"Dari segi rupa, harta, nasab, juga agama, Haydar dan Haikal udah memenuhi syarat seperti apa yang telah di jelaskan dalam kitab suci Al-Qur'an." Matanya beralih memandang Kyai dan Umi.
Ia melanjutkan kalimatnya, "Akan tetapi Cita gak mau egois. Cita gak bisa milih salah satu di antara mereka berdua, sebab mereka saudara kandung. Cita gak mau salah satu di antara Haydar dan Haikal terluka kalau Cita nerima lamaran ini. Maaf Abah, maaf Umi. Cita gak bisa."
DEG
Kali ini jantung Nara lah yang seakan berhenti berdetak. Ia merasa tertohok dengan kalimat demi kalimat yang adiknya lontarkan. Gadis itu menunduk, melepas tautan tangan dari genggaman Agam. Ia merasa malu, bukan hanya malu kepada Cita namun ia lebih malu kepada dirinya sendiri.
Entah kenapa helaan napas lega keluar begitu saja dari diri Agam ketika Cita menolak kedua adiknya. Tapi untuk apa ia lega?
Jika bukan kedua adiknya bisa saja laki-laki lain yang akan diterima lamarannya oleh Cita. Lagipula untuk apa lagi ia masih berharap sedang sekarang ada istri yang wajib di bahagiakan. Kalau Cita saja tak mau egois, ia-pun juga tak boleh egois. Cita berhak bahagia dengan pilihannya.
Kyai Muhaimin dan Umi Halim tersenyum dengan jawaban Cita. "Ternyata putra-putra Abah pintar dalam memilih pasangan, tapi Nduk Cita nya maunya begitu ya sudah ndak papa. Abah menghargai keputusan bijak dari nduk Cita."
"Lagi pula untuk sekarang Cita belum siap Abah. Cita masih ingin menuntut ilmu, Cita ingin mengejar Cintanya Allah. Karena Cita tau kepahitan yang sesungguhnya adalah berharap kepada manusia. Cita gak mau lagi korbanin harga diri Cita untuk orang yang belum tentu akan menjadi imam Cita."
Pandangan Cita kembali kepada dua laki-laki yang hendak mengkhidbahnya. "Cita gak mau baik Haydar ataupun Haikal merasakan hal yang sama seperti apa yang pernah Cita rasakan. Jika memang salah satu dari mereka adalah jodoh Cita pasti ada jalan. Kalaupun kita gak berjodoh, insyaallah pasti kalian dapat yang jauh lebih baik dari Cita. "
Umi Halimah menghampiri Cita, memeluk disertai senyuman. "Umi kagum dengan pemikiran kamu nduk. Semoga nanti kamu mendapat suami sesuai dengan kriteria kamu."
Cita membalas pelukan Umi Halim. "Aamiin, makasih Umi." Tak sengaja ekor matanya menangkap sosok Agam yang hanya diam tak bersuara. "Semoga ustad bahagia dengan pilihan ustad," kata Cita dalam hati.
Pelukannya terurai, Umi Halim duduk disamping Cita.
"Mas Haydar, Mas Haikal. Abah harap kalian dapat menerima keputusan nduk Cita," kata Abah.
Raut mereka tampak kecewa namun Haydar masih menerima dan menghargai keputusan bijak Cita. Ia juga tak bisa memaksa. "Insyaallah Haydar nerima semua keputusan Cita Abah," jawab Haydar.
Kyai mengangguk. "Bagaimana Mas Haikal?"
Berbeda dengan Haikal, selain kecewa, wajahnya juga cemberut. Ia mendengus kesal, dalam hatinya mengumpat, "Ini gara-gara Mas Haydar. Masa diam-diam suka juga sama Cita. Seandainya Mas Haydar gak suka juga, Cita pasti nerima lamaran gue. Ah elah, mas, mas ganggu aja."
"Sebenarnya sih berat Bah, tapi mau gimana lagi. Daripada Cita nerima Mas Haydar, sakitnya malah lebih parah dari ini," kata Haikal pasrah.
"Ber-ikhtiar saja yo le. Kalaupun salah satu dari kalian jodohnya nduk Cita, pasti ndak akan kemana," sambung Umi Halim.
"Assalamualaikum," salam seseorang dari pintu utama. Umi Halim-pun beranjak ingin melihat siapa tamu itu, namun kegiatannya di urungkan karena Nara meminta izin agar dia saja yang melihat.
"Siapa Nduk?" tanya Umi Halim.
"Mami, Umi," jawab Nara seraya memberi jalan untuk Rena.
Tak heran jika Rena sudah berada disini, wanita muda itu memanglah tak ikut pulang ke Jakarta bersama suaminya lantaran ada urusan yang harus di selesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
ChickLitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...