Terhitung lima kali sudah Cita ketahuan mengambil ponselnya dari kantor keamanan secara diam-diam. Tiga kali di sita oleh Ajeng dan untuk ke dua kalinya di sita oleh Haydar.
Itu adalah ponsel yang di selipkan Tina tempo hari. Gadis itu tidak menggunakan yang aneh-aneh, dia hanya menggunakan untuk menghubungi teman teman-temannya saja. Akan tetapi yang namanya peraturan, mau bagaimanapun alasannya tidak akan diterima. Yang jelas dia telah melanggar. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali.
Satu kali, dua kali masih diberi peringatan. Ketiga kalinya Haydar yang turun tangan. Di fikir dengan diringankannya tidak di hancurkan hanya saja ponsel tak bisa di ambil seumur hidup Cita akan jera namun salah. Meskipun sudah ada di tangan Haydar, gadis ini masih bisa mengambilnya.
Wajah Haydar merah padam, marah mendapati kelakukan Cita yang di luar batas. Ia paling tak suka jika ada santri yang melanggar terlebih bebal tak punya rasa takut dengan ancaman.
Di halaman masjid terdapat beberapa dua ustad termasuk Haydar dan beberapa ustadzah yang menyaksikan.
Ponsel keluaran terbaru Iphone 12 PRO MAX itu sudah ada di genggaman Haydar kembali. "Ustad Rido. Tolong ambilkan palu," titah Haydar di balas anggukan oleh sang empu.
Yang mendengar perintah Haydar tampak kaget. Kaget lantaran ponsel yang akan di hancurkan bukan ponsel murah. Bayangkan saja harga satu ponsel itu jika di jual bisa di belikan motor, dan sebentar lagi mereka akan menyaksikan ponsel mahal pertama yang di hancurkan.
"Ini adalah kosekuensi jika ada yang melanggar peringatan. Di hancurkan berarti tindakan santri sudah di luar batas," kata Haydar.
Para Ustadzah tersebut menatap Cita iba, namun satu di antara mereka ada yang tersenyum miring pula dan Cita menyadari hal itu.
Cita tahu dia lah dalang yang selalu melaporkan setiap tindakannya, barang sekecil apapun. Bagaikan cincin yang menemukan jarinya, dia selalu mencari celah agar Cita dapat hukuman. Entah apa motif dia sampai segitunya, seingatnya Cita tak pernah berurusan dengan ustadzah yang memang kebetulan satu kamar dengannya ini.
Di samping Cita juga ada Nara. Gadis cantik itu tampak gelisah, takut sang adik mendapat hukuman lebih berat dari yang sebelum-sebelumnya.
Beda halnya dengan Cita. Rautnya justru biasa saja, dia juga tak menyangkal atau pun marah karena ia sadar jika dirinyalah yang salah.
Meski tergolong gadis bar-bar tapi dia ingat akan tanggung jawab. Berani berbuat harus mau bertanggung jawab, itulah prinsip yang di terapkan kedua orang tuanya sejak kecil. Oleh karena itu sekarang dia hanya bisa diam dan pasrah dengan apa yang akan di lakukan terhadap ponsel Tina.
Saat ini yang di pikirkan hanya satu. Bagaimana dia menjelaskan kepada Tina prihal ponsel yang sebentar lagi akan hancur? Jika miliknya sendiri tak masalah. Dia juga tak akan bisa berbincang dengan para sahabatnya lagi.
Dilihat, Haydar sudah berjongkok. Ponsel-pun juga sudah tergeletak di atas paving, serta palu yang di tangan di angkat siap untuk meremukkan benda pipih itu.
"TUNGGU!"
Tangan Haydar terhenti di udara. Semua pandangan fokus pada gadis yang bersuara tadi."Sebelum hp itu hancur gue mau minta satu hal. Satu aja, gue cuma mau pamit sama teman-teman gue," kata Cita bersungguh-sungguh.
"Gak bisa. Berapa kali kamu saya beri keringanan?!" Suara Haydar sangat tegas kali ini. "Saya pikir dengan beberapa hukuman kamu akan jera, ternyata enggak."
"Saya heran. Kalian kembar tapi sifat kalian sangat bertolak belakang. Harusnya kamu bisa contoh kakak kamu. Jangan kayak orang gak punya akhlak, gak pernah didik?!" ceplos Haydar tak mampu menahan emosi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
ChickLitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...