HUA dua puluh satu🍓

64.1K 9.7K 549
                                    

Tak terasa enam bulan berlalu, artinya dua bulan lagi Cita akan menghadapi ujian nasional sekaligus ujian pondok.

Pahit manisnya pesantren ia lalui. Ternyata pesantren tak seburuk yang mereka pikirkan. Mungkin satu sampai dua bulan masih belum merasakan indahnya suasana pondok. Namun setelah itu rasa nyaman ketika antri saat mandi, makan sesederhana mungkin dengan tempat maupun wadah seadanya.

Di pesantren baik yang tua ataupun muda mereka saling menghormati. Setiap kali ada masalah tidak akan bertahan lama, solusi akan ditemukan. Kebencian tak pernah berlarut.

Persahabatan di pesantren tak sama dengan persahabatan di luar. Mandi bareng, makan bareng, tidur bareng, mencuci bareng, susah senang selalu di rasakan bersama.

Awalnya Cita pernah berpikir 'mereka lebay' kala melihat respon anak pondok menangis sesenggukan saat ada salah satu di antara mereka boyong atau pulang kerumahnya.

Dan sekarang Cita merasakan sendiri. Tiga bulan lalu ia sempat dekat dengan dua gadis yaitu Sari dan April. Jika Sari satu tahun lebih muda darinya maka April satu tahun lebih tua darinya.

April terpaksa boyong lantaran akan menikah, dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Ia senang atas kebahagiaan April, disisi lain ia juga sedih karena tak lengkap curhat jika tak ada April yang selalu bijak dalam menanggapi sega masalah. Tuturnya yang lembut memaksa Cita untuk menerima gadis itu menjadi teman dekatnya.

Si imut Cita duduk di balkon lantai tiga tanpa pagar. Bangunan yang nantinya akan dijadikan asrama yang masih dalam masa renovasi. "Rasanya kayak baru seminggu lalu gue dipaksa masuk pesantren dan loncat pagar asrama putra."

Gadis itu tersenyum hingga menampilkan gigi grahamnya ketika mengingat bagaimana bringasnya dia dulu.

Santri kebanyakan mereka memanglah ramah, terlebih dengan santri baru. Akan tetapi yang namanya manusia pasti ada rasa benci yang terselubung, begitupun Cita. Banyak yang suka juga banyak yang diam-diam membencinya. Bedanya jika di sekolah umum mereka akan nampak terang-terangan akan ketidak sukaannya, maka santri hanya bisa mendumel dalam hati.

Barangkali ada yang ketahuan saling benci, mereka akan di panggil dan di sidang oleh para Ustadzah agar masalah tidak larut. Begitulah keindahan pesantren selalu menjaga tali silaturahmi.

Hembusan angin malam menerpa kulit wajah Cita. Matanya terpejam, merasakan ketenangan yang selama ini tak pernah ia dapat diluar sana.

Sudah tiga malam Cita terbangun di jam yang sama dan singgah di tempat yang sama. Pukul dua dini hari ia selalu terjaga dan akhirnya disinilah ia berada. Meski tak begitu mudah untuk mencapai tempat ini.

Kelopak mata itu terbuka kembali begitu mendengar suara tilawah subuh. Ia melirik arloji yang melingkar indah di pergelangan, menatap remang-remang. Sudah pukul 03.45 masih ada waktu untuk sholat tahajud.

Terlalu terbawa suasana sampai tak sadar sudah hampir dua jam ia duduk sendiri di tempat yang tak pernah di jamah orang ketika malam hari. Tentu saja, lagipula siapa juga yang mau singgah di tempat gelap gulita seperti ini.

Pikir Cita, 'Mereka tak tahu saja jika tempat ini sangatlah indah di pandang, hamparan sawah, juga bintang-bintang yang sangat memanjakan mata.'

Gadis itu bergegas turun dari lantai tiga. Sudah ia duga pasti masjid sudah ramai.

Usai melaksanakan sholat tahajud juga sholat subuh tanpa paksaan, kini semua santri baik putra maupun putri dikumpulkan di dalam masjid.

Tak sedikit hati mereka harap cemas. Sepertinya akan ada razia dadakan, bukan barang namun yang lebih penting dari itu. Surat! Iyap, yang sudah pernah menjadi santri pasti tahu.

Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang