Hari ini sangatlah cerah. Secerah hati gadis yang mengendarai motor yang di beri nama Satria. Di sepanjang perjalan, mulut gadis itu tak henti komat-kamit bersenandung ria.
Sesekali matanya terpejam sejenak menghirup udara ketika melewati jalanan yang di hiasi pepohonan rindang. Harum aroma teraphi masuk kedalam indra penciumannya, sangat menenangkan.
Jalanan aspal yang masih basah di tambah tidak padatnya pengendara sangat memanjakan mata belonya. Setelah satu jam yang lalu hujan reda, kini matahari pun masih malu-malu tertutup awan putih kehitaman.
Jam tujuh kurang lima belas menit tak mampu membuat gadis itu terburu, ia masih ingin berlama-lama menikmati suasana jalan sepi pengendara yang sangat jarang ia jumpai.
Matanya menyipit kala tak sengaja menangkap punggung seseorang yang sangat ia kenali, bisa di bilang sangat hapal.
Laki-laki dengan setelan kemeja batik warna abu serta celana bahan dan tak lupa peci yang tak pernah tinggal menutupi rambut hitamnya. Dialah ustad Agam Maulana guru ngaji sekaligus wali kelasnya, pujaan hatinya tengah berdiri di depan mobil dengan bagian depan yang terbuka.
Gadis itu memutuskan untuk menepikan Satria dan menghampiri ustad Agam. Cita meninggalkan Satria dengan jarak satu meter dari Agam.
"Kenapa Ustad?" tanya dengan helm yang masih setia melindungi kepala.
Ustad Agam-pun noleh. "Mobil saya mogok."
"Butuh bantuan?" tawar Cita.
"Gak usah."
Agam kembali mengotak-atik mesin mobil tuanya. Sedangkan Cita diam di tempat serta melipat kedua tangan di depan dada memperhatikan Agam seksama. "Makin cakep di lihat dari samping," batin Cita sembari senyum, sesekali satu tangannya ia taruh di bawah dagu.
Sepuluh menit sudah Cita memperhatikan Agam secara detail dan sepuluh menit pula Agam masih berkutat dengan mesin-mesin kotor itu tanpa mengetahui letak rusaknya mobil di mana. "Masih gak butuh bantuan, Tadz?" tanya Cita sekali lagi.
Akhirnya Agam menyerah juga, ia melihat Cita. Sempat ada keraguan di benaknya. Sedangkan Cita yang mengerti dengan raut Agam-pun bersuara, "Ustad Agam gak yakin sama saya?"
Agam diam masih belum bergerak. "Ustad lupa kalau Cita anak tehnik?" kata Cita mengingatkan.
Dan bodohnya Agam baru ingat kalau anak didikannya ini adalah anak tehnik mesin. Padahal ialah wali kelas selama tiga minggu ini.
"Silahkan," putus Agam sedikit menggeser tubuhnya.
Cita-pun menempati posisi Agam dan melihat apa yang rusak dari mobil ini. Lima menit mengotak-atik Cita menemukan titik yang menjadi biang keladinya. Tapi tunggu! Satu tangannya mengusap leher yang terasa pegal, padahal baru lima menit ia menunduk.
Agam yang mengerti akan gerak-gerik Cita bersuara, "Helm-nya di lepas dulu biar gak pegal."
Gadis itu menegakkan tubuhnya menyentuh kepala dan benar saja sedari tadi ia tak sadar helm-nya masih nyangkut di kepala. "Pantes pegel," gumam Cita.
Tangannya terangkat ingin melepas pengait helm yang ada di bawah dagu.
"Tangan kamu!"
Pegerakan Cita terhenti, matanya menatap Agam bingung.
"Tangan kamu hitam," ucap Agam seakan mengerti tatapan Cita.
Gadis itu-pun melihat tangan. Lagi-lagi dia lupa dengan sekitar, mungkin ini efek karena baru pertama kali Agam meresponnya dengan baik.
Bukannya respon Agam tidak baik, namun laki-laki itu selalu menjauh. Bisa di bilang menjaga jarak dengannya. Apakah Cita terlalu jelek? Atau mungkin terlalu kumuh? Ah entah lah Cita malas memikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
ChickLitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...