Di ndalem atau bisa di bilang rumah Kyai, Cita beserta kedua orang tuanya duduk berbincang dengan pengasuh pondok pesantren At-Ta'aruf ini.
Terakhir kali gadis itu mampir di rumah ini pada saat usianya delapan tahun tepatnya baru menginjak kelas 5 SD. Ini kali keduanya dia kembali kesini.
Sementara itu Cita di ajak keliling yang di bina oleh sang kakak sendiri. Banyak di kalangan santri putri yang penasaran dan heran jika ternyata salah satu ustadzah muda mereka mempunyai kembaran. Mereka berdua dapat di bedakan dari segi tinggi badan dan bola mata saja.
Jika Cita memiliki postur tubuh tinggi 167 cm, maka Nara hanya memilik tinggi badan 154 cm saja. Nara memiliki mata yang sedikit sipit sedangkan Cita matanya tampak belo, serta pipi tembem mewarisi sang mami.
Cita memutar bola mata malas, telinganya terasa pengang, serta kakinya terasa pegal sebab hampir setengah jam dia di ajak keliling.
Nara dengan sabar dan telaten menjelaskan tempat apa saja yang ada di asrama putri, bahkan kakak dari Nacita ini dengan sangat senang hati mengenalkan kembarannya kepada santri wati.
Cita menghentikan langkah kakinya, menatap kesal kakak yang juga berdiri di sampingnya. "Kak. Bisa gak sih, diam dulu sejenak. Gak capek apa ngomong mulu? Gue aja yang denger capek."
Gadis itu jongkok sembari mengurut kaki yang terasa sakit. Bayangkan saja, Cita di ajak keliling asrama seluas ini. "Kaki gue pegal, capek, haus lagi," keluhnya.
Bukannya tersinggung Nara justru terkekeh geli, dia terlalu antusias karena adiknya mau belajar di pesantren dengannya. "Maaf deh. Aku terlalu senang, sekian lama akhirnya kamu mau juga mondok bareng aku."
"Gue mau juga karena terpaksa," sambar Cita.
Gadis itu melihat-lihat sekitar seperti ada yang mengganjal di hatinya. Tadi sewaktu dia masuk ada cowok tapi kenapa sekarang tidak ada satupun. "Eh Kak, kok gue ngerasa ada yang aneh ya."
"Aneh kenapa?" tanya Nara ikut jongkok.
"Tadi pas masuk gue liat ada cowok, kok sekarang gak ada satupun."
Mendengar kalimat itu maka Nara tertawa kecil. "Ya jelas di sini gak ada cowok. Ini asrama putri jadi penghuninya cewek semua, kalau yang cowok ya di asrama putra."
Senyum Nara tak sekalipun luntur dari wajah ayunya. Dia masih tak menyangka yang sekarang bersamanya adalah Cita adiknya. Selama ini gadis itu berharap jika suatu saat Cita mondok bersamanya, dan sekarang do'anya sudah terkabulkan.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Cita menatap aneh sang kakak.
"Gak papa."
"Kak. Ambilin gue minum dong, seret nih. Masa dari tadi gak di kasih minum. Gue tunggu di sini ya," kata Cita sembari mengusap tenggorokan dari balik jilbab.
"Beneran mau tunggu disini?"
"Iya udah sana. Keburu mati keselek nih," usir Cita.
Senyum Cita mengembang. "Waktunya beraksi Brother!"
Ia berlari kencang. Untung setiap gang yang dilewati tak begitu banyak orang jadi ia bisa leluasa.
Sampai didepan gerbang masjid ia berhenti ketika matanya menangkap sosok sang kakak. Sebelum Nara sadar ia harus sembunyi, bagaimana pun Nara tak boleh tahu ia kabur.
Tanpa pikir panjang Cita membuka gerbang masjid, melihat ada tangga untuk menuju atap masjid ia pun dengan lihai menaiki tangga tersebut. Gadis itu naik di emperan atap masjid, tempat biasa para santri putra menjemur permadani.
Cita benar-benar tak sadar jika dibelakang kubah ada beberapa santri putra yang tengah membersihkan karpet permadani.
Mulut Cita terperangah ketika melihat indahnya pemandangan dari sini. "Woah, daebak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
ChickLitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...