Bonus Part 4

9.8K 1.4K 73
                                    

"Bang Iyal, ih! Jangan di kasih itu Dek Danis-nya!" Aryan menatap Nafi, kembali tertawa renyah saat melihat Hulya yang baru saja memukul pelan lengan Daniyal yang sudah berusia tujuh tahun saat memberikan mainan pada Danisa, anak kedua Hana dan Abian yang kini berusia satu tahun. "Ini kecil, nanti Dedek Danis makan. Kata Ibu nggak boleh," ucap Hulya kembali.

Aryan menghela napas. "Tuh, kan. Galak kayak kamu, Fi," ucapnya yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Nafi.

"Bang Iyal liatin kok, Uya." Daniyal menggeleng. "Nanti Dedek Danisnya nangis kalau nggak di kasih." Lanjutnya lalu kembali memberikan mainan kecil itu pada Danisa yang terdiam menatap kakak-kakaknya bingung.

Hulya memeluk Danisa untuk menghalangi Daniyal. Gadis kecil lima tahun itu menatap Aryan. "Papa, Dedek Danis nggak boleh di kasih mainan kecil, kan?"

Aryan mengangguk. "Iya, Daniyal kalau mau kasih mainan ke adiknya ... kasih aja boneka itu," jawabnya. "Jangan berantem ah."

Hulya melepaskan pelukannya dari Danisa yang terlihat sudah memberontak tidak nyaman, lalu beralih mendekati Daniyal. "Bang Iyal kasih ini aja," ucapnya setelah mengambil boneka dan menyodorkannya pada Daniyal.

"Bang Iyal nggak boleh kasih Dedek Danis mainan kecil, nanti di makan sama Dedek Danisnya. Jadi, Bang Iyal kasih boneka Uya aja," ucap Hulya menggemaskan. "Biar Dedek Danis nggak nangis."

Daniyal mengambil boneka dari tangan Hulya, lalu memberikannya pada Danisa. Membuat Hulya bertepuk tangan dan bersorak, "Pinter!"

"Uya, Bang Iyal emang udah pinter. Kan Bang Iyal udah sekolah kelas satu," ucap Daniyal. "Uya juga nanti sekolahnya bareng Bang Iyal, ya?"

Hulya menggeleng. "Enggak, Uya mau bareng Dedek Danis. Dedek Danis, kan, cantik. Kayak Uya," balasnya.

Nafi kembali tertawa renyah. "Tuh, kepedean kayak Bang Aryan," ucapnya.

"Orang biasanya kamu yang kepedean. Lagian, anak aku mah emang cantik, bukan kepedean," balas Aryan lalu mendekatkan tubuhnya dan merangkul Nafi, kembali memperhatikan ketiga anak yang tengah bermain di karpet.

"Bang Iyal jangan nangisin Dedek Danis! Nanti kalau Bang Iyal nangisin Dedek Danis terus, Dedek Danisnya nggak boleh pulang. Disini aja sama Uya, sama Papa,  sama Ibu. Bang Iyal nanti nggak punya adik lagi." Mereka kembali menatap Hulya yang masih mengobrol dengan Daniyal.

Daniyal menggeleng. "Nggak, Uya! Dedek Danis adik Abang Iyal, Uya juga adik Abang Iyal. Jadi Abang Iyal punya dua adik."

"Kalau Abang Iyal nakal, Uya nggak mau jadi adiknya Bang Iyal, Dedek Danis juga nggak mau." Hulya membalas. "Nanti Uya aja yang jadi kakaknya Dedek Danis."

"Abang Iyal nggak nakal, Uya!"

"Kan kalau Abang Iyal nakal. Kata Papa, nggak boleh jadi anak nakal. Nanti di kasih mata besar," ucap Hulya yang langsung membuat Aryan yang mendengarnya lagi-lagi tertawa. Kenapa putrinya ini begitu menggemaskan.

"Emang, sih. Nurun Ibu sama Bapaknya. Hulya suka banget ngajakin adu mulut." Nafi dan Aryan menoleh, menatap Abian dan Hana yang baru saja datang dengan makanan yang di pesan.

Setelah lama sibuk dengan urusan masing-masing, kini keempat orang itu kembali berkumpul, tentu saja direcoki dengan anak-anak mereka yang memang sangat aktif. "Orang anak gue ngasih tau Daniyal biar nggak kasih mainan kecil sama Danisa," ucap Aryan.

Abian mendudukan dirinya, diikuti Hana di sampingnya. "Udah, jangan sampe sekarang kalian yang adu mulut. Sama aja," timpal Hana. "Heran, Hana. Sepanjang cerita ini, pasti ada aja adegan adu mulutnya."

Nafi terkekeh, menyetujui ucapan Hana dengan mengangguk. Lalu, semuanya kini menatap Daniyal dan Hulya yang berjalan ke arah mereka sembari menuntuk Danisa yang memang baru bisa berjalan.

"Tante Hana, Dedek Danisnya sama Tante Hana dulu, ya?" Hulya menatap Hana, yang langsung membuat Hana tersenyum dan mengambil alih putrinya itu. Setelah itu, Hulya melangkah mendekati Nafi, naik ke atas sofa dan duduk di sebelah sang ibu. Sedang Daniyal, laki-laki itu mendudukan dirinya di samping ayahnya.

Melihat apa yang baru saja terjadi, tentu saja membuat Abian dan Aryan saling menatap. Mereka heran, kenapa putra dan putri mereka tiba-tiba saja duduk dan diam. Karena biasanya, jika keduanya bertemu, mereka tidak akan berhenti beradu mulut seperti tadi.

"Jadi, kenapa kalian tiba-tiba duduk?" Mewakili kebingungan para ayah, Nafi kini bertanya, menatap Daniyal dan Hulya bergantian.

"Uya di suruh Abang Iyal." Hulya langsung menunjuk Daniyal. "Katanya, tadi Uya harus duduk di sebelah Ibu."

Semua menatap Daniyal, sedang yang di tatap kini menatap Aryan dan berser, "Om Aryan mau cerita lagi!"

"Kirain Om apa, tiba-tiba langsung kesini, Yal. Ceritanya nanti, ya? Kita ke taman pas udah nggak panas. Sekarang, kalian diem dulu aja gini," ucap Aryan.

Hulya menggeleng. "Enggak, Pa. Sekarang aja," katanya, "di bawah, nggak usah di bunga, Pa. Yuk sekarang, yuk!" Gadis kecil itu berdiri, menarik tangan Aryan.

"Udah Bang, sana," ucap Nafi. Akhirnya, kini Aryan yang di tuntun oleh Daniyal dan Hulya.

Baru saja Aryan mendudukan diri, terdengar suara Danisa yang meminta turun dari gendongan sang bunda. Aryan menoleh, laki-laki itu kembali berdiri dan mengambil bayi satu tahun itu karena ia tahu, Danisa ingin kembali bergabung dengan kakak-kakaknya.

"Danis duduk, ya," ucap Aryan, mendudukan Danisa di samping Hulya.

Melihat itu, Daniyal berucap, "Ih, Om! Dedeknya di tengah."

Aryan menghela napas, lalu memindahkan Danisa yang kini duduk di ditengah-tengah Hulya dan Daniyal. "Udah, ya. Pada diem dulu, jangan berantem dan jangan berisik. Papa mau mulai cerita," katanya.

Nafi tersenyum, benar saja, ketiga anak yang tadi sempat membuat ramai rumah, kini sama-sama diam menatap Aryan yang bercerita. "Tuh, kan. Aryan emang bisa banget buat mereka diem, coba kalau gue yang di sana." Ia menoleh, menatap sepupunya dan tertawa renyah.

"Jangan dibayangin, hasilnya pasti kacau." Nafi semakin tertawa renyah saat mendengar Hana menimpali ucapan suaminya. "Bentar lagi empat orang yang di ceritain gitu, lho, Kak." Lanjut Hana yang langsung membuat Nafi terdiam.

Abian menatap bingung. "Gimana?"

"Kemarin Nafi bilang sama Hana, kalau Hulya bakalan dapet adik," jelas Hana. "Iya, kan, Fi?"

Nafi menghela napas, terdiam. Yang baru saja di katakan Hana benar, dan belum ada yang tahu selain Hana dan Abian yang baru saja tahu. Rencananya, Nafi akan memberikan Aryan dan Hulya kejutan.

"Iya, Bang. Jang—"

Belum Nafi menyelesaikan ucapannya, Abian menatap Aryan dan berucap, "Yan. Kok lo nggak bilang, sih, kalau Nafi lagi hamil?" Yang sukses membuat Nafi dan Hana saling menatap kaget.

Mendengar itu, tentu saja Aryan menghentikan ceritanya. Laki-laki itu menatap Abian bingung. "Lha, siapa? Nggak kok."

"Lha, tadi Nafi bilang dia—"

Aryan dengan cepat menatap Nafi. "Fi?! Kamu hamil emang?" Terlihat jelas, wajahnya yang kini memancarkan raut bahagia.

"Lha, lo nggak tau, Yan?" Abian ikut bingung.

Nafi menghela napas, lalu menatap Abian tajam. "Bang Bian, mah! Kok lo kasih tau, sih?!"

________________

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Udah 4 bonus part nih, udah aja atau gimana? Rasanya, masih belum bisa berhenti nulis kisah ini saya🤭
Semoga suka sama part ini, ya^^

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang