Terhitung dua kali sudah Cita pingsan dalam satu hari. Saat ini gadis itu tengah berbaring tak sadarkan diri diatas berankar ruang kesehatan dengan ditemani kedua orang tua dan kembaran beserta suami yaitu Agam.
Kyai dan Umi sendiri belum sempat menjenguk karena masih banyak tamu yang tidak memungkinkan untuk ditinggalkan.
Gadis itu pingsan seusai mendengar kata sah. Sudah satu jam lamanya ia terlelap, sedang dokter masih dalam perjalanan.
Kelopak mata yang tertutup tampak bergerak bersamaan dengan bergeraknya jari lentiknya. Sayu-sayu kelopak itu mulai terbuka, mengerjap beberapa kali guna menstabilkan penglihatan yang sedikit buram.
"Alhamdulillah kamu udah bangun," ujar Rena seraya mengusap peluh yang membasahi wajah Cita.
Tangan Cita terangkat, menekan kening yang terasa berat. "Apanya yang sakit sayang?" tanya Rena.
Rena menatap Raka. "Pi, dokternya mana sih?! Kenapa lama sekali?!" Lantas Raka kembali menelfon sang dokter.
Cita melirik sepasang pengantin, masih lengkap dengan baju akad nikahnya berdiri di sisi sebelah kiri berdampingan. Cita memejamkan mata, menghirup udara dalam.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Agam.
"Jauh lebih baik dari sebelumnya." Jawaban yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan.
Laki-laki itu memandang gadis yang beberapa jam sebelumnya menyandang sebagai adik ipar. Jika dipikir Agam senang, kalian salah. Ia juga sesak, merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Cita. Namun sebagai laki-laki ia lebih pintar dalam menyembunyikan hal itu. Terlebih mendengar jawaban singkat Cita yang semakin membuatnya menelan ludah susah payah.
"Gimana Pi?" tanya Rena kembali.
"Masih di jalan Mi," jawab Raka.
Cita menyentuh lemah lengan Rena. "Cita gak papa kok Mi."
"Dek kamu kenapa akhir-akhir ini sakit-sakitan? Gak seperti biasanya." Raka menatap putri kesayangannya.
"Apaan sih Papi. Orang Cita sehat, gak sakit-sakitan juga," elak Cita masih mampu tersenyum, meski hanya sebuah senyuman paksa. Dan semua orang menyadari itu, terutama Agam.
Namun Agam juga tak bisa melakukan apa-apa. Kenyataan memaksanya untuk ikhlas. Ia tak tahu kedepannya seperti apa. Manusia hanya mampu berencana saja, selebihnya pasrah.
Agam bukan tidak berjuang, akan tetapi cara berjuang Agam berbeda dengan kebanyakan orang. Ia terus berikhtiar di sepertiga malamnya.
"Jika memang kamu bukan di takdirkan menjadi pendamping saya di dunia. Percayalah, saya pernah bercerita tentangmu kepada Allah, dan saya meminta agar disatukan denganmu di surga nanti," ujar Agam dalam hati. Ingin rasanya ia ungkapkan secara nyata namun kenyataan selalu menamparnya untuk tidak melakukan hal itu.
Nara menangkap cara pandang Agam, meski tak langsung pandang ke orangnya namun Nara paham jika selama ini cinta Cita terbalas. Dan Nara baru menyadari hal ini sekarang.
Kenapa ia baru sadar jika Agam juga mencintai adiknya setelah mereka resmi menikah?
Tangan Nara terangkat menyentuh tangan sang adik kembarnya. "Cepet sembuh ya Dek."
Cita menarik kasar tangannya dari sentuhan Nara. "Gue gak papa!" Akhirnya nada ketus terlontar juga.
"Dek! Papi gak pernah ngajarin kamu gak sopan sama saudara sendiri," tegur Raka mendapati kedua putrinya tak akur.
Cita memalingkan wajah, diam dengan wajah masam. "Gak papa Pi. Cita lagi sakit jadi wajar kalau moodnya buruk," sahut Nara lembut.
Lirikan tajam di hujam untuk gadis yang memiliki wajah serupa. "Lo yang buat mood gue buruk!" batin Cita mendengus sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
Genç Kız EdebiyatıCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...