"Papa, bangunnnnnnnn!" Nafi terkekeh, membiarkan Hulya yang kini berusia empat tahun membangunkan Aryan yang sudah tidur siang selama hampir satu jam. Dan ya, seperti yang kalian tahu bagaimana jika Aryan tidur. Sepertinya, Hulya sudah mulai kesal karena sang papa tidak kunjung membuka mata.
Hulya menatap Nafi, lalu gadis kecil itu berdiri dan meminta Nafi menggendongnya dengan merentangkan tangan. Nafi mengangguk, menggendong Hulya lalu merasakan sang putri yang langsung membenamkan wajah di lehernya. Satu detik kemudian, Hulya menangis.
Nafi sudah mengira ini terjadi, Hulya memang agak cengeng dan ia kini merasa kesal karena sang papa tidak kunjung bangun. Ya, jika merasa kesal, Hulya akan menangis seperti sekarang.
"Bang, ih! Liat anak kamu nangis lagi nih gara-gara kamu nggak bangun," ucap Nafi, mengguncang tubuh Aryan. Tak lama, Aryan langsung membuka matanya sembari terkekeh.
"Papa udah bangun dari tadi lho," ucap Aryan lalu mendudukan diri. Saat menatap Nafi, Aryan di hadiahi tatapan tajam istrinya itu, dengan tangisan Hulya yang mulai mereda, tetapi masih membenamkan wajahnya di leher sang ibu.
Nafi masih menatap tajam. "Jail, kebiasaan!" Perempuan itu melemparkan dua bantal pada Aryan. Ikut merasa kesal juga karena suaminya itu sering kali menjahili putri mereka.
Aryan beranjak dari ranjang, mendekati Nafi lalu mengusap kepala putrinya lembut sembari berbisik, "Putri Papa nangis karena kesel, hm? Papa udah bangun kok sayang." Lalu membawanya dari gendongan Nafi. "Hmm, udah berat gini masih aja minta di gendong Ibu kamu." Lanjutnya yang langsung membuat Hulya menggeliat tidak suka.
"Jangan gitu lha, Bang. Tau anaknya cengeng, masih aja sering di jailin," ucap Nafi lalu menggeleng. "Bujuk tuh, Nafi nggak mau, ya, liat Hulya nangis lagi gara-gara Bang Aryan jailin." Lanjutnya lalu keluar kamar, mengingat ia tadi sedang mencuci piring sebelum Hulya berlari ke kamar.
Aryan tersenyum, mendudukan putrinya di ranjang lalu ia berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya. "Kesel sama Papa, ya?" tanyanya lalu menggenggam tangan Hulya. "Papa minta maaf, oke?"
Hulya menatap Aryan dengan matanya yang masih berkaca-kaca, Aryan tersenyum, buru-buru mengusap mata dan pipi putrinya sembari berucap, "Jangan nangis lagi dong, sayang. Hulya mau apa bangunin Papa tadi?"
"Uya mau ajak Papa main," cicit Hulya, lalu segera memeluk Aryan yang kembali membuat Aryan terkekeh.
Aryan mengangguk. "Ya udah, kamu keluar dulu sana, Papa mau cuci muka sebentar, nanti nyusul," katanya lalu melepaskan pelukan Hulya.
Hulya langsung tersenyum senang, mengecup pipi Aryan sebentar lalu melangkah semangat keluar kamar. Aryan tersenyum, putrinya itu memang sangat menggemaskan.
Selesai mencuci mukanya, Aryan keluar kamar. Saat berada di ruang tengah, laki-laki itu melihat Hulya yang terlihat malah memasukan mainan-mainannya ke dalam box. "Lho? Kok malah kamu masuk-masukin sih, Dek?" tanyanya lalu mendudukan dirinya di karpet dekat Hulya.
Hulya menggeleng. "Ibu nanti marah," jawab Hulya yang langsung membuat Aryan tertawa renyah.
"Kalau Ibu marah emang kenapa?" tanya Aryan.
"Nanti Uya nangis." Hulya yang masih memasuk-masukan mainannya menjawab Aryan lagi.
Aryan terkekeh, laki-laki itu mengelus surai putrinya. "Pinter ih cantiknya Papa," katanya, "kalau mainannya di beresin gini? Hulya mau ajak Papa main dimana?"
"Bunga, Pa!" Hulya menatap Aryan lalu tersenyum. "Kata Ibu bunga."
Aryan mengangguk, yang di maksud bunga oleh Hulya adalah taman kecil di belakang rumah mereka. Satu tahun belakangan ini, Nafi dan Hulya memang suka menata lahan kosong di belakang rumah, keduanya kini menjadikan lahan kosong tersebut menjadi taman bunga untuk Hulya bermain.
"Mumpung nggak panas, Bang." Aryan menoleh, melihat Nafi yang sudah duduk di sebelahnya. "Nafi mau beres-beres soalnya, belum sempet nyapu sama ngepel hari ini."
Aryan mengangguk. "Iya, aku ajak Hulya kesana," ucapnya, lalu melihat Hulya yang sudah selesai memasuk-masukan mainannya. "Udah selesai, kan? Yuk ke belakang." Setelah itu, Aryan mengikuti putrinya.
Aryan mengajak Hulya duduk di kursi kayu yang ada di sana. Laki-laki itu lalu menatap Hulya dan bertanya, "Jadi, Hulya mau main apa?" tanyanya, "jangan main tanah ya, sayang. Kasian Ibu kamu nanti nyucinya susah, apalagi baju kamu warna cerah kayak gini."
Hulya menggeleng. "Kata Ibu, Papa mau cerita," ucap gadis kecil itu lalu tersenyum.
Entah kenapa, melihat Hulya tersenyum Aryan juga refleks ikut tersenyum. Laki-laki itu langsung menepuk pahanya, meminta Hulya agar duduk di pangkuannya dan berucap, "Kayaknya Papa udah lama nggak cerita sama Hulya, Hulya mau Papa ceritain sesuatu? Mau Papa ceritain kisah nabi-nabi lagi?"
Hulya bersorak senang, dengan antusias, ia segera duduk di pangkuan sang papa, menatap Aryan lalu mengangguk. "Iya, Pa!"
Aryan tersenyum, laki-laki itu mengelus surai sang putri dan mulai bercerita.
Di sisi lain, Nafi yang baru saja selesai membereskan rumah kini melangkah menuju taman belakang, perempuan itu melihat Aryan dan Hulya yang sedang duduk, lalu tersenyum saat tahu jika Aryan sedang bercerita pada sang putri.
Perempuan itu cukup lama memperhatikan keduanya, sesekali terkekeh saat melihat Aryan yang masih sempat jahil pada Hulya saat sedang bercerita, membuat putrinya itu merengek.
Saat Aryan selesai bercerita, Nafi melangkah menghampiri suami dan putrinya, perempuan itu mendudukan dirinya di samping Aryan yang masih menggendong Hulya lalu menghela napas dan menatap Hulya. "Papa kamu nyebelin ya, Hulya?"
Hulya langsung membalas tatapan Nafi, gadis itu lalu menggeleng. "Papa sayang Uya, Bu," katanya yang membuat Aryan terkekeh.
Nafi menghela napas, lalu tersenyum. "Ya udah iya, Ibu juga sayang Papa," katanya lalu memeluk Aryan dari samping, yang langsung mendapat tatapan tak suka dari Hulya.
Hulya menggeleng. "Ibu peluk Uya!" ucapnya mencoba melepaskan tangan Nafi yang memeluk Aryan.
"Enggak apa-apa dong, Ibu peluk Papa aja." Aryan membalas pelukan Nafi dengan satu tangannya. Laki-laki itu terlihat tidak bisa menahan tawanya dan bebisik, "Kalau nangis, bukan salah aku aja lho, ya." Pada Nafi.
Hulya memeluk Aryan erat, lalu menggeleng dan menatap Nafi dengan mata bulatnya yang terlihat menggemaskan. Nafi menyerah, perempuan itu segera melepaskan pelukannya dan menghela napas. "Ibu sayang Hulya aja deh," katanya lalu mengelus punggung Hulya.
Aryan menggeleng melihatnya. "Kalau Papa, sayang Ibu." Laki-laki itu kini merangkul Nafi.
"Papa juga sayang Uya!" Hulya melepaskan pelukannya dan melihat Aryan. Wajah gadis itu kembali terlihat ceria, sebelum Aryan menggeleng untuk kembali menjahilinya.
"Nggak ah, Papa sayang Ibu aja." Aryan terkekeh.
"Bohong, Papa sayang kita kok." Nafi tersenyum, mencubit tangan Aryan pelan karena suaminya itu akan membuat Hulya kembali menangis. "Papa sayang Hulya, Ibu juga."
Hulya langsung turun dari gendongan Aryan. "Paaaaa!"
__
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡Semoga suka sama part ini^^
Gimana, masih mau lanjut atau udah aja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita ✓
Spiritual[Selesai] Kisah Nafi si gadis ceria dan Aryan laki-laki yang tegas tetapi menyebalkan. Nafi adalah sepupu dari sahabat Aryan, jadi mereka selalu saja bertemu. "Kenyataannya, Bang Aryan emang gak ada yang mau, kan?" "Lo aja jomblo, kan? Sok-s...