"Kamu ini, Yan. Masih aja manja kayak gini, didepan istri sama adik kamu lagi, gimana sih?" Mendengar itu, Nafi dan Arsy yang sedang mengobrol langsung menoleh menatap Aryan dan Mila. Mereka lihat, Aryan tengah membaringkan tubuhnya di sofa berbantalkan paha sang ibu, dengan Mila yang mengelus surainya dengan lembut, tentu saja Aryan memejamkan mata dengan nyaman.
Aryan menghela napas. "Emang kenapa? Nggak apa-apa lah, Bu. Aryan kayak gini karena Aryan tuh masih kangen sama Ibu, eh Ibu udah mau pulang aja besok pagi," balasnya bergumam.
Malam ini, Nafi, Aryan, Mila serta Arsy sama-sama sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di rumah karena besok pagi, Mila dan Arsy harus kembali ke Yogyakarta. "Ibu sama Arsy kenapa sih pilih tinggal di Jogja?" Entah sudah berapa puluh kali Aryan bertanya seperti itu.
"Bang Aryan, bukannya kita nggak mau tinggal bareng Bang Aryan sama Nafi. Tapi, usaha di Jogja yang baru aja Arsy rintis itu lagi berkembang. Dan Arsy, Arsy nggak mungkin, kan, disana sendiri." Jika biasanya yang menjawab Mila, kini berbeda, karena kali ini ... Arsy yang menjawab. "Lagian Jogja itu tempat masa kecilnya Ibu, Arsy sama Ibu disana nempatin rumah Nenek. Arsy tau Bang Aryan khawatir, tapi mulai sekarang jangan terlalu, ya? Ibu sama Arsy nggak ada masalah disana kok."
Aryan membuka matanya, lalu tersenyum dan menatap Arsy. "Makasih udah jawab, Dek."
Mila menghentikan usapannya di surai Aryan. "Selain apa yang di bilang Arsy nih, ya, Yan. Kamu tuh harus sadar kalau kita tuh kasih kamu kesempatan buat berduaan terus sama Nafi, iya, kan, Naf?" timpalnya lalu menatap Nafi.
Nafi terkekeh. "Eh, kok ke Nafi, Bu?"
Aryan ikut menatap istrinya. "Wah, curiga aku, Fi." Laki-laki itu langsung menyipitkan matanya dan memasang wajah sinis.
Nafi langsung menaikan alisnya. "Curiga apa?" balasnya.
Mila dan Arsy saling pandang, Aryan dan Nafi yang sesungguhnya sepertinya aka--
"Nggak jadi, ah." Aryan kembali meluruskan kepalanya menatap langit-langit. Membuat Arsy yang melihat itu langsung mendesah kecewa.
"Yha, kok nggak jadi, sih?" tanya Arsy.
Nafi yang masih terdiam ikut menghela napas. "Abang kamu udah capek kalah, Sy," balasnya bergurau. Tentu saja bukan Aryan namanya jika ia diam, karena belum satu menit laki-laki itu menatap langit-langit rumah, kini ia kembali menatap istrinya.
"Bukan, sayang. Aku tuh bukan capek kalah, tapi mengalah," katanya, "Iya, kan, Bu?" Lanjutnya meminta persetujuan Mila.
"Tuh, itu ciri-ciri orang nggak mau kalah." Seperti yang kalian tahu, jika sudah seperti ini, keduanya sama-sama tidak tinggal diam. Seakan lupa pada Mila dan Arsy, Aryan dan Nafi terus melanjutkannya hingga--
"Seneng Ibu liat kalian, bilangnya nggak pernah berantem ... lha ini yang Ibu liat apa? Mana yang di berantemin hal sepele," ucap Mila saat Aryan baru akan membalas ucapan Nafi.
"Mereka tuh nggak berantem, Bu. Ini tuh cara mereka buat mempererat hubungan. Iya, kan, Bang?" Arsy tertawa renyah lalu menyenggol bahu Nafi yang ada di sampingnya. "Bang Aryan kayaknya nggak kayak tahun-tahun lalu, mikirin kerjaan terus, kalau marah juga nggak kontrol. Tapi nih, ya, setelah Arsy liat-liat, kayaknya hal itu ampir ilang deh dari Bang Aryan setelah Bang Aryan nikah. Ibu sadar nggak?"
Mila mengangguk. "Ibu udah bilang sama Nafi, Sy. Menantu Ibu yang satu ini bisa banget buat Abang kamu yang keras berubah jadi--"
"Makin nyebelin." Potong Nafi cepat, membuat semuanya tergelak, kecuali Aryan.
"Apa? Aryan tuh nggak selalu nyebelin." Aryan tidak terima. "Nih, ya, Bu. Masa Aryan bilang sayang ke menantu Ibu, terus Aryan di bilang nyebelin? Itu, kan, romantis ya, Bu?" Aryan menatap Mila.
"Orang setelah itu, Bang Aryan godain Nafi abis-abisan dan nggak mau berhenti. Itu, kan, emang nyebelin, Bang," balas Nafi. "Coba deh, Sy. Kalau kamu digituin, pasti kesel, kan?"
Arsy yang sedang ingin membela kakak iparnya, mengangguk. "Iya, Fi. Bang Aryan emang nyebelin banget."
"Lha? Siapa yang tiap dipanggil gitu pipinya merah-merah? Sebenernya yang kasih celah aku buat goda kamu ya diri kamu sendiri," balas Aryan lagi. "Aku kan ambil kesempatan aja." Lalu, ia tertawa.
Mila menggeleng. "Bener-bener aneh kalian tuh," katanya mengelus kening Aryan. "Inget, kalian harus terus kayak gini, ya, Yan, Fi? Bahagia rasanya, Ibu liat kalian sekarang. Nih, Yan. Kamu emang nggak pernah marah sama Nafi, Ibu kasih kamu pesan, jangan sampe amarah kamu meledak. Ibu tau kamu laki-laki yang kasar kalau marah, tapi inget, sebagai suami kamu di tuntut lembut ke istri kamu."
Aryan mengangguk. "Iya, Bu."
"Ini pertama kalinya Arsy liat orang cekcok secara langsung, tapi liatnya adem sama mau ngakak." Arsy menimpal lagi.
"Nah, sekarang kamu, Sy ... udah ada calon belum?" Nafi menyindir, membuat Mila yang mendengarnya langsung terkekeh.
"Fi, aku udah belain kamu lho tadi. Kok malah nanya gitu, sih?" keluh Arsy mengguncang tubuh Nafi.
Mila berhenti terkekeh. "Itu lho, Sy. Laki-laki yang pake kaca mata, yang kamu bilang Kakak tingkat kamu waktu kuliah, sopan lho sama Ibu, kayaknya ju--"
"Pokoknya kalau ada yang deketin kamu, Sy. Suruh laki-laki itu menghadap Abang," potong Aryan. "Namanya siapa, Bu? Beneran sopan? Baik nggak?"
Mila memukul lengan Aryan. "Kamu ini, Yan. Ibu lagi ngomong malah dipotong," katanya, "Namanya tuh siapa, ya? Ri-ri---"
"Mas Ringga, Bu." Arsy memberi tahu.
"Nah, Ringga. Dia tuh yang bantuin Ibu sama Arsy urus ini itu di Jogja, Ibu udah bilang, kan, kalau Ibu dibantuin temennya Arsy, ke kamu? Nah, itu orangnya." Mila tersenyum. "Apalagi dia masih sendiri, Sy. Kalau kamu--"
"Ibu kok jadi bahas Mas Ringga, sih? Orang Mas Ringga cuma teman Arsy, kok. Kakak tingkat Arsy doang." Arsy lagi-lagi memotong, lalu perempuan itu menatap kakak iparnya. "Kamu sih, Fi."
Nafi terkekeh. "Jadi, yang kamu ceritain ke Nafi, itu orangnya?" tanyanya menatap Arsy. "Bang Aryan udah bilang tuh, kalau Mas Ringga Mas Ringga itu mau serius, datengin Bang Aryan langsung."
"Kamu cerita soal Ringga ke Nafi, kok nggak ke Ibu sih, Sy?" Mila menatap Arsy.
"Y-ya I-ibu, kan--" Arsy berkata terbata dan menggantung ucapannya. "Aduhh! Arsy kebelet, ke kamar mandi dulu, ya!" Bukannya melanjutkan perkataannya, perempuan itu malah berdiri dari duduknya dan melangkah cepat keluar dari ruang tengah.
Mila dan Nafi tertawa renyah. "Adik kamu, Yan." Mila menggeleng.
Aryan menatap istri dan ibunya bergantian. "Aryan pengen terus kayak gini, Bu. Rasanya nggak mau lagi jauh sama Ibu dan Arsy," katanya lalu memeluk perut Mila dengan mudah, karena posisinya masih sama; berbaring dengan paha Mila menjadi bantalnya.
"Ibu sama Arsy pasti bakal sering pulang kesini, Ibu juga tunggu kamu sama Nafi ke Jogja lagi setelah Nafi lulus." Mila membalas tatapan putranya. "Eh, iya."
"Apa, Bu?"
"Semoga nanti pas Ibu pulang lagi, di rumah ini nggak cuma kamu sama Nafi, Yan."
Aryan langsung menatap Nafi dan menaikan-naikan alisnya. "Fi, semoga kamu peka!"
[Bersambung]
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Espiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...