Setalah beberapa jam akhirnya Nara dapat menemukan sang adik yang ternyata duduk di bangunan yang akan dijadikan asrama putri. Tatapannya tampak kosong, lurus tak ada kelok sama sekali. "Dek!" panggilnya.
Cita tak bergerak sama sekali. Gadis itu hanya mengayunkan kedua kakinya, membelakangi Nara. Udara yang berhembus membuat gamis bagian bawah terombang-ambing tertiup angin.
Tak mendapat respon, Nara memutuskan untuk ikut duduk di samping Cita. Ia tahu ini berbahaya, apapun ia lakukan asal adiknya mengakhiri masa diamnya. "Kamu salah paham Dek. Jangan marah sama Mami dan Papi. Mereka gak salah apa-apa."
"Mereka emang gak salah, gue yang salah. Gue yang ngejar-ngejar, gue yang berusaha mati-matian buat dapet hatinya tapi elu yang menikmati buahnya," sindir Cita secara nyata.
Bukan tidak tahu. Nara paham jika adiknya mengira Agam-lah yang menjadi calon suaminya. "Aku udah bilang berapa kali. Kamu salah paham, bukan Gus Agam calon suami aku."
Spontan kepala Cita menolah dimana Nara berada. "Lo pikir gue bodoh! Putra Kyai yang paling tua itu Ustad Agam dan otomatis yang akan dinikahkan duluan ya Ustad Agam."
"Bukan Gus Agam. Mami sama Papi sendiri yang bilang, aku juga udah denger sendiri dari Kyai kemarin."
Mata Cita mengerjap beberapakali. "Lo yakin?!" sahut Cita, mengubah posisi menghadap Nara. "Gak bohongkan?"
"Mana mungkin aku bohong sama kamu," balas Nara.
Setidaknya Cita masih bisa bernapas lega untuk detik ini. "Terus kalau bukan Ustad Agam siapa dong? Masa yang tuaan di langkahin, bukannya pamali ya?"
"Dawuh Kyai barang siapa yang siap terlebih dahulu untuk menikah maka dialah yang akan dinikahkan," ujar Nara.
"Emang siapa? Si Hay yang nikah sama lo?" Ah Cita semakin dibuat penasaran.
Satu alis Nara naik. "Hay? Maksudnya?"
Cita menghela napas lelah dengan kepolosan sang kakak. Cita tak sadar jika dia sendiri yang selalu membuat bingung orang lain akan julukan yang bisa dibilang sangat sulit di mengerti. "Itu si Haydar maksud gue."
"Ouhh Gus Haydar." Kepala Nara manggut-manggut pertanda sudah mengerti maksud Cita. "Bukan," lanjutnya.
Gadis itu menatap Nara penuh selidik. "Jangan bilang calon suami lo FIR'AUN," tuding Cita seraya menekan kata Fir'aun.
Sontak mata Nara mendelik kaget. "Astagfirullah Dek. Mana ada aku nikah sama Fir'aun. Naudzubillahiminzalik, jangan gitu ih. Aku merinding."
"Lah terus siapa dong kalau bukan dia? Ustad Agam bukan, Hay bukan, Fir'aun juga bukan. Emang Kyai ada anak lain selain mereka?" tanya Cita semakin bingung.
Kini Nara juga sama bingungnya. "Dek, yang kamu maksud Fir'aun itu siapa?"
"Itu sih Haikal. Emang lo pikir siapa?"
"Astagfirullah Adek. Kamu panggil orang sembarangan, gak boleh gitu."
Jujur begitu Cita mengunci kata Fir'aun, pikiran Nara langsung menjurus ke orang dzalim di zaman Nabi Musa dahulu. Siapa juga yang tidak ngeri dengan hal itu."Salah sendiri jadi orang ngeselin. Eh tapi beneran dia?" Nara mengangguk sebagai jawaban.
Mata Cita membola sempurna, mulutnya menganga. Tak lama ia menahan tawa dan terbahak sekeras-kerasnya. "Ppfftt. BHAHAHA."
"Kamu kenapa ketawa?"
"Aduh perut gue. Bhahaha."
Cita memegangi perutnya yang terasa keram akibat tertawa berkepanjangan.Sebelum mulai bicara kembali ia menetralkan napasnya terlebih dahulu. "Huh. Itu gimana ceritanya si Haikal jadi calon suami lo?"
Kepala Nara menggeleng. Walaupun berat ia akan tetap menjalani ini semua demi kedua orang tuanya. Kapan lagi dan dengan cara apa lagi dia bisa membalas jasa-jasa kedua orang tuanya. Lagipula yang akan menjadi calon suaminya juga laki-laki baik-baik. "Dijodohin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
ChickLitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...