30 - Mereka Yang Terluka

255 38 6
                                    

Happy Reading!!!
__________________

Banyak yang peduli, hanya terkadang manusia menginginkan lebih padahal beberapa dari mereka kekurangan

***

Apa yang kalian pikirkan tentang rumah mewah? Anak satu-satu, bergelimang harta, pintar, memiliki banyak teman? Bahagia kah? Atau malah sebaliknya?

Sinta memiliki semuanya, harta, rumah mewah, pintar mempunyai banyak teman tetapi, walaupun dia anak satu-satunya bukan berarti hidup Sinta bermanja-manja saja.

Sinta mengendap-endap keluar rumah. Ia melihat ke seluruh penjuru rumahnya berharap tidak ada orang, ia memegang erat tali tasnya.

Sinta berlari kecil menuju pintu utama, "mau kemana kamu?" tubuh Sinta sontak menegang. Ia menutup matanya sejenak guna menetralkan detak jantungnya. Tubuhnya mulai bergetar.

Sinta berbalik dan menemukan ayahnya dengan tatapan datar. Sinta menunduk ketakutan.

"A-aku mau ketemu teman yah," ucapnya terbata-bata.

"Belajar?" tanya ayahnya—Sam Martin.

"Nggak," jujurnya.

"Masuk kamar," Sinta menghela napas kasar.

Ia mendongak menatap sang Ayah, "yah, Sinta cuman mau main sejenak," ucapnya.

"Ayah bilang masuk kamar dan belajar," Sinta membulatkan matanya.

"Yah, sekarang sudah jam sembilan."

"Sinta pengen refreshing sejenak yah. Sinta capek harus belajar terus-menerus seperti robot," mata Sinta mulai berkaca-kaca.

"Jangan buat ayah malu lagi. Tidak cukup kamu membuat ayah malu dengan masalah kamu itu, Hah!!"

Sinta sontak menunduk mendengar bentakan Sam, "jangan sampai ayah mendengar kelakuan buruk kamu lagi atau ayah tidak akan menganggap kamu anak ayah," ucap Sam lalu masuk ke dalam

Yah. Seperti itu bagian dari hidup Sinta. Bagaikan robot yang terus di paksa kerja tanpa tahu jika robot itu suatu saat akan rusak.

Sinta menjadi antagonis juga bukan tanpa alasan, gadis itu butuh perhatian. Jika ia tak mendapatkan perhatian di rumah maka ia harus mendapatkan perhatian di sekolah.

Sinta menarik kakinya masuk kembali kedalam kamar. Segera ia duduk di kursi belajarnya sebelum sang ayah datang untuk memarahinya lagi.

Tok tok

Ia segera menghapus air matanya lalu membuka layar laptopnya dan juga beberapa buku tebal di atas meja. Tak lama setelah ketukan itu Indy—ibu Selena masuk dengan napan di tangannya.

"Sinta sudah minum obat?" tanya Indy meletakkan segelas air minum dan beberapa obat-obatan di atas meja.

Satu lagi yang tidak pernah Sinta ceritakan. Gadis itu depresi sehingga harus ke psikiater beberapa kali hingga gadis itu di sarankan untuk mengonsumsi obat.

Segera Sinta teguk airnya setelah dua pil obat ia telan sekaligus. Dengan tangan bergetar dan mata yang memerah Sinta membolak-balikkan bukunya.

Indy menggenggam tangan Sinta, "belajar yang rajin yah," ucap wanita itu lalu keluar dari kamar Sinta, meninggalkan gadis itu sendirian.

"Are u okey, Sinta?" tanyanya pada diri sendiri karena tidak ada yang mau menanyakan hal itu padanya.

Pengen rasanya Sinta memberontak, tapi apa yang bisa ia lakukan selain menurut saja seperti robot?

RAPUH [TAMAT dan SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang