"Abang Aryan, bangunnnnnn!" Mendengar pekikan Arsy yang lumayan keras, Aryan yang masih memejamkan matanya kini dibuat langsung terbangun. Apalagi, saat Arsy menarik bantal dan guling yang ia pakai.
Aryan terdiam sebentar, lalu mendudukan dirinya dan menatap Arsy. "Dek, Abang tuh lagi libur ... pengen banget tidur siang tapi biasanya gak bisa, eh, pas bisa tidur siang malah di ganggu sama kamu," katanya pelan lalu menghela napas. "Ada apa?" Kini, laki-laki itu bertanya.
Arsy tertawa renyah. "Maaf, Bang. Orang Ibu yang suruh bangunin, kok, Bang Aryan udah tidur ampir satu jam," balasnya, "oh iya, hari ini Arsy mau ketemu sama temen Arsy, Bang. Kata Ibu, Bang Aryan harus anterin Arsy, karena Arsy belum terlalu bisa pake motor."
Aryan menatap Arsy. "Kamu belajar motor, Dek?" tanyanya yang diangguki Arsy. "Ya udah deh, Abang anterin kamu. Kamu siap-siap sana, Abang juga mau siap-siap." Lanjutnya menyuruh sang adik keluar.
Setelah melihat Arsy keluar, Aryan mendengkus dan memejamkan matanya. Ya Allah, padahal tadi ia sedang enak tertidur. Tetapi, mau bagaimana lagi? Akhirnya, laki-laki itu kini beranjak dari ranjangnya dan langsung bersiap-siap.
Setelah siap, Aryan langsung keluar kamar. Melihat adiknya yang sudah siap sedang mengobrol dengan sang ibu, Aryan langsung menghampiri mereka. "Ayo, Dek," ajaknya lalu menyalami tangan Mila.
Setelah pamit, Aryan dan Arsy keluar dari rumah. Aryan kini menggunakan motor untuk mengantar adiknya. "Oh iya, Dek, taman yang dimana? Lagian kenapa coba ketemuan di taman?" tanya Aryan saat baru saja menyalakan mesin motor setelah memakai helm.
Arsy yang baru saja duduk langsung menjawab, "Taman yang ada di deket universitas, Bang. Temen Arsy kuliah disana ... mau ketemuan di lain waktu, takut gak sempet nanti. Tau, kan, Arsy juga lagi sibuk."
Aryan terdiam, lagi-lagi ia mengingat Nafi. Tiga hari ini, tepat setelah kejadian di acara tujuh bulanan, Nafi sama sekali tidak meresponnya. Aryan sudah mengajak dan menjelaskan lewat pesan, tetapi Nafi hanya membacanya tanpa menjawab.
"Bang Aryan kok malah diem? Ayo maju atuh keburu telat." Ucapan Arsy langsung membuat Aryan tersadar dari lamunannya. Laki-laki itu menggeleng, lalu, melajukan motornya keluar dari pekarangan rumah.
"Bang, emang perempuan yang mau Abang lamar berapa tahun? Arsy dari kemarin-kemarin mau tanya tapi Abang-nya sibuk kerja terus," tanya Arsy, membuat Aryan yang sedang fokus menatap jalan kini menoleh dan menatap spion.
"Dua puluh satu," jawab Aryan.
"Ohoo, jadi sebenernya tuaan Arsy ya, Bang?" balas Arsy, "kalau gitu, berarti dia masih kuliah dong?"
Aryan mengangguk. "Iya, masih kuliah ... sekarang kita lagi dijalan mau ke kampusnya," jawabnya lagi yang langsung membuat Arsy membulatkan matanya dan tertawa renyah.
"Pantesan tadi Abang diem, ternyata ini. Lagian, Abang, sih! Kata Ibu, kan, Abang jangan becanda terus," kata Arsy. "Oh iya, kalau Abang masih dianggap becanda, ya Abang ke rumahnya aja langsung, datengin orangtuanya, sebenernya harusnya gitu, sih."
Aryan mengangguk, iya juga, ya. Kenapa ia baru kepikiran sekarang?
"Abang kalau nanti nikah, jangan terlalu tegas kayak waktu dulu ke Arsy. Abang Aryan harus bersikap kayak ke Arsy yang sekarang ... tegas tapi lembut, perhatian, baik, ah pokoknya Arsy sukalah! Apalagi, kalau Bang Aryan kasih uang bulanan lebih." Arsy berkata lalu terkekeh pelan.
Mendengar itu, Aryan tersenyum samar. "Iya, Dek."
Tak terasa, mereka kini sudah sampai. Arsy langsung turun dari motor dan membuka helm-nya. Menatap sang Abang lalu tersenyum dan berucap, "Makasih ya, Bang. Bang Aryan mau langsung pulang atau tungguin Arsy?"
Aryan menatap arlojinya. "Abang langsung pulang aja deh, kamu pulangnya naik taksi aja, ya? Atau mau Abang jemput lagi? Kalau mau Abang jemput lagi, kirim pesan aja," balasnya.
Arsy mengangguk. "Iya, Bang."
Aryan tidak merespon lagi, saat memandang sekitar tadi, ia dibuat menyipitkan mata saat melihat Nafi yang sedang berdiri sendiri di gerbang universitas. "Dek, Abang kesana, ya? Pokoknya kalau mau pulang telepon atau kirim pesan ke Abang," katanya, lalu melajukan motornya ke arah Nafi yang ada di seberang. Entah kenapa, rasanya Aryan harus menemui Nafi sekarang setelah perempuan itu menghindar selama tiga hari.
"Fi!" Aryan memanggil saat motornya tepat berhenti di depan tubuh Nafi. Membuat perempuan yang sedang menunduk sembari bermain ponsel itu meneggakan kepalanya. Nafi langsung membulatkan matanya sebentar, kaget melihat Aryan yang tiba-tiba ada didepannya.
"B-bang Aryan ngapain disini? Ngikutin Nafi?" tanya Nafi berani, walau agak gugup dan canggung karena sudah tiga hari ia tidak merespon Aryan sama sekali.
Nafi membaca pesan Aryan, perempuan itu memang menganggap Aryan bergurau. Namun, melihat isi pesan Aryan selama tiga hari ini, Nafi jadi berpikir Aryan serius dengan ucapannya tiga hari lalu. Dan, Nafi juga dibuat bingung harus merespon apa. Ia tidak tahu jika mereka bisa sampai sejauh ini.
Mendengar pertanyaan Nafi, ada sebuah rasa lega yang menyeruak di dada Aryan. Setidaknya, perempuan didepannya ini tidak langsung pergi. "Pede, lo! Orang gue kesini buat anterin adik gue."
"Semenjak kapan Bang Aryan punya adik? Baru tau Nafi," balas Nafi. Rupanya, mereka mengobrol seperti biasa. Ini jauh dari ekspektasi Aryan yang berpikir jika Nafi akan diam atau pergi saat ia menemuinya.
"Semenjak dua puluh tiga tahun lalu, Fi," jawab Aryan. Setelah itu, hening. Mereka kini sama-sama diam, Aryan lihat, Nafi menunduk kembali. Laki-laki itu menghela napas, sepertinya ia harus membicarakan kembali hal yang ia bicarakan tiga hari lalu.
"F-fi, soal kemarin gu--"
"Bang Aryan serius, kan?" Nafi buru-buru memotong dan menatap Aryan sebentar.
"Iya," jawab Aryan.
"Maafin Nafi, Bang. Nafi sempet anggap Bang Aryan becanda. Soalnya, Nafi gak pernah mikir sampai sejauh ini. N-nafi juga bingung, Bang. Nafi harus gimana sekarang? Nafi masih bingung sama perasaan Nafi sendiri," tutur Nafi.
Aryan mengangguk. "Iya, cepet banget, ya, Fi?" kekehnya pelan. "Tapi, gue bener-bener serius, Fi. Gue udah mikirin semua ini selama tiga hari, gue emang nyaman dan kita kayaknya cocok, Fi."
"Soal perasaan, itu nomor kesekian. Sekarang, niat gue baik ke lo. Kita bisa ta'aruf dulu, kan, biar bisa makin kenal satu sama lain." Aryan masih berucap. "Insya Allah, besok gue ke rumah lo, Fi. Nemuin Tante Yulia, mau langsung bilang."
Nafi merasa, matanya panas sekarang. Entah kenapa, mungkin karena pertama kalinya ia mendengar Aryan berbicara seserius ini.
"Fi, lo nangis?" tanya Aryan yang menyadari jika Nafi terus mengusap matanya sembari menunduk.
"Bang Aryan ngomongnya jangan gitu lah, Nafi baperan orangnya!" ujar Nafi, perempuan itu memang paling bisa mencarikan suasana.
Aryan terkekeh. "Biarin, biar gue diterima. Eh, nanti kalau udah nikah kita panggilnya 'aku-kamu' dong, biar lo lebih baper lagi," balasnya tidak jelas.
Nafi menggeleng. "Gak jelas lo, Bang!" katanya, "udah ah sana, Nafi lagi nungguin temen ini, sana-sana!"
"Dih ngusir." Aryan menyipitkan matanya. "Gue benaran serius buat besok, Fi."
"Iya, Nafi tunggu."
"Cie nunggu, pengen banget ya gu--"
"Bang, silakan pergi. Jangan buat Nafi kesel, ya!"
[Bersambung]
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Espiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...