"Pa, lupa! Namanya siapa?" Aryan yang sedang mengobrol dengan Nafi langsung menoleh, menatap Hulya dan bayi yang sedang tidur di ranjang. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit, dan sekarang, Hulya kembali bertanya siapa nama adiknya padahal tiga puluh menit yang lalu ia juga bertanya.
"Latif, Teh," jawab Nafi, perempuan itu tersenyum.
"Ih kalau nama itunya, Uya tau, Bu." Hulya menggeleng. "Nama panjangnya?"
"Latif Faruq Hulaif, sayang."
Aryan menjawab, lalu menatap bayi berusia tiga hari yang baru saja dibawa pulang dari rumah sakit, anak keduanya bersama Nafi. Bayinya berjenis kelamin laki-laki, yang mereka beri nama Latif Faruq Hulaif.
"Oke, Pa. Makasih!" Hulya kini mendekati Latif, gadis kecil itu mengelus pipi adiknya dengan sayang sembari berucap, "Dedek jangan buat Ibu nangis sama teriak-teriak lagi, ya? Teteh nanti marah sama kamu," ucapnya yang sukses membuat Aryan dan Nafi terkekeh, seperti biasa.
"Makasih, Fi." Aryan kembali menatap Nafi, perempuan yang sudah hampir delapan tahun mendampinginya, menjadi sandarannya dalam suka dan duka, perempuan yang ia sayangi yang kini menjadi ibu dari kedua anaknya.
Nafi menggadeng tangan Aryan yang ada di sampingnya, menyandarkan tubuhnya pada sang suami, lalu mengangguk. "Makasih juga, Bang." Ia tersenyum.
Keduanya kini menatap lurus, melihat Hulya yang sedang anteng berbicara dengan adiknya, membicarakan banyak hal yang lagi-lagi sukses membuat hati keduanya menghangat. "Hulya nikmatin perannya sebagai Kakak tuh, Bang. Seneng Nafi liatnya." Nafi kembali berucap.
Aryan mengangguk, mengiyakan ucapan Nafi. Mereka kembali menatap kedua anaknya, dimana Hulya kini berjalan keluar dari kamar mereka dan kembali dengan membawa sebuah album foto, membuat Aryan mengerutkan kening, bukankah album itu tersimpan rapi di lemari ruang tengah?
"Ya, kok kamu bawa foto itu? Dapet dari mana?" Tentu saja, Aryan bertanya.
Hulya mendekati Nafi dan Aryan, membuat Nafi melepaskan gandengannya dari Aryan. "Ini, Pa. Kemarin, kan, waktu Tante Hana sama Om Bian jagain Uya disini, Om Bian sama Tante Hana liatin ini, terus di simpan di kamar Uya, disini ada foto-foto Papa waktu kecil katanya," jawab Hulya antusias.
Aryan mengangguk mengerti, lalu mengambil album foto yang di sodorkan sang putri. "Ayo, kita liat bareng-bareng. Udah lama Papa nggak lihat ini," ajak Aryan, mengajak Hulya duduk di sampingnya.
Nafi memperhatikan keduanya dengan senyum yang masih terpampang jelas di wajahnya. Perempuan itu ingin ikut bergabung, tetapi karena ia mendengar putranya menangis, Nafi memutuskan untuk berjalan mendekati putranya, meninggalkan Aryan dan Hulya yang terlihat sudah mulai membuka album foto tersebut.
Aryan langsung tersenyum saat melihat fotonya saat kecil, seorang anak laki-laki yang terlihat enggan di foto. "Ini Papa waktu kecil, Teh," ucap Aryan. "Ini almarhumah Bibi Arsy, adiknya Papa." Lanjut Aryan memperlihatkan fotonya dan Arsy saat remaja.
Melihat itu, Aryan kembali mengingat kejadian enam tahun silam, dimana ia ditinggalkan oleh adik dan ibunya, tentu saja, Nafi adalah orang yang menguatkannya saat itu, sampai sekarang, saat ia mengingat keduanya, selalu ada Nafi yang membuatnya kuat.
Aryan menggilir foto demi foto, sembari menjelaskan apa yang terjadi saat foto itu di ambil. "Ini Om Bian, waktu nikah sama Tante Hana. Ini Papa, dan ini Ibu." Aryan memperlihatkan foto pertamanya dengan Nafi, dimana mereka sama-sama mendatangi pernikahan Abian dan Hana, di saat itu juga mereka saling mengenal.
"Waktu itu Papa kenalan sama Ibu kamu, lihat kacamata Papa bagus, kan, di foto ini?" Aryan terkekeh saat Hulya menggeleng sebagai jawaban. "Eh, kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Espiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...