26 || Telepon

8.9K 1.5K 54
                                    

"Anak gue jangan lo apa-apain, ya, Yan."

Aryan yang baru saja mengambil Daniyal dari gendongan Abian mengangguk. "Seriusan nih karena Hana sakit, lo titipin Daniyal ke gue sama Nafi?" tanyanya, "nggak karena lo mau berduaan, kan?" Lanjutnya menatap menyelidik.

Abian menggeleng. "Gila, lo! Masa gue bilang istri gue sakit itu bohong? Mama nggak ada, jadi nggak ada yang bisa gue titipin Daniyal, sedang gue, kan, harus jaga Hana. Sekarang aja gue tinggal istri gue sendiri."

Aryan menyingkirkan tangan Daniyal yang terus menarik-narik pipi dan hidungnya. "Ya udah, Daniyal sama gue aja selama Hana sakit. Kalau lo mau pulang, nggak apa-apa, kasian Hana," katanya pada Abian.

Abian tersenyum. "Nah gitu, jadi temen dan sepupu yang bisa diandalkan! Perlengkapan Daniyal ada di tas coklat tadi, ya?" katanya, "oh iya, istri lo kemana?"

"Nafi lagi tidur siang, tadi malem dia bergadang buat kerjain revisian," jawab Aryan.

Abian mengangguk, lalu berdiri untuk pamit. "Pokoknya titip anak gue ya, Yan. Tolong banget," katanya, "gue pulang, ya? Kasian Hana kalau di tinggal lama-lama, gue juga kayaknya mau bawa dia ke rumah sakit."

Aryan mengangguk, lalu mengantarkan Abian hingga pintu. Melihat temannya itu berjalan masuk ke dalam mobil sembari menggendong Daniyal, lalu kembali masuk saat mobil Abian pergi jauh. "Hari ini, kita seneng-seneng, ya, Yal?" Ia mengangkat Daniyal, lalu menggelitiki perut bayi laki-laki berusia delapan bulan itu dengan wajahnya.

Daniyal hanya mengoceh lucu, membuat Aryan semakin gemas dan memeluknya dengan cepat. Aryan melihat jam di dinding, rupanya sudah jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dan Nafi sudah tertidur cukup lama. Jadi, Aryan memilih mengajak Daniyal naik menuju kamarnya untuk membangunkan istrinya itu.

Aryan membuka pintu dengan pelan, tersenyum saat melihat istrinya itu pulas tertidur. Bukan tega atau apa, tetapi Aryan tahu, jika Nafi tidur siang terlalu lama, perempuan itu tidak akan bisa tidur nanti malam. Melangkah mendekati ranjang, lalu menurunkan Daniyal setelah berbisik, "Bangunin Onty kamu."

Daniyal yang baru saja diturunkan, langsung mengoceh semangat, merangkak mendekati Nafi lalu menepuk-nepuk pelan pipi perempuan itu dengan semangat. Bukannya menghentikan, Aryan malah terkekeh kecil melihatnya. "Bagus, Daniyal. Onty kamu pasti bangun kalau gitu," katanya.

Merasa terganggu, Nafi membuka matanya. Tadinya ia ingin marah, karena ia kira yang menepuk-nepuk pipinya adalah sang suami. Namun, saat melihat bayi kecil saat ia membuka mata, Nafi merekahkan senyumannya. Perempuan itu langsung membawa Daniyal kepelukannya. "Daniyal kok ada disini, hm? Aduh, kangen banget Onty, hampir dua minggu nggak ketemu kamu," gumamnya dengan suara parau tanpa melihat jika Aryan juga ada disana.

"Hana sakit, Tante Wina juga nggak ada. Jadi, Bian titipin Daniyal ke kita, Fi. Nggak apa-apa, kan?" Aryan ikut mendudukan dirinya di tepi ranjang. Membenarkan posisi Daniyal menjadi duduk dan menatap Nafi. "Kamu juga bangun, Fi. Nanti malem nggak bisa tidur lho kalau kelaman tidur siang."

Nafi ikut mendudukan dirinya dan membalas tatapan Aryan. "Jadi, Daniyal sama Onty? Nggak apa-apa banget, dong." Nafi kembali menggendong Daniyal dan mencium pipi gembul bayi laki-laki itu. Lalu, ia menatap jam di dinding. "Daniyal baru kesini, Bang?" tanyanya pada Aryan.

Aryan mengangguk. "Iya."

Nafi beranjak dari ranjang, memberikan Daniyal pada Aryan lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Ia keluar dengan wajah yang segar. "Sini, Bang." Nafi kembali meminta Daniyal, menggendong bayi laki-laki itu dan berucap, "Main sama Onty, yuk? Kita keluar." Dan melangkah keluar kamar, mengajak Daniyal menuju ruang tengah.

Melihat itu, Aryan mengikutinya. Mengambil tas yang Abian berikan di ruang tamu, dan memberikannya pada Nafi sembari berucap, "Ini perlengkapan Daniyal, kata Bian semuanya ada disini."

Nafi mengangguk lalu tersenyum. "Makasih, Abang," katanya lalu mengambil tas tersebut. Melihat Daniyal yang duduk sembari menekuk lutut, Nafi semakin merekahkan senyumannya. "Kamu udah makin gede ya, Yal. Seneng Onty liatnya," katanya lalu mengeluarkan beberapa mainan milik Daniyal dari tas yang diberikan Aryan tadi.

Aryan tersenyum, ikut mendudukan dirinya di karpet bersama Nafi dan Daniyal. "Udah delapan bulan dia, belajar berdiri sendiri tuh ... bentar lagi, rumah Tante Wina dia buat kayak kapal pecah," ucapnya sembari terkekeh.

Nafi memegang kedua tangan Daniyal, membantu bayi itu berdiri dan membalas, "Hana pasti seneng banget nih punya Daniyal, lucu banget, rasanya pengen Nafi sekap disini biar nggak pulang lagi." Sembari terkekeh.

"Buat apa? Kita bisa punya yang lebih lucu," balas Aryan mengelus pipi Daniyal. "Iya, nggak?" Lanjutnya menatap Nafi, lalu megedipkan sebelah matanya.

Nafi tertawa renyah. "Bang Aryan mau anak laki-laki atau perempuan?" tanyanya.

Aryan tersenyum. "Dua-duanya, Fi," jawabnya.

Nafi menghela napas. "Sabar ya, Bang. Allah belum kasih amanah buat kita," cicitnya.

Aryan melingkarkan tangannya di pinggang Nafi. "Allah tau yang terbaik buat kita, mungkin Allah belum kasih kita amanah karena kita masih sama-sama kayak gini. Kamu juga masih sibuk sana skripsi, itu bukan masalah. Kita berduaan dulu aja, Fi. Biar makin cinta," balasnya berbisik.

"Suami Nafi ini emang terbaik, nggak ngerti lagi Nafi," katanya, lalu kembali fokus memperhatikan Daniyal yang kini sudah anteng dengan mainannya.

"Daniyal, Onty punya kue lho ... Daniyal mau Onty bawain kue?" tawar Nafi. Lalu, ia menatap Aryan dan berucap, "Bang, titip ya. Nafi mau ambil camilan buat Daniyal."

Nafi berdiri, dan melangkah menuju dapur. Perempuan itu langsung mengambil kue yang ia simpan di lemari es, mengambil beberapa buah, juga menyiapkan teh untuk Aryan. Bisa ia dengar, Aryan mengajak Daniyal mengobrol, walaupun bayi kecil itu tidak mengerti dan membalas dengan racauan tak jelas, itu membuat Nafi tersenyum.

Tidak lama Nafi di dapur, karena kini ia keluar dengan baki di tangannya. Perempuan itu menyimpannya di meja dan kembali bergabung.

Baru saja ia duduk. Nafi dan Aryan dibuat menoleh saat mendengar ponsel milik Aryan berbunyi. Aryan langsung beranjak, mengambil ponsel yang ia simpan di nakas dan mengerutkan kening saat melihat siapa yang menelepon.

"Siapa, Bang?" tanya Nafi.

Aryan menggeleng. "Nomor nggak dikenal," jawabnya, lalu dengan cepat menerima telepon tersebut.

"Hallo?" Aryan menempelkan ponselnya di telinga.

"Hallo, Assalamualaikum Bang. Maaf, ini dengan Bang Aryan, kan?" Terdengar suara laki-laki dibalik sana.

"Waalaikumsalam, iya saya. Ini siapa, ya?" Aryan masih terlihat bingung.

"Saya Ringga, Bang."

[Bersambung]

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

Kisah Kita ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang