27 || Yogyakarta

8.9K 1.5K 102
                                    

"Saya Ringga, Bang."

Mendengar itu, senyuman Aryan langsung terukir. Laki-laki itu langsung membalas, "Ringga? Kamu dapet nomor saya dari Arsy, ya? Ada apa?" Dengan senang.

"...." Tidak ada balasan, dibalik sana hening. Membuat Aryan kembali mengerutkan kening bingung. Saat akan bertanya, Aryan dibuat terdiam saat mendengar Ringga berucap, "Iya, Bang. Saya dapat nomor Abang dari Arsy kemarin ... E-mm B-bang, saya baru dapat informasi tadi, katanya Arsy dan Tante Mila kecelakaan."

Mendengar penuturan Ringga, rasanya tubuh Aryan langsung melemah. Sesak langsung terasa di dadanya. "L-lo becanda, kan?" tanyanya dengan nada berat.

Mendengar itu, Nafi yang sedang fokus pada Daniyal langsung menoleh. Melihat suaminya yang terlihat aneh dengan mata memerah dan rahang mengeras, tentu saja Nafi terkaget. Perempuan itu langsung berdiri dan mendekati Aryan, baru saja ia akan menyentuh bahu sang suami, Nafi dibuat kaget karena Aryan memekik, "Jawab gue!"

Nafi menoleh saat Daniyal langsung menangis, membuat perempuan itu langsung berlari kecil dan menggendong tubuh bayi itu. "Bang! Jangan mekik kayak gitu, inget Daniyal ... ada apa?" tanya Nafi, dengan nada dan wajah yang bingung.

Aryan mematikan sambungan telepon, lalu mendudukan dirinya di sofa sedetik kemudian. Laki-laki itu menunduk dengan tubuh yang bergetar. Nafi semakin dibuat bingung, apalagi dengan tangisan Daniyal yang semakin menjadi. "Sayangnya Onty jangan nangis, ya? Cup cup cup." Perempuan itu menenangkan Daniyal, lalu melangkah mendekati Aryan.

"Bang Aryan kenapa?" tanya Nafi.

Namun, bukan jawaban yang Nafi dengar. Ia malah mendengar Aryan yang berucap, "Aku harus cari tiket ke Jogja, secepatnya, Fi."

Membuat Nafi mengerutkan keningnya. "Ke Jogja, buat apa, Bang? Yang tadi nelepon siapa? Coba bilang sama Nafi, ada apa? Jangan buat Nafi bingung," balasnya.

"Ibu sama Arsy kecelakaan, Fi! Sekarang mereka di rumah sakit, kritis!" pekik Aryan, lalu melangkah cepat menuju kamar.

Mendengar itu, Nafi langsung membulatkan mata. "Inalilahi wainnailaihi Raji'un ...." Perempuan itu berkata lirih, ia berdiri lalu menenangkan Daniyal yang masih menangis kembali. "Yal, tenang, ya, sayang?"

Tentu saja Nafi merasa panik, perempuan itu akhirnya melangkah menuju kamar saat Daniyal sudah tenang. Saat membuka kamar, bisa ia lihat Aryan tengah memasukan bajunya ke dalam koper. "Nafi ikut, Bang," ucap Nafi.

Aryan menggeleng. "Nggak, Fi. Kamu nggak mungkin ikut dengan kamu yang ma--"

"Nafi harus ikut, Bang! Pokoknya, Bang Aryan nggak boleh kesana sendiri." Nafi dengan cepat memotong ucapan Aryan. "Tunggu, Nafi harus telepon Ibu Yulia dulu, kita titipin Daniyal ke Ibu aja, biar nanti Ibu yang bilang sama Bang Bian."

"Cepet, Fi!"

***

"Bang, tenang," bisik Nafi, perempuan itu menggenggam tangan sang suami yang sedari tadi berjalan cepat menuju ruang ICU. Hari sudah gelap, setelah dari bandara tadi, Aryan langsung mengajak Nafi menuju rumah sakit. Laki-laki itu terlihat sangat gelisah sepanjang perjalanan, apalagi saat Ringga dan keluarga yang ada di Yogyakarta sama sekali tidak bisa dihubungi.

Nafi tidak tahu bagaimana semuanya terjadi, perempuan itu terlalu panik sampai tidak menanyakan apapun selama perjalanan tadi pada Aryan. Nafi hanya bisa berdoa dan berharap semua baik-baik saja.

Namun, saat ia dan Aryan sudah berada didekat ruang ICU, Nafi bisa lihat ada beberapa orang tengah menangis disana. Tentu saja ia semakin berjalan cepat karena Aryan yang sedikit berlari mendekati beberapa orang tersebut. "Tante, Arsy sama Ibu gimana?" Aryan langsung bertanya pada tantenya yang memang tinggal di Yogyakarta.

Dila, perempuan yang dipanggil tante oleh Aryan itu langsung mendongak. Tangisnya semakin menjadi saat melihat sosok Aryan disana. "Y-yan, hiks ...."

"Ada apa, Tan? Arsy sama Ibu gimana?" Aryan menatap dengan penuh harap, tetapi ia tak kunjung mendapat jawaban karena tantenya malah menangis. Ia juga melihat ke arah perempuan-perempuan yang ia ketahui adalah teman Arsy, mereka juga menangis. Membuat Aryan semakin bingung dan gelisah.

"Tan," lirih Aryan menunduk, Nafi yang sedari tadi ada disisinya menatap sekitar. Ia melihat seorang laki-laki berkacamata datang menghampiri mereka. Nafi menebak, itu adalah Ringga.

"Bang." Laki-laki itu benar-benar menghampiri Aryan dan Nafi, memanggil Aryan yang langsung membuat laki-laki itu menoleh. "Saya Ringga." Tebakan Nafi benar, laki-laki itu adalah Ringga.

"Ga? Arsy sama Ibu gimana? Kenapa lo nggak bisa dihubungi, Ga?" Aryan langsung bertanya.

Ringga menunduk. "Arsy nggak bisa diselamatkan, Bang. Arsy meninggal karena benturan keras di kepalanya yang mengakibatkan pembuluh darahnya pecah dan nggak tertolong. Sekarang, Arsy lagi ditangani pih--"

"Ga?!" Aryan memekik, membuat Nafi langsung mengeratkan genggamannya pada suaminya itu. Tangis perempuan itu pecah, apalagi saat Aryan dengan lemasnya menjatuhkan dirinya memeluk Nafi.

"Hiks ... Bang," lirih Nafi ditengah isaknya. Perempuan itu mendudukan Aryan disamping Dila, lalu melepaskan genggamannya, membiarkan suaminya itu mendudukan dirinya sembari menunduk, ia tahu, Aryan pasti sedih saat ini.

Masih dengan air mata yang belum bisa ia hentikan, Nafi menatap Ringga. "Ibu, gimana, Mas?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Tante Mila masih ditangani Dokter," jawab Ringga. "Maaf tadi saya nggak kasih kabar, saya terlalu panik."

Nafi menggeleng. Itu bukan hal yang perlu dibahas sekarang. Kini, ia melihat punggung suaminya yang bergetar hebat. Perempuan itu pun kembali mendekati Aryan, duduk di sebelah sang suami dan berucap, "Bang, berdoa buat Ibu, ya? Hiks ...." bisik perempuan itu lalu kembali menangis.

"Aku m-mau liat Arsy, Fi." Suara Aryan masih terdengar berat. Ia tahu, suaminya itu menghapus air matanya terlebih dahulu sebelum akhirnya menatapnya seperti sekarang. Kini, Aryan hanya menatapnya kosong dengan mata yang berkaca-kaca. "A-aku mau liat Arsy ... hiks." Rupanya, laki-laki itu tidak bisa menahan isaknya.

"Ikut saya, Bang." Ringga langsung berucap, membuat Aryan mengangguk dan berjalan mengikuti Ringga. Entah kemana.

Nafi kini menatap adik mertuanya yang masih menangis. "T-tan ...." Perempuan itu mengusap punggung Dila.

"M-maafin Tante, Fi ... hiks. Tante nggak bisa anterin Arsy sama Mbak Mila, sampai mereka harus pergi pakai motor ... hiks." Dila langsung memeluk Nafi.

Nafi tidak tahu harus bagaimana sekarang, ia terlalu bingung, ia terlalu panik, ia terlalu gelisah. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis. Entah kemana Aryan dan Ringga, Nafi kini masih memeluk Dila dan beberapa teman Arsy pun mencoba memenangkannya.

Hingga mereka sama-sama dibuat menoleh saat seorang dokter keluar dari ICU sembari bertanya, "Keluarga Nyonya Mila?"

Nafi langsung berdiri. "Kami, Dok."

"Setelah beberapa jam kritis, Nyonya Mila tidak dapat diselamatkan karena pendarahan hebat dikepalanya. Kami sudah berusaha kuat, tetapi Tuhan berkehandak lain."

Tubuh Nafi benar-benar lemas mendengarnya. "Innalilahi wainnailaihi Raji'un ... hiks."

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang