⚔⚔⚔
H u j a n.
Musim penggugur Elhana kian indah dibawah guyuran hujan kala itu. Langit kehitaman bergantung awan berat siap mengguyur mahluknya dengan rintik air sejuk yang mengundang perasaan sendu.
Hujan selalu identik dengan perasaan sendu? Mengapa seperti itu? Mungkin salah satu penikmat sendu tersebut bukanlah Ivona. Sebab, dikala malam berhujan ini, ia malah tersenyum sumringah, membawa riang tubuhnya menelusuri lorong Istana. Lampu penerangan sudah menyala, tuts alunan piano yang sedang dimainkan para orkestra Istana mengalun indah mengiringi langkahnya yang ringan.
"Tuhan tau gue butuh petunjuk. Sekarang gue yakin, ini petunjuknya."
Surai kecoklatannya bergerak seiring tubuhnya yang mempercepat langkah. Lantunan tuts piano bagai musik latar yang menjadi saksi berdebarnya jantung Ivona. Dua hari semenjak pertemuannya dengan Hendery, tanpa disangka ternyata ada seseorang yang ia butuh menghubungi Ivona setengah jam yang lalu.
Salam, Nona.
Aku Annelize, seorang kepala pelayan di dapur Istana. Kudengar kau butuh seorang penerjemah bukan? Aku sanggup nona dan aku tertarik akan penawaranmu, bagaimana jika kita bertemu di danau Istana dekat ruang orkestra?
Aku menunggumu.-Annelize Patricia.
Begitu surat lusuh itu datang, Ivona tanpa ragu membalasnya dengan banyak ucapan terimakasih lalu menyetujui acara pertemuan mereka di malam petang yang sunyi ini.
Menyeret langkah kakinya ke padang rumput setinggi mata kaki, Ivona mengeratkan tudung serta mantel tipisnya. Udara khas musim gugur memanglah dingin, ditambah lagi dengan gerimis hujan yang tak mau reda barang sedikitpun. Sesungguhnya atmosfer ini sangat indah. Malam hari ditemani hujan serta lantunan piano bermusik romantis yang terus mengalun sedari tadi. Begitupun wangi bunga citrus menguar menemani aroma tanah basah yang khas.
"Nona Annelize? Halo? Saya Ivona Delmarine sudah datang."
Gadis itu berdiri di pinggir, sedikit takut melangkah lebih jauh karena diseberang sana sudah terdapat hamparan danau dengan semak belukar yang berdiri disampingnya.
Lantunan musik piano bukan lagi memainkan percikan romansa. Kali ini entah mengapa, suara pianonya terkesan lebih suram dan gelap. Nadanya terkesan seret menyeret dengan tone yang sedikit menimbulkan perasaan tidak tenang.
"Orkestra monyet! Baru aja gue seneng ada lagu romantis, sekarang udah ganti aja jadi genre horror, sialan." Dumel Ivona menggosok lengannya yang dingin.
"Annelize! Ini aku Ivona!" Kali ini nada suara gadis itu naik menjadi 1 oktaf. Sialan. Apa perempuan itu sengaja membuatnya menunggu? Ah, tidak boleh mengeluh. Jika kita perlu, kita harus menunggu.
Gemerisik daun juga rumput mengadu suara yang meresahkan hati. Angin berhembus kencang, pohon-pohon tinggi di seberang danau menari bak penyihir hitam, suasana mencekam tanpa sebab tak henti-hentinya memasuki relung gadis itu.
Orkestra baru saja memulai lagu baru ketika batang hidung Annelize tak juga kunjung menampakkan diri.
Hati Ivona mulai merasa was-was tatkala suara tapakan kaki memasuki pendengaran. Gadis itu memeluk tubuhnya kaku. Tak berani sedikitpun mendongak atau melirik. Kakinya bergemetar hebat saat ia melihat siluet bayangan tinggi di belakang tubuhnya.
"A—Annelize, kau kah itu?" Getar pita suara Ivona membuatnya kian tak berani menoleh.
Benar saja, dalam hitungan menit, sebuah belati kecil melingkar di leher Ivona. Aroma khas wine memasuki penciuman Ivona. Yang benar saja, Annelize berusaha main-main dengannya.
"Kau sudah berani membohongiku wanita sialan, kau—"
"Kau tidak takut rupanya."
Pasokan udara di dalam paru paru gadis itu menipis ketika mendengar lantunan nada asing tepat di samping kiri telinganya. Aroma pekat milik orang itu mengganggu harumnya bunga citrus. Aura asing kini mencoba mendominasi dirinya.
"Annelize lo waria? Kenapa suara lo kayak cowok, anjir." Gumam gadis itu masih sempat memikirkan Annelize, padahal sudah jelas seseorang dibelakangnya bukanlah gadis itu.
Leher Ivona mendongak keatas tatkala ujung belati sudah menempel di kulit putihnya. Satu saja gerakan cepat, maka sudah dipastikan gadis itu akan mati.
"Annelize tidak pernah ada, dia tidak akan pernah datang." Suara itu mengudara lagi.
"S—siapa kau?! Lepaskan aku sekarang juga! Dasar lemah, kau hanya bisa melawan wanita!" Geram Ivona mencengkram sekuat tenaga mantel tipisnya.
"Siapa aku?" Kekeh pria itu rendah, hembusan nafasnya mencipta gelenyar aneh di telinga Ivona, "Kau akan segera tau."
Belati yang tadinya berada di perpotongan leher Ivona dibuang begitu saja. Ivona merasa sedikit lega sebelum pria asing itu membalikkan tubuhnya jadi menghadap menuju wajah misteriusnya.
"Kau?!"
Tundung yang menutupi dahi dan matanya perlahan terangkat. Surai hitam legam pria itu memantul cahaya bulan, mencipta kilau indah tiada banding. Kedua alis tebal bertautnya terpasang apik di wajah datar pemuda itu. Kemudian satu sunggingan senyum angkuh kontan membuat debar jantung Ivona semakin ingin meloncat.
"Pangeran Xiaodejun?! Apa yang sudah anda lakukan?!"
Mengabaikan berontakan brutal gadis itu, Xiaodejun tetap tenang memegang pergelangan tangan Ivona.
"Hanzel." Panggilnya serak. Kemudian salah seorang pria berkepala tiga dengan dua prajurit bersenjata lengkap, datang menuju kearahnya, "Bawa perempuan ini ke ruangan ku, jangan sampai kabur."
Hanzel mengangguk, lalu mengisyaratkan kedua prajurit tadi untuk memegang kedua tangan Ivona yang masih memberontak.
"Lepaskan aku sialan! Pangeran Xiaodejun, berani-beraninya kau menyanderaku seperti ini!"
Hanzel menatap tampang datar Tuannya yang terkesan biasa-biasa saja saat pelayan itu mengumpatinya.
"Bawa dia dan obati luka ditangannya."
Xiaodejun berlalu tanpa sedikitpun menoleh kearah Ivona. Sampai membuat Hanzel mengernyit aneh soal perintah Tuannya barusan.
Sungguh mustahil rasanya iblis seperti Xiaodejun berlaku baik pada seseorang.
____________________
A/n
Sebenarnya ini satu part sama part selanjutnya, tapi kalau digabung jdi kebanyakan:(
Jdi segitu aja dulu. Hope you enjoy it💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Wonderland✔︎
Fanfic[ "𝑇ℎ𝑒𝑟𝑒'𝑠 𝑛𝑜 ℎ𝑎𝑝𝑝𝑦 𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑜𝑟 𝑢𝑠. 𝐵𝑢𝑡 ℎ𝑒𝑟𝑒, 𝑎𝑡 𝑙𝑒𝑎𝑠𝑡 𝑤𝑒 ℎ𝑎𝑣𝑒 𝑜𝑛𝑒, 𝑐𝑎𝑛 𝑤𝑒?" ] Setidaknya ada 1 dari 100 orang yang percaya bahwa dunia dua dimensi itu ada. Dari sekian banyaknya manusia yang tidak perc...