Bang, balik lagi lewat gang tadi. Nafi udah telat, dan gak mungkin Nafi masuk kelas jam ini," ucap Nafi lemah.
Aryan terpaku sejenak. "Gak jadi? Lo cuma hambur-hamburin bensin doang tau, gak?" kesalnya.
Nafi mencubit bahu Aryan kesal. "Bisa gak lo gak ngoceh, Bang? Tinggal muter balik aja, susah? Lagian pelit amat, lo!" Sama, perempuan itu juga kesal sekarang.
"Ya udah, sekarang kita mau kemana?" tanya Aryan, laki-laki itu harus mengalah rupanya.
Nafi berpikir sejenak. "Nafi gak ikut kelas pertama, nanti paling balik kampus sesudah dzuhur," ucapnya, "balik lagi ke kafe aja lah, Bang! Nafi nunggu disana, takut kena omel Ibu kalau pulang ke rumah."
Aryan bedecak. Sabar, Yan. Sabar. Lo gak boleh cari masalah terus, bakal sampe magrib kalau lo ladenin, udah-udah. Batinnya terus menerus.
Aryan lagi-lagi menurut, kini yang ia lakukan adalah menyusuri jalan yang tadi dilaluinya. Ya, mereka kembali lagi pada gang tadi. Padahal, kenapa tadi ia tidak melakukan hal seperti ini saat motonya berhenti pertama kali?
Sudahlah, itu membuat Aryan kesal.
Akhirnya, meraka sampai di jalan raya. Aryan langsung menyebrang dan mengendarai motornya kembali menuju kafe. Sungguh, perjalanannya selama tiga puluh menit yang menguras emosi tadi berakhir sia-sia.
Mereka sampai, Nafi langsung turun dari motor dan melepaskan helmnya, membenarkan jilbab lalu menatap Aryan yang baru saja mematikan mesin motor dan berucap, "Bang Aryan gantiin minuman Nafi, ya. Jangan lupa beliin makanan juga."
"Rugi gue," balas Aryan lalu melepaskan helm.
"Idih, pelit! Ini juga salah lo, ya!" Lagi-lagi, Nafi berucap demikian.
Aryan menghela napas panjang kali ini. "Kita impas ya hari ini, lo juga salah karena ngarahin jalan."
"Tapi, kan, kalau tadi Bang Aryan gak nabrak Nafi, Nafi gak akan bolos kelas, abis udah jatah bolos Nafi gara-gara Bang Aryan." Nafi membalas tidak mau kalah.
"Dan kalau lo gak nunjukin arah yang salah, kita gak akan selama ini, kan? Mungkin lo bisa masuk kelas walau telat dikit." Sama, Aryan juga tidak mau kalah.
"Lo ya--"
"Lo protes, gak jadi gue bayari--"
"Ya udah! Ini salah Nafi sama Bang Aryan. Ini salah kita," ucap Nafi akhirnya, membuat Aryan merekahkan senyuman sebelum ia kembali memasang wajah kesal saat Nafi kembali berucap, "Tapi, Bang Aryan yang lebih salah."
"Nyebelin banget, Astagfirullah!"
[Bersambung]
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Espiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...