"Ini bukan lo kan Cit?" tanya Mahoni penuh harap jika gadis yang ada di dalam video tersebut bukanlah Cita.
Satu bulir cairan bening menetes membasahi rok batiknya. Cita menunduk dalam. "Itu emang gue." Gadis bermata belo sempurna itu terdiam, menahan agar tangisnya tak pecah. "Kalau lo emang percaya sama gue, gue gak perlu ngejelasin."
Cita menatap Mahoni sendu. "Yang ada di dalam video itu emang gue, tapi lo liat sendiri kalau gue disitu gak sadarkan diri. Gue gak tau apa yang terjadi dengan diri gue."
Mahoni menelisik kembali Video tersebut secar seksama. Memang benar, nampak disitu Cita tak sadarkan diri. Di cumbu oleh laki-laki berpakaian serba hitam dengan topeng yang menutup sebagian wajahnya. "Boleh gak, lo jelasin sedikit aja yang lo ingat sebelum kejadian?" tanya Mahoni.
Cita mengingat kembali dimana semalam ia datang kerumah Meri untuk ketiga kalinya yaitu setelah sholat magrib. Akan tetapi masih dengan jawaban yang sama dia tidak menemui Meri sama sekali.
Pada saat pulang dua meter dari jarak rumah Meri, dekat persimpangan Cita merasa ada yang mengikutinya. Laki-laki berjaket kulit hitam serta kaos serupa dan tak lupa celana levis warna senada.
Sadar dengan gelagat aneh si pria, lantas ia semakin mempercepat langkah kakinya. Namun laki-laki misterius tersebut justru semakin mengejarnya.
Akhirnya Cita lari masuk ke dalam persimpangan yang sepi, bahkan hanya ada beberapa pencahayaan saja. Sungguh kala itu Cita sangat menyesal kenapa ia harus belok ke persimpangan yang jarang di pijaki manusia ini.
Alih-alih terjatuh karena tersandung, tamaram cahaya juga rasa takut dia tak fokus jika ada pohon besar di depannya. Tubuh Cita terpental akibat menabrak pohon asem jawa.
Tidak pingsan, akan tetapi ada sebuah tangan yang mengunci pergerakan juga sebuah bekapan hingga kesadarannya hilang. "Dan ketika gue bangun tau-tau gue udah ada di tempat dimana pertama kali gue di ikuti sama orang itu. Seluruh badan gue cuma pegel doang gak lebih, dan bibir gue bengkak," jelas Cita di akhir cerita.
"Berarti ada yang sengaja jebak lo." Mahoni berfikir keras. "Tapi lo ngerasain sakit gak di it-" Mahoni tidak melanjutkan perkataannya karena pertanyaan yang di ajukan kali ini sedikit privasi.
Faham akan maksud Mahoni, Cita pun menatap sinis. "Enggak lah! Udah gue bilang kalau gue gak ngerasain apa-apa cuma pegel karena lari dan memar di jidad doang."
Sejenak mereka berdua sama-sama terdiam hingga ada salah satu siswa kelas sepuluh mendatangi mereka. "Maaf ganggu. Ini kak Cita kan?" tanya cowok itu.
Kepala Cita mengangguk. "Iya gue. Kenapa?"
"Tadi gue disuruh cari lo, ada salam dari pak Agam katanya lo disuruh ke kantor."
"Ngapain?"
"Gak tau. Yaudah gue permisi."
"Iya makasih."
Cita menaruh kedua tangan di sisi belakang menjadikan sebagai tumpuan, kepalanya mendongak menatap langit-langit perpustakaan yang hanya di huni Mahoni dengan dirinya saja.
Rambut sebahunya menggantung indah di sana. Tak lama matanya terpejam merasakan denyutan kepala juga detak jantung yang saling bersahutan. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin detik ini hanya satu kelas yang tahu, bisa jadi di detik berikutnya seantero sekolah-pun juga tahu akan hal ini.
Tangan Mahoni melayang terhenti di udara, mengurungkan niat untuk mengusap surai hitam milik Cita. Tangan itu terkepal, lalu di turunkan kembali. "Gue percaya sama lo. Tenang aja, gimanapun caranya gue akan bantu lo. Gue juga akan kembaliin kepercayaan temen-temen."
![](https://img.wattpad.com/cover/256674012-288-k812675.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
Literatura FemininaCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...