33 || Pusing

10.5K 1.5K 112
                                    

Nafi membuka matanya, perempuan itu langsung memegang kepalanya yang terasa sakit dan meringis. Terdiam sebentar, lalu melihat ke arah jam di dinding. "Udah jam sembilan ternyata, Nafi tidurnya lama banget," katanya, lalu mendudukan diri.

Nafi menatap sekitar, tidak menemukan sosok sang suami yang tidak membangunkannya. Tadi, Nafi bangun saat adzan subuh berkumandang, tidak membangunkan Aryan, karena saat itu suaminya sudah pergi ke masjid. Namun, saat selesai salat subuh, kepalanya amat pusing, jadi ia memutuskan untuk kembali tidur sebentar.

Nafi pikir, Aryan akan membangunkannya, seperti biasa jika ia tertidur kembali selepas subuh, tetapi ternyata tidak. Ia pun belum bertemu dengan suaminya itu hari ini. "Bang Aryan?" Nafi memanggil.

Tidak ada sahutan, perempuan itu menghela napas saat mengingat ucapan Aryan kemarin malam. Ia hampir lupa, apa Aryan sudah pergi ke luar kota sehingga tidak menyahut panggilannya? Akhirnya, Nafi beranjak dari ranjang, dengan kepalanya yang masih pusing, perempuan itu mencuci muka lalu keluar dari kamar untuk mencari sang suami.

Namun, Nafi tidak menemukan Aryan, dan saat membuka garasi, perempuan itu melihat mobil yang biasanya terparkir disana kini tidak ada. Kini, ia menghela napas kasar. "Bang Aryan jadi pergi rupanya," katanya getir lalu kembali melangkah masuk ke dalam rumah.

Nafi melangkah menuju kamar, tentu saja dengan suasana hatinya yang kurang baik karena Aryan tidak pergi tanpa pamit. Padahal, ia sudah cukup baik untuk mengerti dan mengizinkan Aryan pergi ke luar kota saat keadaannya seperti ini.

Katakanlah Nafi berlebihan, tetapi untuk Nafi, dia juga membutuhkan Aryan hari ini, apalagi kepalanya terasa pusing sejak kemarin. "Udah nggak bangunin, langsung main pergi nggak pamit, kesel Nafi," gumam perempuan itu sembari mengambil ponselnya.

Nafi melihat notifkasi pesan dari Aryan, perempuan itu melihat Aryan hanya mengirimkan satu pesan, dan hanya bertuliskan; Aku berangkat ya, Fi. Maaf tadi gak bangunin kamu, soalnya kamu keliatan nyenyak banget tidur, aku sayang kamu, sayang dedek mungil yang ada di perut kamu juga♡.

Walapun mungkin, kata yang Aryan ketik itu terlihat romantis. Untuk pertama kalinya, Nafi tidak suka dikirimi pesan seperti ini oleh Aryan. Boleh ia merasa kesal sekarang? Bagaimana tidak? Hari ini ia sama sekali belum bertemu dengan Aryan, sama sekali tidak mengobrol dengan laki-laki itu, dan ya, seharusnya Aryan membangunkannya. Jika seperti ini, rasanya Nafi tidak tenang, entah kenapa.

Nafi tidak menjawab pesan itu, perempuan itu langsung mencoba menelpon Aryan supaya bisa langsung meluapkan kekesalannya. Namun, teleponnya tidak tersambung karena ponsel Aryan yang tidak aktif. "Astagfirullah, kenapa sih Bang Aryan ini?"

Selain kesal, Nafi juga jadi semakin penasaran, ada apa lagi dengan Yara? Kenapa Aryan sampai memilih Yara dari pada ia dan calon anak mereka? Padahal, saat Yara pertama kali bertemu dengan Nafi setelah mereka menikah, Aryan terlihat begitu peka dan lebih memilih Nafi. Ada apa dengan suaminya sekarang?

Nafi menggeleng, memikirkannya semakin membuat pusing.

***

"Fi?" Nafi yang sedang membaringkan diri di ranjang, langsung meneggakan kepalanya saat melihat Hana yang ada di depan pintu kepalanya. Perempuan itu tersenyum kecil, mendudukan diri lalu menyuruh Hana masuk.

"Kamu masih pusing banget, Fi? Kak Aryan emang kemana sih, Fi?" tanya Hana lalu mendudukan diri di tepi ranjang. Kini, hari sudah siang, dan kepala Nafi masih terasa pusing. Perempuan itu sudah beberapa kali menelepon Aryan, tetapi laki-laki itu hanya menjawab sekali dan itupun tidak jelas dan langsung dimatikan, selebihnya, Aryan tidak lagi menjawab.

Akhirnya, mengingat Hana yang bilang akan ke rumahnya hari ini, Nafi jadi memberi tahu pada Hana jika kepalanya pusing, Nafi juga melarang Hana membawa Abian, karena ia tidak ingin sepupunya itu bertanya tentang Aryan yang tidak ada di rumah. Karena kemarin malam, Aryan bilang Abian sama sekali tidak tahu hal ini.

Nafi mendekati Hana, perempuan itu mengangguk, lalu memeluk Hana dari samping layaknya anak pada sang ibu. "Kepala Nafi emang udah pusing dari kemarin, Han," katanya.

Hana menghela napas, perempuan itu melepaskan pelukan Nafi dan membiarkan Daniyal yang sedari tadi ada di gendongannya bebas dengan mendudukannya ke ranjang. "Kamu mau periksa ke Dokter, Fi? Sekalian periksa dedeknya? Atau gimana?" tanya Hana perhatian.

Nafi terdiam sebentar, lalu menggeleng. "Nggak deh, Han. Nafi mau ke Dokter kandungan bareng Bang Aryan besok," jawabnya, "makasih, ya, udah datang." Lanjutnya lalu tersenyum.

"Kamu belum jawab Hana, Kak Aryan kemana emangnya? Tumben, biasanya kalian selalu berdua, apalagi kalau hari libur kayak gini," ucap Hana. "Apalagi kamu lagi sakit ... oh, iya, Kak Aryan udah tau kamu hamil, kan?"

Nafi mengangguk. "Udah, Han. Bang Aryan juga keliatan seneng banget," jawabnya, "Tadi pagi Bang Aryan ke luar kota, ada urusan penting katanya."

"Tumben banget." Komentar Hana, membuat Nafi kembali tersenyum getir. Lihatlah, Hana pun merasa ini jarang terjadi pada Aryan, apalagi Nafi.

"Nggak apa-apa, Nafi nggak boleh egois, kan?" balas Nafi lalu menghela napas, perempuan itu kini menatap Daniyal yang sedari tadi sudah duduk diam menatapnya dan sang bunda. "Sampe lupa Onty kalau Daniyal ada disini, Daniyal mau buah? Onty punya banyak buah lhoo." Ia berkata, lalu menggendong Daniyal setelah beranjak dari ranjang.

"Eh, Fi. Kamu lagi pusing, kan? Daniyal-nya biar sama Hana aja." Hana langsung berdiri.

"Nggak apa-apa, Han. Yuk kita ke dapur, tadi katanya kamu mau masakin buat Nafi, kan? Kebetulan banget Nafi belum makan siang," balas Nafi lalu melangkah keluar kamar setelah Hana mengangguk.

Mereka sudah berada di dapur, Nafi kini tengah duduk memangku Daniyal yang sedang asik memakan buah yang baru saja ia potong, sembari memperhatikan Hana yang memasak. "Bunda kamu tuh baik banget, Yal. Liat, Onty dimasakin beneran dong, padahal tadi cuma bercanda," ucap Nafi sembari terkekeh.

"Daniyal, kan, bentar lagi ada temen main," balas Hana. "Kamu jangan terlalu banyak pikiran, Fi. Jaga kesehatan, pola makan, jangan kecapean juga." Lanjutnya.

Nafi mengangguk, tersenyum lalu membalas, "Iya, Bunda." Lalu kembali terkekeh.

"Tenang aja, Fi. Kamu punya Kak Aryan," kata Hana. "Perhatian banget, kan, suami kamu itu."

Nafi kembali mengingat Aryan, mengingat hari ini mereka sama sekali belum berkomunikasi, Nafi tentu saja merasa khawatir. Namun, lagi-lagi ia harus berpikir postif. Ia juga tidak boleh egois seperti apa yang sudah ia katakan pada Hana tadi.

"Han, kamu tau nggak, ada apa sama Yara sekarang?" tanya Nafi tiba-tiba, membuat Hana yang sedang fokus memasak langsung mengubah tatapannya menjadi menatap sahabatnya itu bingung.

"Eh? Kok kamu tiba-tiba tanya Yara sih, Fi?"

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang